Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Jaksa Agung: Kerugian Negara Kasus Korupsi di Garuda Indonesia Rp 8,8 Triliun
27 Juni 2022 12:59 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Pada hari ini, kami dapat penyerahan hasil audit pemeriksaan kerugian negara PT Garuda senilai Rp 8,8 triliun," kata Jaksa Agung, ST Burhanuddin, dalam konferensi pers, Senin (27/6).
Dalam konferensi pers ini, turut hadir Menteri BUMN Erick Thohir dan Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh. Meski demikian, tidak dirinci komponen apa saja dalam kerugian keuangan negara itu.
Kasus ini terkait dengan pengadaan pesawat di Garuda Indonesia Tahun 2011-2021. Yakni pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011. Serta pengambilalihan dalam proses pengadaan pesawat ATR72-600.
Rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi, diduga tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia (persero) Tbk.
ADVERTISEMENT
Dalam tahapan perencanaan, diduga tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, serta tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD. Sementara dalam tahap evaluasi, diduga dilakukan mendahului RJPP dan/atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis “full service airline” PT Garuda Indonesia.
Lantaran pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 diduga dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN, dan prinsip business judgement rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan.
Terkait penyidikan kasus ini, Kejaksaan baru saja menetapkan dua orang tersangka. Yakni mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar , dan SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi. SS ini diduga merujuk pada Soetikno Soedarjo.
ADVERTISEMENT
Dengan penetapan ini, Kejaksaan menambah panjang daftar tersangka. Penyidik sudah menjerat 3 orang tersangka sebelumnya.
Mereka ialah Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia 2011-2012, Setijo Awibowo; Eksekutif Proyek Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014, Agus Wahjudo; dan Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tahun 2005-2012, Albert Burhan.
Berkas penyidikan ketiganya sudah dinyatakan rampung. Mereka segera disidang dalam waktu dekat. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Untuk Emirsyah dan Soetikno, penyidik tidak menahan keduanya. Sebab, mereka sedang dalam masa tahanan atas kasus sebelumnya.
Kasus Kedua Emirsyah Satar
Kasus ini bukan perkara pertama yang menjerat Emirsyah Satar. Bahkan, saat ini, dia sedang menjalani hukuman 8 tahun penjara dan menghuni Lapas Sukamiskin sejak Februari 2021.
ADVERTISEMENT
Emirsyah juga dijatuhi hukuman denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara. Serta dihukum membayar uang pengganti sejumlah SGD 2.117.315,27 dengan ketentuan bila tak membayar sesudah 1 bulan putusan, maka hartanya akan disita untuk menutupi.
Emirsyah merupakan terpidana kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat selama kurun 2009-2014 di Garuda Indonesia dan juga pencucian uang. Namun kala itu, kasus tersebut ditangani KPK.
Dalam kasusnya, Emirsyah dinilai terbukti menerima suap mencapai Rp 46,3 miliar terkait pengadaan pesawat di Garuda Indonesia. Suap berasal dari pihak Rolls-Royce Plc, Airbus, Avions de Transport Régional (ATR) melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, dan Bombardier Kanada.
Pihak penyuap dalam perkara ini ialah Soetikno Soedarjo. Ia pun divonis 6 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Bantahan Emirsyah
Terkait kasus yang sedang diusut Kejaksaan Agung ini, kuasa hukum Emirsyah, Afrian Bondjol, menilai kliennya tidak dapat dituntut. Sebab, menurut dia, Emirsyah sudah dihukum dengan kasus serupa yang sebelumnya ditangani KPK.
"Berkaitan dengan asas Ne bis In Idem di mana seseorang tidak dapat dituntut kedua kali dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap," kata Afrian saat jumpa pers, Senin (17/1).
Afrian berpendapat demikian berdasarkan penjelasan dari Emirsyah yang sudah diperiksa Kejaksaan dalam pengusutan kasus ini.
"Kami sebagai profesional, kami berpendapat hukum, lewat pendapat hukum kami ini Ne bis In Idem, kalau pendapat hukum dari yang lain itu boleh saja, ini sebagai bentuk advokasi kami terhadap klien kami dan asas hukum yang berlaku," kata Afrian.
ADVERTISEMENT
Afrian menjelaskan kliennya saat menjabat jadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia selalu mengedepankan prinsip good corporate governance. Ia membantah adanya korupsi yang melibatkan Emirsyah.
Ia pun menjelaskan soal pengadaan pesawat ATR 72-600 yang kemudian jadi fokus kejaksaan. Menurut dia, pengadaan itu awalnya dilakukan oleh PT Citilink Indonesia tetapi kemudian dialihkan ke Garuda Indonesia.
"Pengadaan pesawat ATR 72-600 di mana di dalamnya termasuk pemilihan lessor, diadakan oleh PT Citilink Indonesia dan kemudian dilakukan pengalihan ke PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Alasan dialihkannya ATR 72-600 ke PT Garuda Indonesia dikarenakan pihak ATR dan lessor meminta jaminan kepada PT Garuda Indonesia dan hal tersebut tidak disetujui oleh Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia. Maka kemudian, atas persetujuan dan kesepakatan dari Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia melakukan pengambilalihan atas pesawat ATR 72-600 dari PT Citilink Indonesia," papar Afrian.
ADVERTISEMENT
Ia berdalih bahwa keputusan itu telah mendapat persetujuan dari rapat direksi dan dewan komisaris. Menurut dia, tindakan pengambilalihan tersebut dilakukan juga atas dasar program pemerintah yang tengah melakukan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).
Afrian menyebut keputusan itu merupakan bisnis murni untuk kepentingan PT Garuda Indonesia dengan mengacu pada Rencana Kerja Anggaran Perusahaan dan Rencana Kerja Jangka Panjang Perseroan.
Terkait pemberitaan soal biaya leasing pesawat tersebut merugikan, Afrian menjelaskan satu tahun setelah Emirsyah pensiun, yakni pada 2015 dan 2016, PT Garuda Indonesia meraih keuntungan USD 71 juta dan USD 59 juta. Yakni dengan menggunakan skema sewa leasing pesawat.
Masih menurut Afrian, utang PT Garuda Indonesia semakin bertambah sejak Emirsyah pensiun sebagai dirut pada Desember 2014. Ia menyebut posisi utang PT Garuda pada saat Emirsyah pensiun ialah USD 2,2 miliar. Setahun kemudian pada Desember 2015, utang itu menjadi USD 2,3 miliar.
ADVERTISEMENT
"Posisi utang PT Garuda Indonesia pada September 2021 adalah sebesar USD 13 miliar," kata Afrian.
"Sehingga dapat kita nilai bahwa hutan PT Garuda Indonesia setelah klien kami selesai menjabat meningkat 6 kali lipat," lanjutnya.
Untuk Soetikno Soedarjo, ia belum berkomentar.
Live Update