Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jalan Panjang Penghayat Menuju Kolom Agama KTP
23 November 2017 11:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Akhirnya, hak yang dijanjikan itu benar-benar mereka terima. Selasa, 7 November 2017 lalu, sembilan dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi sepakat mengabulkan permohonan empat penghayat dari empat kepercayaan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kolom agama di KTP Elektronik mereka tak akan kosong lagi.
Di Indonesia, nasib paling sial yang bisa dialami seorang manusia, selain menjadi (atau dicap sebagai) kafir, adalah mungkin dituduh menjadi seorang komunis. Nahasnya, penghayat kepercayaan kerap mendapatkan keduanya.
“[...] Ada semacam pelabelan terhadap masyarakat sekitar, kafir dan tidak kafir,” ucap Khristofel Praing dalam penjelasannya sebagai saksi di sidang uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Gedung Mahkamah Konstitusi RI, awal Februari.
Pertempuran ini sebetulnya bukan milik Praing. Ia, yang menjabat sebagai Kepala Dinas Dukcapil Sumba Timur, cukup terjamin kehidupannya. Ia beragama Kristen, agama mayoritas di Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT), tempatnya tinggal. Hak-hak dasarnya sebagai warga negara terjamin, terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Namun, melihat belasan ribu masyarakat di tempatnya tinggal tak mendapatkan kesempatan yang sama, Praing buka suara. “Tidak lazim memang saya berada di sini, tapi saya dalam keterpanggilan moril, keterpanggilan tanggung jawab.”
Praing kemudian bercerita, bagaimana penghayat kepercayaan Marapu di Sumba Timur per Desember 2016 mencapai 18.714 orang. Angka tersebut hampir 10 persen dari jumlah penduduk yang ada di seluruh kabupaten. Sayangnya, angka sebesar itu justru menjadi korban dari peraturan pemerintah, pihak yang seharusnya menjamin dipenuhinya hak-hak dasar itu.
Label kafir yang diterima penghayat Marapu mau tak mau datang dari keadaan kolom KTP Elektronik mereka yang kosong. Kurangnya pengetahuan dari masyarakat, bahwa kolom agama yang kosong di KTP bukan berarti tak beragama, membuat cap ateis niscaya mereka dapatkan.
ADVERTISEMENT
Keadaan tersebut terjadi karena Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Adminduk yang telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013, menyebutkan bahwa kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan KTP Elektronik pemeluk selain 6 agama utama harus dikosongkan. Tanda strip (-) akan tertulis di situ, tidak lebih.
Keterangan di Kartu Keluarga, Pasal 61, Ayat (2)
“Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.”
Keterangan di KTP, Pasal 64, Ayat (5)
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
ADVERTISEMENT
“Itu fatal saat terjadi di negara yang menjamin bahwa setiap penduduknya (bebas) memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai agama dan keyakinannya masing-masing,” tandas Praing.
Diskriminasi yang lahir dari buruknya serangkaian peraturan tersebut punya efek domino yang tak main-main. Mereka tak mendapatkan KTP dan KK yang benar-benar menggambarkan identitas mereka. Kalaupun punya, kosongya kolom agama membuahkan diskriminasi, tak hanya dari masyarakat mayoritas, namun juga pelayanan publik yang disediakan pemerintah.
Sulitnya mendapat kesempatan meraih pendidikan yang berkualitas bagi penganut Marapu memprihatinkan. Seperti yang dilaporkan Majalah Gatra edisi 13 Juli 2016 lalu, tak sedikit keluarga Marapu yang menitipkan anak-anaknya ke keluarga yang KK-nya sudah beragama.
“Jadi mereka bisa mendaftar ke sekolah,” ujar Paulus Maramba Meha, Koordinator Program Pengembangan Ketahanan Hidup Berkelanjutan Yayasan Wali Ati (Yasalti), seperti dikutip dari majalah yang sama. Paulus menceritakan, terdapat seorang kepala sekolah yang melarang “anak orang Marapu” menempuh pendidikan di sekolahnya.
ADVERTISEMENT
“Bahkan, ada penerimaan secara kultural bahwa mereka rela disebut kafir. Mereka rela hanya karena ketidaktahuan bahwa kafir itu sesungguhnya tak bertuhan,” ucapnya.
Dan tidak sampai di situ saja. Belasan ribu penghayat Marapu ini juga tak mendapatkan apa yang bisa didapatkan seandainya kolom agama pada KTP Elektronik mereka tak dikosongkan.
“Mereka punya keterbatasan akses terhadap sumber daya. Apa mereka bisa menjadi pegawai negeri, tentara, atau polisi? Hampir pasti tidak mungkin,” kata Praing.
Dan ini bukan hanya karena posisi tersebut tak memberi ruang bagi mereka yang kolom agama KTP-nya kosong. Ini juga terjadi karena adanya benteng psikologis yang tercipta di benak para penghayat karena diskriminasi yang terjadi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
“Secara psikologis mereka tidak percaya diri untuk mendaftar. Di Sumba Timur, tiada seorang pun dari aliran kepercayaan menjadi pegawai,” ujar Praing.
Khristofel Praing tahu, satu-satunya jalan mengubah nasib para penghayat di tempat tinggalnya adalah lewat serangkaian tuntutan dan persidangan di Mahkamah Konstitusi. Ayat dan pasal di UU Adminduk itu harus segera digugat.
Maka, ketika Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim berbarengan melakukan uji materi terhadap UU Adminduk, Praing tak ragu melakukan apa yang bisa ia lakukan.
Apa yang diceritakan Praing hanyalah sedikit dari banyak kisah muram para penghayat yang terjadi di satu kabupaten di NTT.
Padahal, menurut data Direktorat Kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kemendikbud per tahun 2017, terdapat 187 kepercayaan di seluruh Indonesia. Jumlah penghayatnya, menurut Dukcapil Kemendagri, mencapai 138.791 orang. Itu pun dengan catatan, masih banyak penghayat yang mengaku memeluk agama lain demi kebutuhan keseharian mendesak mereka.
ADVERTISEMENT
Tak hanya berskala besar, diskriminasi kepada para penghayat ini juga punya sejarah panjang.
Seperti dicatatkan dengan amat komprehensif oleh Samsul Maarif lewat bukunya Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia terbitan Juni 2017 lalu, negara telah mengabaikan dan melanggar hak-hak sipil para penghayat kepercayaan bahkan sejak ia berdiri pada 1945.
Klaim tersebut amat beralasan, dengan peran unik agama di Indonesia yang tak putus-putus menjadi alat legitimasi kuasa dan kontrol berbagai kelompok warga negara atas kelompok warga negara lainnya. Dihadapkan pada pemeluk agama yang lebih dominan dan “modern”, kepercayaan kerap diletakkan pada posisi yang lebih rendah, lebih kolot, dan mesti ditundukkan.
Klaim tersebut tidaklah berlebihan. Seperti segala permasalahan kronis lain di negeri ini, pertentangan agama dan kepercayaan, yang berakhir pada diskriminasi terhadap para penghayat, merupakan warisan kolonialisme pra-kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Agama dan kepercayaan (yang amat dekat sebagai bagian kultur adat), memang kerap dipertentangkan secara natural di level masyarakat. Agama modern membawa ritual yang sama sekali baru, logika iman yang berbeda, dan tuntunan (macam kitab suci) yang jelas batas ukurannya --ketimbang kepercayaan yang cenderung lebih lentur, transenden, dan adaptif terhadap budaya, kultur, dan perilaku.
Meski juga harus diakui, bahwa keduanya kerap dianggap sama, berjalan beriringan, atau paling tidak dianggap tidak bertentangan. Masih kerap terdengar sampai saat ini, klausul “Asal tidak bertentangan dengan konsep keesaan Tuhan, kepercayaan justru dipandang sebagai unsur yang memperkaya keberagaman”.
Persepsi terhadap agama dan adat yang beragam jelas benar dirusak, ketika pemerintah kolonial Belanda melahirkan kebijakan pembedaan Islam vs adat di akhir abad 19. Saat itu, Christian Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda, menyarankan agar Islam politik ditekan, Islam santri dibebaskan, dan adat kepercayaan dikuatkan, direvitalisasi, bahkan dilembagakan. Hal itu bertujuan agar membendung perjuangan Muslim militan dan membangun aliansi dengan kelompok adat.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, adat yang dilembagakan menjadi berseberangan dengan agama. Sebaliknya, kelompok Islam militan juga memandang musuh perjuangan mereka tak hanya Belanda, namun juga kelompok adat. Polarisasi pun terjadi.
Dari situ, pertentangan keduanya terus berlanjut. Sebelum kemerdekaan, setidaknya terjadi dua fase pengutuban di mana agama dan tradisionalis dipertentangkan. Yang pertama adalah antara santri dan abangan lewat PNI-PKI vs Muhammadiyah NU. Kemudian, sesaat sebelum kemerdekaan, ketegangan kembali terjadi lewat polarisasi konsep pembentukan negara Islam vs negara sekuler.
Kemerdekaan membawa babak baru dalam pertentangan keduanya. Kubu pro-Syariah yang merasa kalah dengan ditolaknya rumusan sila pertama Piagam Jakarta, mendesak pendirian Departemen Agama. Benjamin Fleming Intan, dalam bukunya “Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia (2008), menilai kelompok santri menggunakan Depag untuk menekan kegiatan kelompok abangan.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah ketika Depag, pada 1952, mengajukan definisi agama dengan mewajibkan adanya tiga elemen: 1) adanya nabi, 2) kitab suci, dan 3) pengakuan internasional. Sekalipun usulan tersebut tak pernah masuk lembar dokumen negara, tafsir sempit soal ‘mana yang agama’ dan ‘mana yang bukan’ tersebut efektif dipakai untuk mengeksklusi kepercayaan lokal Indonesia dari golongan “agama”.
Sampai-sampai tahun 1953, Depag membentuk lembaga khusus bernama Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Menurut Semuel Agustinus Patty dalam disertasinya di Washington State University (1986), lembaga ini dibentuk untuk mengawasi eksistensi dan kehidupan kelompok kebatinan. Ia juga berperan agar kelompok-kelompok ini tidak menjadi agama baru, dan agar agama Islam terlindung dari pengaruh ilmu kebatinan.
Maka tak mengherankan apabila tahun 1965, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden yang kemudian menjadi UU Nomor 1/PNPS 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang di dalamnya menyingkirkan aliran dan kepercayaan sebagai satuan yang jelas bukan agama.
ADVERTISEMENT
Pada penjelasan Pasal 1, UU tersebut memberi batas agama apa yang dipeluk “penduduk di Indonesia”:
“[...] Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agamaagama di Indonesia [...]”
Selain itu, muncul pula penegasan bahwa kepercayaan tak setara dengan agama, lewat paragraf seperti ini:
“Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalah-gunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kearah yang sangat membahayakan Agama-agama yang ada.”
Pada masa Orde Baru, penegasan bahwa kepercayaan tak setara dengan agama kembali dilakukan oleh Presiden Soeharto lewat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 soal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
ADVERTISEMENT
“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.
Pembinaan terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilakukan :
1. Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
2. Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa benarbenar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Penegasan kembali dilakukan Soeharto pada pidatonya di depan MPR, 16 Agustus 1978:
“Dalam kesempatan ini saya ingin menambah penjelasan tentang Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dalam kenyataannya memang merupakan bagian dari kebudayaan nasional kita. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan dengan agama.”
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, pada TAP MPR Nomor II/MPR/1998, tidak hanya ditentukan bahwa kepercayaan agar terus dibimbing untuk tidak membentuk agama baru. Namun, peraturan yang sama juga mendorong agar pemeluk kepercayaan diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang sudah diakui negara.
“Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa perlu terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama dan oleh karena itu, pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara.”
Keadaan tentu berubah dengan adanya Reformasi. Kong Hu Chu, yang sempat dilikuidasi statusnya sebagai agama resmi, dikembalikan posisinya oleh Gus Dur sejak tahun 2000. Pengakuan terhadap aliran kepercayaan juga termaktub dalam UU Adminduk 2006.
ADVERTISEMENT
Meski UU tersebut juga bermasalah pada beberapa ayatnya, yang jelas, UU itu tak lagi memaksa para penghayat untuk berpindah atau memeluk enam agama yang diakui. Malahan, negara menjamin pelayanan publik dan pencatatan sipil terhadap para penghayat sama seperti pada pemeluk agama lainnya.
Tentu saja, tuntutan para penghayat kepercayaan pada 2016 lalu membuktikan bahwa jaminan perlakuan sama UU Adminduk tersebut, tak beresonansi secara sempurna terhadap perlakuan di level birokrasi dan masyarakat.
Lewat berbagai risalah persidangan, kita tahu bahwa Nggay Mehang Tana, penganut Marapu, kerap dicap kolot, kafir, dan sesat. Ia dan komunitas Marapu lain juga kerap kesulitan mendapat akta kelahiran buat anak-anak mereka, karena perkawinan antara penghayat Marapu secara adat tak diakui negara.
ADVERTISEMENT
Kita juga tahu, bahwa Pagar Demanra Sirait dan sesama penghayat kepercayaan Parmalim dari Sumatera Utara, kerap dipaksa oleh kepala lingkungan mereka untuk mengaku menganut enam agama dominan agar pembuatan KTP Elektronik dan KK lebih mudah diproses.
Kita kemudian mendengar pula, Arnol Purba yang mewakili sesama penganut Ugamo Bangsa Batak, menceritakan bahwa salah seorang di antara mereka pernah ditolak bekerja meski prestasinya bagus. Hal itu rupanya terjadi karena kolom agama KTP-nya bertanda strip (-) dan calon pemberi kerja lantas menganggapnya kafir atau ateis.
Begitu pun dengan Carlim dan sesama penganut Sapto Darmo di Brebes, bahwa kosongnya kolom KTP mereka membuat mereka dicap sesat dan kerap ditolak di pemakaman.
Memang, dengan ditulisnya “Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME” di KTP nanti, tak akan 100 persen menjamin diskriminasi tersebut hilang dari masyarakat. Namun, jelas, putusan MK awal bulan ini, adalah angin segar bagi terjaminnya kesamaan dan kesetaraan para penghayat kepercayaan di hadapan hukum.
ADVERTISEMENT
Semoga.