Jaksa Agung Soroti Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Anak dalam Kasus Pidana

9 Maret 2021 19:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jaksa Agung ST Burhanuddin lantik sejumlah pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung. Foto: Dok. Puspenkum Kejagung
zoom-in-whitePerbesar
Jaksa Agung ST Burhanuddin lantik sejumlah pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung. Foto: Dok. Puspenkum Kejagung
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) merilis Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana pada Senin (8/3). Rilis tersebut bersamaan dengan Hari Perempuan Internasional.
ADVERTISEMENT
Pedoman yang diterbitkan pada 21 Januari 2021 itu menjadi acuan bagi jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku.
Pedoman tersebut merupakan hasil kolaborasi Kejagung dengan Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), USAID Empowering Access to Justice (USAID-MAJU), Rutgers WPF Indonesia, serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).
Berdasarkan rilis IJRS, pedoman tersebut bertujuan merespons permasalahan yang seringkali dihadapi jaksa penuntut umum dalam menangani perkara perempuan dan anak, terutama dalam membuktikan unsur pidana dikarenakan minimnya saksi dan alat bukti.
Seperti pada kasus kekerasan seksual, sering kali tidak memiliki saksi selain korban. Selain itu, dalam kasus KDRT, sering kali saksi merupakan anak-anak sehingga keterangannya tidak dapat didengar di persidangan.
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Adapun Jaksa Agung, ST Burhanuddin, menyatakan peran jaksa sebagai pengendali perkara, memegang peran penting untuk mengawal dan memastikan penanganan perkara pidana yang mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
"Hal ini dilakukan secara proporsional dengan memperhatikan peran serta kedudukan anak dan perempuan dalam perkara pidana, asas nondiskriminasi, asas perlindungan serta aspek hukum lain terkhusus mengenai perlindungan saksi dan korban," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin melanjutkan, pedoman tersebut turut mengatur agar dalam proses pemeriksaan di pengadilan, jaksa tidak melontarkan pertanyaan yang seksis, menimbulkan diskriminasi berbasis gender, dan membangun asumsi yang tidak relevan.
"Sehingga merugikan perempuan dan anak. Jaksa juga diharapkan dapat lebih menggali kondisi perempuan dan anak baik dari sisi psikologis, relasi kuasa, respon akibat dampak trauma psikologis dan fisik serta lebih peka terhadap kondisi stereotip gender," ucapnya.
Dalam menguraikan fakta dan perbuatan tindak pidana terkait kesusilaan, kata Burhanuddin, jaksa sebisa mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar, dan berlebihan. Penyusunan surat dakwaan dan tuntutan juga diharapkan menghormati hak asasi, martabat, dan privasi perempuan dan anak, serta mencegah pengulangan trauma korban (reviktimisasi).
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Shutter Stock
Tidak hanya dalam proses pemeriksaan, pedoman ini juga mengatur proses dan teknis pemulihan bagi korban tindak pidana, baik melalui ganti rugi, restitusi, dan kompensasi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Direktur LBH Apik Jakarta, Siti Mazumah, menyatakan apresiasinya terhadap pedoman tersebut.
“Pedoman ini memberikan kesempatan bagi korban dan saksi untuk didampingi baik oleh pekerja sosial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), keluarga ataupun pendamping lainnya. Serta adanya perlindungan terhadap informasi dan indentitas korban/saksi dalam hal kasus-kasus terkait seksualitas dan bagaimana pelaksanaan putusan dalam pidana tambahan dan pembuktian dalam tindak pidana KDRT," kata Siti.