Inggris Buang Dana Rp 56 Triliun untuk Peralatan COVID-19 yang Tak Terpakai

30 Maret 2022 14:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi APD standar WHO. Foto: Dok. BNPB
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi APD standar WHO. Foto: Dok. BNPB
ADVERTISEMENT
Inggris diperkirakan telah menggelontorkan dana hampir USD 3,94 miliar (setara Rp 56 triliun) untuk kontrak peralatan COVID-19 yang tidak menghasilkan nilai uang.
ADVERTISEMENT
Pengawas Kantor Audit Nasional (NAO) pada Rabu (30/3/2022) melaporkan, jutaan dolar telah dihabiskan untuk menyimpan peralatan itu setiap bulannya.
Perlengkapan tersebut tidak dibutuhkan dan terkadang ketinggalan zaman.
Gugus Tugas Nasional melalui tim pakar dan multipihak telah menghasilkan baju APD standar WHO. Foto: Dok. BNPB
"Kementerian (kesehatan) terus mengelola 176 kontrak yang diyakini tidak akan mencapai nilai penuh untuk uang, dengan perkiraan risiko 2,7 miliar pound," kata kepala NAO, Gareth Davies.
Laporan NAO yang diawasi parlemen diperkirakan akan memicu respons dari oposisi. Mereka akan mengatakan, pemerintah PM Boris Johnson bersikap boros dan nepotistik dalam alokasi kontrak besar selama dua tahun pandemi.
Kementerian Kesehatan Inggris menanggapi kritik itu. Pihaknya mengatakan, menimbun terlalu banyak perlengkapan lebih bijaksana daripada mendapati kekurangan peralatan dalam keadaan darurat.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson usai menerima vaksinasi penguat virus corona di Rumah Sakit St Thomas di London, Inggris, Kamis (2/12). Foto: Paul Edwards/Pool via REUTERS
Menurut NAO, Kemenkes Inggris telah mengidentifikasi sebanyak 3,6 miliar barang yang tidak cocok untuk penggunaan keadaan darurat. Kementerian itu bertugas menangani persediaan alat pelindung diri (APD).
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga disebut telah menghabiskan lebih dari USD 917 juta hanya untuk penyimpanan pada November 2021. Selain itu sebanyak 1,5 miliar APD juga diduga telah kedaluwarsa.

Pemasok VIP

Gugus Tugas Nasional melalui tim pakar dan multipihak telah menghasilkan baju APD standar WHO. Foto: Dok. BNPB
Menyinggung kritik terhadap pemerintahannya, Johnson justru mengatakan, ia bangga dengan tindakan pemerintah untuk mengamankan APD.
Kementerian kesehatan mengatakan telah mengirimkan 19,1 miliar item APD untuk menjaga staf garis depan tetap aman dari infeksi.
"Memiliki terlalu banyak APD lebih baik daripada memiliki terlalu sedikit dalam menghadapi virus yang tidak dapat diprediksi dan berbahaya," kata juru bicara Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial (DHSC), seperti dikutip dari Reuters.
Seorang staf rumah sakit mengenakan masker wajah dan APD berbicara kepada orang-orang di pintu masuk darurat di Rumah Sakit Royal London, di London, Inggris, Jumat (31/12). Foto: Mei James/REUTERS
Juru bicara DHSC menambahkan, kontrak dalam sengketa tersebut juga berusaha untuk memulihkan biaya produksi dari pemasok.
Ketua Komite Akun Publik Meg Hillier mengatakan, masyarakat mungkin kehabisan kesabaran dengan biaya yang terus melonjak. Ia merujuk pada pengeluaran 7 juta pound per bulan untuk menyimpan APD yang tidak dibutuhkan itu.
ADVERTISEMENT
"Kesabaran apa pun yang mungkin dimiliki pembayar pajak sejak awal pandemi akan segera menipis jika DHSC tidak dapat mengelola konsekuensinya sekarang," kata Hillier.
Anggota staf rumah sakit mengenakan masker berjalan di Rumah Sakit Royal London, di London, Inggris, Jumat (31/12). Foto: Mei James/REUTERS
Analisis NAO tentang kebijakan untuk mempercepat sejumlah kontrak menemukan adanya pemasok 'jalur VIP'. Mereka diduga menyediakan 53 persen APD yang tidak memenuhi standar.
Hingga kini, Inggris telah melaporkan lebih dari 160.000 kematian akibat COVID-19 sejak awal pandemi.
Penulis: Sekar Ayu