Jalan Pulang Mantan Pengikut ISIS

6 Maret 2020 16:29 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga sipil Negara Islam (IS) saat dievakuasi di provinsi timur Suriah Deir Ezzor pada 5 Maret 2019. Foto: AFP/Bulent KILIC
zoom-in-whitePerbesar
Warga sipil Negara Islam (IS) saat dievakuasi di provinsi timur Suriah Deir Ezzor pada 5 Maret 2019. Foto: AFP/Bulent KILIC
Mantan pengikut ISIS asal Indonesia berkisah soal pengalamannya hidup di Suriah. Menyesal dan kini bertobat. Bagaimana sisanya yang tertinggal di Suriah?
Bendera putih berkibar di atas iring-iringan tiga mobil yang melintas di pinggir Kota Tell Abyad, Suriah, sekitar Mei 2017. Jalanan berpasir dan berbatu membuat mobil itu goncang. Pos penjagaan berisi tentara Pasukan Demokratik Suriah (SDF)-Kurdi menyiagakan senapannya di batas kota.
Sisa perang dengan ISIS masih membekas di kota itu, bangunan rusak, bangkai kendaraan, dan lalu lalang tentara. Febri Ramdhani dan 17 anggota keluarganya, termasuk sang ibu, berjejal dalam tiga mobil itu. Mereka waswas senapan tentara SDF bakal menyalak.
“Kami benar-benar khawatir dihujani tembakan kembali-alhamdulillah, tak ada satu pun tembakan yang dijatuhkan kepada kami,” tulis Febri dalam bukunya, 300 Hari di Bumi Syam: Perjalanan Seorang Mantan Pengikut ISIS.
Perjalanan itu adalah kali ketiganya keluarga asal Indonesia melintas di jalan yang sama. Pada dua perjalanan sebelumnya, senapan tentara SDF menyalak dan memaksa mobil yang mereka tumpangi berputar arah, mengungsi sementara ke sebuah wilayah antah berantah bernama Hamrat.
Melintasi penjagaan SDF di depan Kota Tell Abyad adalah satu langkah untuk bebas dari ISIS. Semua penumpang mobil itu bisa bernapas lega ketika tentara SDF menggeledah mereka satu per satu.
“Perasaan saya dan tentunya kami semua sangatlah lega,” lanjut Febri.
Febri eks pengikut ISIS. Foto: Dok. Febri
Febri dan keluarganya adalah mantan pengikut ISIS yang menyesal menjalani kehidupan dalam kuasa kekhalifahan ala kelompok itu. Keberangkatan mereka ke Suriah berawal dari keinginan beberapa kerabat setelah membaca soal ISIS di internet.
Salah seorang kerabat Febri tersebut adalah Dhania, yang masih menginjak usia remaja. Ia mengaku pembicaraan dengan tante dan referensi dari internet membulatkan tekadnya untuk hijrah ke Suriah. Dhania sendiri sedikit memaksa ayah, ibu, dan dua saudara kandungnya.
“Pamanku dan kerabatku punya peran untuk mengajak keluarganya sendiri. Sedangkan aku memang kencang (mengajak) ke keluargaku juga, pribadi, keluarga inti,” aku Dhania ketika ditemui di Kantor RuangObrol.id di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Senin (2/3) lalu.
Kala itu sekitar tahun 2015, ketika Dhania aktif berbincang dengan simpatisan ISIS melalui media sosial. Tekadnya yang bulat membuat ia berontak terhadap orang tuanya, bahkan Dhania yang masih duduk di kelas 2 SMA sempat kabur dari rumah. Laku ini yang membuat keluarga itu menuruti keinginannya untuk hijrah ke Suriah.
Seorang wanita bersama anaknya di kamp al-Hol yang ditempati oleh keluarga pejuang Negara Islam (IS) di Suriah pada 17 Oktober 2019. Foto: AFP/Delil SOULEIMAN
Rombongan mereka diisi oleh 20-an orang yang saling berkerabat. Mereka melalui jalur penerbangan ke Turki lantas dilanjutkan menembus perbatasan Suriah dibantu oleh penghubung ISIS. Rombongan ini berhasil memasuki Kota Raqqa di Suriah namun satu rombongan keluarga, sekitar 7 orang, tertahan oleh penjagaan pasukan Turki dan dideportasi.
Awalnya Dhania terkesan menjalani awal kehidupan di Raqqa. Keluarganya tinggal di sebuah asrama. Selama beradaptasi mereka masih betah-betah saja namun di hari-hari berikutnya Dhania semakin tersadar, realitas kehidupan kekhalifahan ISIS tak seindah bayangannya.
“Kalau awal-awal sih kayak cuma heran saja (dengan sikap) wanita-wanitanya kayak gitu. Hal-hal sepele suka sampai berantem. Sampai waktu itu puncaknya ada yang saling lempar pisau,” ujar Dhania.
Parahnya pencurian dan fitnah pun jamak merajalela, serta janji akan hidup gratis hanya isapan jempol belaka. Bahkan Dhania dan keluarganya yang belum menikah didatangi pasukan ISIS berkali-kali untuk diajak menikah. Mereka selalu menolak ajakan ini dan harus menerima omongan tak enak dari tetangganya.
“Walaupun kadang dinyinyirin sama perempuan yang lainnya. Mana jihadmu, gitu,” kata Dhania.
Foto udara sisa-sisa bangunan milik pemimpin kelompok Negara Islam (IS) yang juga tewas akibat serangan Amerika Serikat di Suriah pada 1 November 2019. Foto: AFP/Omar HAJ KADOUR
Empat bulan di asrama mereka kemudian dipindahkan ke perumahan milik ISIS di Raqqa. Mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dan menempati kamar di lantai 2 berkapasitas 10 orang. Tak ada aktivitas wajib yang harus diikuti Dhania dari ISIS. Praktis kesehariannya lebih banyak di rumah, kalaupun keluar hanya ke pasar dan warnet.
Suatu hari ia bertemu Febri ketika hendak ke pasar. Awalnya Dhania tak menyadari Febri sebagai kerabat, sapa selaku sesama orang asal Indonesia berlanjut menjadi perbincangan. Lalu terkuaklah bahwa Febri adalah anak dari salah satu tantenya.
Febri memang tak punya tekad untuk hidup di bawah ISIS. Ia memilih tinggal di Indonesia ketika keluarganya berangkat ke Suriah. Namun tinggal tanpa keluarga dirasanya berat hingga ia memutuskan untuk menyusul mereka.
Tetapi perjalanannya mencari keluarga tak semudah yang ia bayangkan. Kemampuan bahasa Arab ala kadarnya membuatnya kesulitan mencari petunjuk keberadaan orang tuanya. Sampai-sampai ia nyaris putus asa, untungnya hari itu ia bertemu Dhania dan mendapati tempat tinggal keluarganya.
Patung Girl of Spring di dekat puing-puing bangunan yang dihancurkan oleh kelompok Negara Islam (IS) di Mosul, Irak. Foto: AFP/Zaid AL-OBEIDI
Bahkan ia sempat terjebak di Jabhat Al Nusra, faksi yang menentang ISIS, sebelum akhirnya bisa sampai ke Raqqa. Kota tersebut tak sesuai bayangannya. Jalanan rusak dan rumah-rumah tak terawat adalah pemandangan yang dia jumpai.
“Setiap sehabis salat saya seringkali meneteskan air mata, berharap supaya Allah mempertemukan kembali saya dengan mereka,” kenang Febri yang ditinggal secara diam-diam oleh kakak dan ibunya ke Suriah.
Perjumpaan keluarga ini menguak masalah keluarganya. Orang tuanya terlilit utang karena usahanya bangkrut. Mereka berharap hijrah ke naungan ISIS dapat membuka pintu rezeki untuk menutup utang tersebut. Namun, hal itu tak pernah terjadi.
Malah beberapa kali Febri didatangi tentara ISIS untuk dipaksa ikut pelatihan militer. Tetapi dia selalu berhasil menolak. “Orangnya bolak-balik, tapi saya alasan sakit. Akhirnya udah enggak didatangi lagi, di rumah aja,” kata Febri kepada kumparan.
Ilustrasi ISIS Foto: REUTERS
Kendati tak dilukai secara fisik, tapi dia kemudian diumpat dengan julukan munafik. Bahkan, keluarga Febri yang sebelumnya sudah dipaksa berkali-kali sempat dipenjara karena menolak ikut latihan militer.
Keadaan Raqqa pun kemudian mulai genting, ISIS mulai terdesak. Kota itu menjadi sasaran bom tentara Amerika Serikat, Rusia, dan SDF. Pasokan listrik putus karena kota pemasoknya, Tabqah, dikuasai SDF.
Kondisi genting bercampur kekecewaan terhadap daulat ISIS kian membulatkan tekad untuk pulang kembali ke Indonesia. Mereka menjalaninya walaupun nyaris mustahil.
Dhania dan beberapa kerabatnya mencari jalur pulang melalui jejaring anti-ISIS hingga perwakilan pemerintah Indonesia. Jalan itu buntu.
Akhirnya mereka menggunakan jasa penyelundup. Namun apes sudah terjadi di awal perjalanan, mereka dua kali kena tipu hingga barang-barang mereka dibawa kabur oleh penyelundup itu.
Penyelundup itu mematok harga 1.000 dolar AS per orang. Sedangkan rombongan mereka berjumlah 17 orang. Uang muka dan barang yang mereka serahkan lenyap karena penyelundup itu menghilang entah ke mana.
“Tas ransel sudah (mereka bawa), berapa ribu dolar itu yang diambil sama mereka kalau ditotalin,” aku Dhania.
Akhirnya penyelundup terakhir memberikan tarif 4.000 dolar AS untuk seluruh rombongan. Penyelundup inilah yang kemudian membantu mereka melewati tentara SDF di Tell Abyad, Suriah.
Namun perjalanan di Tell Abyad ini baru setapak langkah saja menuju kebebasan. Febri dan seluruh kerabat laki-laki harus menjalani interogasi berhari-hari di penjara. Sedangkan Dhania bersama kerabat perempuan ditampung di kamp Ain Issa.
Peta Kamp Pengungsian ISIS Foto: Andri Arifin
Catatan Institute For Policy and Analysis for Conflict (IPAC) berjudul Indonesia: Urgensi Kebijakan Pemulangan WNI Pro-ISIS dari Suriah menuliskan Kamp Ain Issa merupakan satu dari tiga kamp penampungan ISIS yang berdiri sejak 2016. Hingga Mei 2019 kamp ini dihuni oleh 13.200 orang asal Suriah dan Irak.
Sedangkan SDF sendiri mengelola enam penjara untuk kombatan ISIS. Beberapa penghuni penjara tersebut bukan pendukung ISIS yang ikut berperang.
Di tempat itulah Dhania, Febri, dan kerabatnya tinggal selama dua bulan. Jalan pulang ke Indonesia masih terlihat gelap kala itu. Dhania mengungkap dirinya meminjam telepon genggam milik seorang jurnalis yang mewawancarainya untuk menghubungi seorang kerabat di Jakarta.
Kerabat inilah yang menghubungkan informasi keberadaan keluarga Dhania dan Febri kepada pengamat terorisme Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian. Huda dan lembaganya kemudian berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia dan meminta bantuan pemulangan Dhania dan kerabatnya. Mereka berhasil pulang ke Tanah Air pada Agustus 2017.
Pengamat terorisme Noor Huda Ismail Foto: Dwi Herlambang/kumparan
Hidup Baru
Keluarga Dhania dan Febri sudah kehilangan seluruh harta bendanya sejak mereka berangkat ke Suriah. Mereka menjual seluruh aset milik mereka sebagai modal perjalanan melintasi benua. Mereka tak lagi utuh, ayah Dhania misalnya, harus menjalani masa hukuman di balik jeruji besi di penjara Sentul, Bogor, Jawa Barat, karena dianggap bergabung dengan teroris.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Dhania dan keluarganya berjualan makanan ringan dan pernak-pernik melalui Instagram.
Dhania melanjutkan pendidikannya melalui program pendidikan nonformal, kejar paket, dan kini tengah juga tengah sibuk menjadi kontributor di sebuah media yang didirikan oleh Noor Huda Ismail. Febri sendiri kini menjalani kuliah di Fakultas Sastra.
Mereka bersyukur keinginan kembali ke Tanah Air berhasil dilakukan. Menurut mereka banyak mantan pengikut ISIS yang ingin pulang karena kecele dengan janji ISIS, namun tak menemukan jalan pulang.
Hingga kini masih terdapat 600-an mantan pendukung ISIS asal Indonesia yang ditampung di tiga kamp penampungan, yakni Ain Issa, Al Hol, dan Al Roj. Pemerintah membatasi pemulangan mantan pengikut ISIS tersebut.
Menkopolhukam Mahfud MD sebelumnya mengatakan pemerintah hanya akan memulangkan WNI berumur di bawah 10 tahun dan yatim piatu.
“Itu sudah mulai (pemblokiran) terhadap orang yang jelas-jelas sudah ISIS. Diblokir dulu jangan bisa masuk ke sini. Yang kedua, kita sedang mengidentifikasi ada enggak anak yatim di bawah 10 tahun,” kata Mahfud di kantor Kemenkopolhukam, Jumat (28/2).
Beberapa kelompok masyarakat sendiri menolak pemulangan mantan pengikut ISIS yang kini berada di kamp pengungsian.
Peserta aksi yang tergabung dalam Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin (10/2). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia Yon Machmudi menyebutkan keberadaaan orang Indonesia di kamp penampungan mantan ISIS merupakan problematika baru bagi Indonesia. Baru kali ini banyak orang Indonesia yang terlibat dalam masalah internasional.
Tetapi ia khawatir jika pemerintah tidak memulangkan sepenuhnya mantan pengikut ISIS itu akan berisiko mereka bergerak pulang melalui jalur gelap dan susah dideteksi.
“Potensi masuk ke Filipina lebih terbuka karena wilayah itu tidak terkontrol dan kelompok-kelompok yang ada Abu Sayyaf itu juga memerlukan orang-orang bersama mereka,” ucap Yon kepada kumparan pada Sabtu (15/2).
Dhania mengungkap paling tidak pemerintah harus melakukan asesmen kepada mereka. Menurutnya ada beberapa anak-anak yang ikut orang tuanya ke Suriah ketika berusia di bawah 10 tahun dan kini sudah menginjak usia remaja.
Pembatasan umur harus mempertimbangkan hal ini karena anak-anak tersebut terpengaruh dan di bawah kuasa orang tuanya ketika berangkat ke Suriah. Pastinya jangan sampai mereka justru pulang melalui jalur ilegal.
“Itu balik lagi ke pemerintah mereka mau bagaimana. Merekalah yang lebih paham. Kalau aku assessment harus tetap ada. Dan memang harus dipikirkan lagi bahwa sesungguhnya enggak semua orang yang ke sana atas dasar ideologi,” ungkap dia.
Sejumlah tahanan yang diduga berafiliasi dengan kelompok Negara Islam (IS) di tahan di penjara kota Hasakeh, Suriah pada 26 Oktober 2019. Foto: AFP/FADEL SENNA
Korban Bom JW Marriot 1, Febby Firmansyah Isran, mengungkapkan pemerintah sebaiknya mengadili mantan pendukung ISIS di Tanah Air. Ia memiliki kekhawatiran sama, yakni jika mereka pulang melalui jalur ilegal bakal susah dideteksi.
Febby sempat bertemu dengan Febri dan Rehan, keduanya pernah tinggal di wilayah ISIS, dan kemudian banyak mendapatkan informasi.
Kini bola pemulangan mantan pengikut ISIS ada di tangan pemerintah. Rencana asesmen bakal dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT).