Jawaban Mengapa Berita Palsu Sangat Menggoda untuk Dibagikan

28 September 2018 10:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Allan Miller, pendiri The News Literary Project (TNLP). (Foto: Kumparan/Denny Armandhanu)
zoom-in-whitePerbesar
Allan Miller, pendiri The News Literary Project (TNLP). (Foto: Kumparan/Denny Armandhanu)
ADVERTISEMENT
Penyebaran berita palsu, hoaks, misinformasi, dan disinformasi, sangat masif di tengah perkembangan teknologi internet dan aplikasi berbagi pesan. Dengan satu klik saja, berita itu bisa mencapai ribuan orang di seluruh dunia, merusak dengan caranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan Institut Teknologi Massachusetts (MIT) pada Maret lalu, berita palsu memiliki kemungkinan untuk diretweet sebesar 70 persen dibanding berita benar. Berita palsu juga bisa menjangkau 1.500 orang enam kali lebih cepat ketimbang berita benar.
Hal ini ditemukan MIT dengan menelaah data-data sejak Twitter diluncurkan, dengan 126 ribu berita, di-tweet oleh 3 juta pengguna, selama 10 tahun. Kesimpulan MIT, berita palsu atau rumor lebih mampu menjangkau masyarakat, masuk lebih dalam ke jaringan sosial, dan menyebar jauh lebih cepat ketimbang berita yang akurat.
Lantas, mengapa berita palsu sangat menggoda sehingga mudah sekali dibagikan? Alan Miller, pendiri The News Literary Project (TNLP), sebuah organisasi untuk pendidikan literasi media kepada masyarakat, memberikan alasannya.
ADVERTISEMENT
Miller mengatakan, berita palsu mudah sekali dibagikan karena konten dari berita itu sesuai dengan pandangan pembaginya, tanpa memeriksa terlebih dulu apakah isinya akurat atau tidak, yang penting mereka merasa dibenarkan.
"Kita hidup di masa ketika masyarakat terbagi menjadi berkubu-kubu. Orang-orang membagikan berita palsu karena isinya membenarkan apa yang selama ini mereka percayai," kata Miller dalam acara rangkaian diskusi Foreign Press Center yang diikuti kumparan bertajuk "Literasi Media dan Memerangi Disinformasi" di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (27/9).
Allan Miller, pendiri The News Literary Project (TNLP). (Foto: Kumparan/Denny Armandhanu)
zoom-in-whitePerbesar
Allan Miller, pendiri The News Literary Project (TNLP). (Foto: Kumparan/Denny Armandhanu)
Bahkan, lanjut Miller, hal ini yang menyebabkan berita palsu banyak juga dibagikan oleh orang-orang berpendidikan tinggi karena kontennya mendukung pemahaman mereka. Masalah benar atau salah itu belakangan.
"Studi menunjukkan semakin berpendidikan dan politis seseorang, maka semakin mudah mereka mempercayai yang sesuai dengan pemahaman mereka dan menolak informasi yang berseberangan," kata bekas jurnalis Los Angeles Times peraih Pulitzer ini.
ADVERTISEMENT
Alasan lainnya adalah untuk menunjukkan kepada orang lain soal isi konten palsu tersebut. Niat awalnya hanya untuk memperlihatkan kepada orang lain, konten hoaks itu akhirnya tersebar kemana-mana.
Selain itu, seseorang membagikan berita palsu karena akan mendapatkan banyak like atau follower baru di media sosial. Hal ini yang nantinya akan menghasilkan uang bagi pembaginya. Hal inilah, kata Miller, yang menyebabkan ada 8 juta berita palsu di Facebook. Namun 80 persen di antaranya hanya hasil share, bukan konten baru.
"Dipengaruhi klik, like, sharing, ini tidak hanya mendapatkan insentif finansial, tapi juga emosional. Ada desakan adrenalin dalam hal ini," kata Miller.
TNLP di bawah kepemimpinan Miller memberikan pendidikan melalui internet kepada siswa di seluruh dunia soal memperlakukan berita yang belum jelas faktanya. Melalui program bernama Checkology, semua orang di seluruh dunia bisa mendapatkan pendidikan soal era digital dan penyebaran berita hoaks dari para ahlinya di internet.
ADVERTISEMENT
Di antara salah satu materi pengajarannya adalah menanamkan pola pikir skeptis terhadap sebuah konten yang mencurigakan, betapapun menariknya isi konten tersebut.
"Kita harus memiliki skeptisisme yang sehat. Periksa beritanya, siapa yang membagikannya, tapi bukan sinisisme," lanjut Miller lagi.