Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.0
Irak Sahkan UU Kontroversial yang Bolehkan Anak Perempuan 9 Tahun Menikah
23 Januari 2025 13:31 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Parlemen Irak mengesahkan amandemen yang memicu protes keras, khususnya terkait dengan pernikahan anak dan hak-hak perempuan, Selasa (21/1).
ADVERTISEMENT
Amandemen terhadap Undang-Undang Status Pribadi yang berlaku sejak 1959 ini memungkinkan pernikahan bagi anak perempuan seumur sembilan tahun. Regulasi ini dianggap oleh banyak aktivis sebagai ancaman terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak di Irak.
Pernikahan Anak yang Legal di Mata Hukum
Amandemen memberi kewenangan lebih banyak bagi pengadilan Islam dalam urusan keluarga, seperti pernikahan, perceraian, warisan, dan hak asuh anak.
Meski hukum Irak saat ini menetapkan usia minimal pernikahan 18 tahun, amandemen memperbolehkan ulama untuk memutuskan pernikahan anak berdasarkan interpretasi mereka terhadap hukum Islam.
Para pendukung amandemen, terutama dari kalangan anggota parlemen Syiah konservatif, berargumen perubahan ini diperlukan untuk menyelaraskan hukum negara dengan prinsip-prinsip Islam.
Namun, para aktivis hak asasi manusia menilai amandemen ini sebagai langkah mundur yang dapat melegalkan pernikahan anak dan melanggar hak anak untuk berkembang secara sehat.
Kontroversi dan Proses Pemungutan Suara yang Dipertanyakan
ADVERTISEMENT
Namun, pengesahan undang-undang ini tidak berjalan mulus. Sidang parlemen berakhir dengan kekacauan dan tuduhan pelanggaran prosedural.
Beberapa anggota parlemen mengeluh karena banyak yang tidak memberikan suara, sementara yang lain memprotes penggabungan beberapa undang-undang kontroversial dalam satu paket, termasuk undang-undang amnesti umum yang mempengaruhi tahanan Sunni dan pelaku korupsi.
“Setengah dari anggota parlemen yang hadir dalam sidang tidak memberikan suara, yang melanggar kuorum hukum,” kata seorang pejabat parlemen secara anonim, seperti diberitakan AFP.
Seorang anggota parlemen lainnya, Nour Nafe, juga mengeklaim bahwa sidang ini tidak sah karena tidak ada pemungutan suara yang terbuka.
Sebagai tanggapan, beberapa legislator mengancam akan mengajukan gugatan hukum untuk membatalkan keputusan tersebut.
Ancaman terhadap Hak Perempuan dan Anak
Seorang aktivis hak perempuan di Irak, Intisar al-Mayali, pun menanggapi pengesahan ini dengan kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
“Akan meninggalkan dampak buruk pada hak-hak perempuan dan anak perempuan, melalui pernikahan anak perempuan di usia dini, yang melanggar hak mereka untuk hidup sebagai anak-anak, dan akan mengganggu mekanisme perlindungan untuk perceraian, hak asuh, dan warisan bagi perempuan,” tuturnya, mengutip Guardian.
Selain itu, perubahan dalam undang-undang juga memberikan pengaruh lebih besar kepada ulama dalam menentukan peraturan keluarga yang sebelumnya diatur oleh hukum sipil.
Hal ini menambah kecemasan terkait tergerusnya hak-hak sipil perempuan dalam menghadapi peraturan agama yang lebih kaku.
Dampak Amandemen Lain
Di sisi lain, undang-undang amnesti umum yang juga disahkan bersamaan dengan amandemen ini, menambah ketegangan politik di Irak.
Undang-undang ini memberikan kesempatan bagi para tahanan Sunni yang dihukum dalam kasus-kasus terorisme untuk mendapatkan pengampunan, serta memberikan kelonggaran bagi mereka yang terlibat dalam korupsi dan penggelapan.
ADVERTISEMENT
Meskipun dianggap sebagai langkah menuju rekonsiliasi, undang-undang amnesti mendapat protes karena melibatkan tahanan yang dihukum tanpa prosedur hukum yang tepat.
Selepas Saddam Hussein tumbang pada 2003, Irak menganut peraturan informal yang menyatakan bahwa muslim Syiah menjabat perdana menteri, Kurdi menjabat sebagai presiden, dan Sunni menjadi ketua parlemen.