IPK Indonesia Anjlok, TII Singgung soal Harun Masiku dan Sosok High Rank

10 Februari 2021 19:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka korupsi eks caleg PDIP Harun Masiku. Foto: Twitter/@efdesaja
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka korupsi eks caleg PDIP Harun Masiku. Foto: Twitter/@efdesaja
ADVERTISEMENT
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada Tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 3 poin. Bahkan penurunan ini merupakan yang pertama kali sejak 12 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Manajer Departemen Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menilai ada sejumlah hal yang membuat persepsi publik sehingga membuat IPK turun. Salah satunya terkait dengan penegakan hukum di bidang korupsi.
"Ketika kita melihat upaya penegakan hukum di bidang korupsi lalu melibatkan aktor-aktor demokrasi kita mengalami pelemahan," kata Wawan dalam diskusi yang digelar oleh ICW secara daring, Rabu (10/2).
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020. Foto: Transparency International Indonesia
Wawan kemudian menyinggung soal kasus eks Caleg PDIP Harun Masiku yang sudah lebih dari setahun gagal ditangkap KPK.
"Seperti kita ketahui, satu contoh kasus saja terjadi pada tahun 2019 dan 2020 belum terselesaikan misalnya soal korupsi politik yang melibatkan Harun Masiku yang masih buronan," lanjutnya.
Wawan mengatakan, belum bisa tertangkapnya Harun Masiku menandakan bahwa kinerja aparat belum maksimal. Terlebih, bila diasosiasikan dengan profil kasus yang diduga melibatkan pihak yang lebih tinggi di sektor politik.
ADVERTISEMENT
"Ini kan sebagai penanda bahwa aparat penegak hukum kita masih tidak bisa bergerak lebih banyak ketika ada, sebenarnya Harun Masiku ini kan bukan siapa-siapa, bukan high rank person ya, kalau kita bicara partisan," kata dia.
"Tetapi ketika Harun Masiku ini sebagai kotak Pandora itu dibuka high rank person-nya pasti akan ketahuan gitu ya," sambungnya.
Ilustrasi Harun Masiku. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
Dugaan adanya keterlibatan high rank person yang tak terungkap ini yang dinilai oleh Wawan berpengaruh pada penurunan nilai IPK 2020.
"Nah ini inilah kelindan, yang ketika kita bicara soal sejauh apa pengaruh penurunan indeks demokrasi dengan indeks persepsi korupsi ya publik akhirnya menilai bahwa lembaga penegak hukum tidak bisa ketika menyentuh begitu ya high rank person, begitu ya," ucapnya.
Mensos Juliari P Batubara. Foto: Kemensos RI
Ia pun membeberkan, bila berkaca pada kasus itu, kasus mantan Mensos Juliari Batubara terkait kasus korupsi suap bansos corona juga bisa mempengaruhi persepsi publik. Sebab, diduga ada juga high rank person di belakang politikus PDIP itu.
ADVERTISEMENT
"Misalnya kita lihat ketika Juliari Batubara ketangkap begitu ya ternyata high rank person-nya bukan Juliari begitu, ada high rank yang lain kalau teman-teman baca investigasi Tempo masih ada nih di atasnya Juliari Batubara yang juga enggak tersentuh ya," ucapnya.
"Ini yang memberikan pengaruh persepsi di publik bagaimana situasi korupsi itu terjadi begitu," ujarnya.

Tanggapan atas Mahfud MD

IPK 2020 diukur dalam kurun waktu Oktober 2019 hingga Oktober 2020. Menkopolhukam Mahfud MD masih optimistis IPK Indonesia akan naik di tahun selanjutnya sebab ada dua kasus terkait menteri yang terungkap KPK pada akhir tahun 2020. Mahfud MD meyakini hal itu akan membuat IPK Indonesia akan membaik.
Namun, apakah benar begitu?
Hal itu dijawab oleh Wawan. Ia menyebut, dalam menentukan IPK ada tiga level penilaian. Pertama adalah pengetahuan. Kedua adalah pengalaman. Ketiga adalah ekspektasi.
ADVERTISEMENT
Artinya ketika responden yang dalam sembilan indikator survei ini mempunyai pengalaman, mempunyai pengetahuan, dan mempunyai ekspektasi terhadap situasi pemberantasan korupsi, itulah yang dikemas menjadi sebuah persepsi.
"Ketika OTT dua menteri di bulan Desember itu dimasukkan apakah akan memperbaiki skor IPK di Indonesia? Belum tentu," kata Wawan.
"Kenapa saya bilang belum tentu, karena fakta terhadap penindakan kasus atau OTT terhadap dua menteri ini kan bicara soal case by case, tetapi kita bicara soal improvement yang dilihat dalam satu tahun terakhir," sambungnya.
Keterangan Wawan ini memang agak kontradiktif dengan apa yang disampaikan saat mencontohkan kasus Harun Masiku bisa mempengaruhi IPK. Namun, perlu dicatat, saat membahas kasus Harun Masiku, Wawan menyinggung soal dugaan keterlibatan high rank person di sektor politik (lingkup lebih luas) yang pengaruhi persepsi publik.
ADVERTISEMENT
"Artinya bahwa ketika kita bicara bahwa kasus, misalnya sampai, ya kita bicara ke kasus OTT, kalau misalnya Prof Mahfud bilang bahwa kasus OTT akan menaikkan IPK kita, tapi ketika kita coba triangulasi dengan data yang lain ketika ramai-ramai MA memberikan diskon terhadap PK, tadi yang saya bilang di awal bahwa hukum masih belum memberikan efek jera, nah ini kan juga harus ditriangulasi ke situ," ujarnya.
"Di satu sisi sudah menangkap secara tepat, menangkap secara semangat begitu, tapi nanti di ujungnya diberikan diskon, itu belum lagi soal bagaimana manajemen lapas kita yang masih banyak bolongnya. Jadi sehingga kalau dikatakan ini sekadar persepsi, ya memang namanya indeks persepsi," pungkasnya.