news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Illegal Fishing dan Ancamannya untuk Pariwisata di Raja Ampat

26 Maret 2022 6:15 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koordinator PKSPL-IPB, Konstatinus. Foto: Nadia Riso/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator PKSPL-IPB, Konstatinus. Foto: Nadia Riso/kumparan
ADVERTISEMENT
Potensi pariwisata Raja Ampat memang menarik, tapi terkendala antara kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi/pemanfaatan sumber daya, serta konflik akar rumput di masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Meski pemerintah memiliki program Implementasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas melalui Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), namun ancaman yang dapat merusak potensi pariwisata dan ekosistem laut melalui illegal fishing hingga illegal logging masih terjadi.
Hal ini yang dialami masyarakat yang tinggal di Kampung Yensawai Barat, Raja Ampat, Papua Barat. Salah seorang tokoh muda Yensawai Barat, Konstatinus, mengungkapkan sulitnya mengatasi illegal fishing hingga illegal logging di wilayahnya.
Sebelum ICCTF masuk ke Yensawai Barat, ayah Konstatinus rajin melakukan patroli terhadap oknum-oknum yang melakukan illegal fishing hingga illegal logging. Ia mengungkapkan, hal itu mengusik ayahnya karena lingkungan mulai terancam.
"Jadi Raja Ampat banyak illegal fishing, illegal logging, penebangan kayu secara tidak teratur. Artinya Bapak [patroli] untuk wilayah Batanta Utara. Jadi Bapak waktu [itu] memang berusaha harus mengubah. Karena masyarakat masih ngerusak juga," kata Konstatinus, Jumat (25/3).
ADVERTISEMENT
"[Pengerusakan] bisa ngebom di depan kampung, bisa jaring. Itu pikiran tentang lingkungan belum ada. Jadi Bapak patroli keliling seluruh Batanta untuk pengamanan laut dan hutan," lanjutnya.
Namun, usaha ayah Konstatinus tidak disukai pelaku illegal fishing dan illegal logging. Sehingga ayahnya dibunuh pada 2010 ketika berpatroli.
"Saya waktu itu jam sekolah, saya dengar Bapak dibunuh di hutan waktu patroli. Dia [Bapak] dengar isu dari masyarakat bahwa ada yang nebang pohon. Nebangnya itu, ya, luas lahannya terus dijual ke Sorong. Bapak ngecek ke sana dan di situ terjadi pembunuhan," ungkapnya.
"[Bapak] dibunuh oleh masyarakat dari luar, bukan Raja Ampat. Dia [pelaku] orang Sulawesi kalau enggak salah yang ambil kayu," lanjutnya.
Pemandangan di Yensawai Barat, Raja Ampat, Papua Barat. Foto: Nadia Riso/kumparan
Setelah ayahnya tidak ada, Konstatinus mengungkapkan perilaku ilegal masih sering ditemukan meski tidak sesering dulu. Konstatinus yang tadinya kuliah di UPN Veteran Surabaya jurusan Hubungan Internasional itu pun kemudian memutuskan kembali ke kampung karena ada yang harus menggantikan peran ayahnya.
ADVERTISEMENT
"Saya [jurusan] Hubungan Internasional. Saya waktu itu teman ajak untuk [menjadi] diplomat [di] Korea Selatan untuk apply ke Kemlu. Tapi saya memilih kembali," ungkapnya.
Kembali ke kampung halaman, Konstatinus pun memutuskan untuk membuka homestay. Dengan harapan melindungi laut tapi dengan jalur yang lebih aman.
"Saya bangun homestay di bekas pos Bapak saya. Sebelum kami di situ banyak aktivitas di situ, ketika kami bangun mulai hilang, karena masyarakat Raja Ampat tahu kalau ketika ada homestay di satu lokasi, kawasan itu terlindungi. Jadi mereka enggak akan berani mengambil sesuatu dari situ," tuturnya.
Pemandangan di Yensawai Barat, Raja Ampat, Papua Barat. Foto: Nadia Riso/kumparan
Konstatinus membangun homestay pada 2016 di kampungnya. Namun karena pandemi COVID-19 yang masuk Indonesia pada 2020, ia memutuskan menghentikan sementara aktivitas homestay tersebut.
ADVERTISEMENT
"Dampaknya besar sekali karena tidak ada tamu yang datang," ujarnya.
Selama mengurus homestay, Konstatinus juga bergabung dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institusi Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) pada 2019. Begitu bergabung dengan PKSPL-IPB, ia ditunjuk menjadi koordinator mengajak anak-anak muda setempat untuk merehabilitasi pantai.
"Jadi saya sebagai [koordinator] pantau terus semua kelompok. Kita monitoring untuk pembersihan karang, pengukuran Mangrove dengan Lamun. Saya pantau terus dan kasih lapor ke PKSPL," ungkapnya.
"Selain rehabilitasi, kita juga mengumpulkan sampah, mengajar anak-anak kecil untuk bagaimana tentang alam. Selama ini program ini sampai sekarang sudah terlihat berhasil. Dulunya terlihat pasir sekarang tumbuh Mangrove," lanjutnya.
Di samping rehabilitasi pantai, Konstatinus juga ikut bertugas dalam Pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk mengawasi kegiatan pariwisata, khususnya diving.
ADVERTISEMENT
"Jadi kita mengawasi living boat yang masuk untuk diving. Tamu-tamu yang mau masuk ke lokasi tersebut jika melebihi kapasitas untuk lihat Manta, ya, jadi kami batasi," pungkasnya.