ICW: Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD Tidak Selesaikan Masalah

14 Desember 2024 14:29 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPU. Foto: Embong Salampessy/ANTARA
ADVERTISEMENT
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, merespons usulan diubahnya sistem pilkada serentak menjadi lewat DPRD.
ADVERTISEMENT
Usulan itu awalnya disampaikan Ketum Golkar Bahlil Lahadalia. Kemudian usulan tersebut disambut positif Presiden Prabowo.
Prabowo beralasan pilkada secara langsung tidak efektif. Tak hanya itu, Prabowo juga menyebut alasan mengubah sistem itu karena tingginya biaya politik yang dikeluarkan saat Pilkada.
Seira pun menekankan bahwa persoalan biaya politik yang tinggi itu justru digelontorkan sebagai mahar politik dan untuk jual beli suara.
"Pertama harus diingat bahwa yang berkontribusi dalam hal itu adalah politik uang dalam bentuk mahar politik (dari paslon ke partai untuk dapat tiket pencalonan), dan jual beli suara (paslon dengan pemilih)," ujar Seira saat dihubungi, Sabtu (14/12).
Oleh karenanya, wacana perubahan sistem tersebut justru tidak menyelesaikan masalah utamanya.
"Dengan persoalan ini, maka menjadikan Pilkada oleh DPRD tidak menyelesaikan masalah utama, tapi memindahkan letak distribusi uangnya saja," kata dia.
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara. Foto: Jonathan Devin/kumparan
"Karena dengan dipilih oleh DPRD, bukan tidak mungkin uang-uang di bawah meja ini malah jadi lebih besar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga menyebut bahwa persoalan tingginya biaya politik yang dikeluarkan saat kontestasi merupakan sebuah keniscayaan. Sehingga, lanjutnya, partai maupun paslon perlu memetakan pengeluaran agar tak berujung korupsi.
"Dan patut diingat juga bahwa proses dalam sebuah demokrasi memang tidak bisa dipaksa menjadi murah atau mengeluarkan biaya yang sangat sedikit," ucap dia.
"Tapi, bukan besar atau kecilnya biaya yang jadi soal, namun bagaimana pengelolaan biaya besar itu dilakukan. Tepat guna atau malah jadi dikorupsi?" imbuhnya.
Lebih lanjut, Seira menekankan bahwa persoalan utama yang mesti diperbaiki adalah partisipasi publik alih-alih menyalahkan sistem pemilihan.
"Mandat UUD kita, kan, demokrasi, partisipasi publik adalah hal dasar dari ini. Maka dari itu, memastikan partisipasi publik terfasilitasi dengan baik dalam mekanisme pergantian kekuasaan adalah hal yang harus jadi tujuan," terangnya.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian mencontohkan penggunaan anggaran yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dengan anggaran yang begitu besar, lanjutnya, KPU masih cenderung memfasilitasi peserta ketimbang menggunakan anggaran untuk kepentingan informasi bagi pemilih.
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
Misalnya, dalam pengelolaan teknologi yang membantu proses pemilihan seperti Sirekap. Seira menilai, KPU tak mampu memanfaatkan anggaran besar tersebut untuk pengembangan teknologi agar memudahkan pemilih dalam mengakses dana kampanye calon secara transparan.
Alih-alih bermanfaat bagi publik, Seira menyebut penggunaan anggaran itu justru mengakomodir kepentingan peserta Pilkada dan partai politik.
"Contoh ini menunjukkan bahwa bukan biaya tinggi yang jadi soal, karena buktinya mereka tetap pakai uang yang besar untuk buat tools itu meski enggak membantu pemilih sedikit pun," papar dia.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, Seira menekankan evaluasi pelaksanaan Pilkada mesti mengedepankan prinsip negara demokrasi sesuai mandat undang-undang dasar.
"Dalam konteks ini, jika ada evaluasi dan bahan perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada, seharusnya fokusnya tetap pada partisipasi masyarakat agar bisa lebih dikuatkan, bukan malah ujug-ujug dihilangkan dan dijadikan dipilih oleh DPRD," pungkasnya.