Jejak Gempa DKI: Hancurkan Istana Daendels; Lenyapkan Observatorium Megah

26 Februari 2023 1:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Monumen pengingat nama-nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dimakamkan di lahan belakang gereja Belanda yang sekarang adalah Museum Wayang. Salah satunya ada nama JP Coen, pendiri Batavia. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Monumen pengingat nama-nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dimakamkan di lahan belakang gereja Belanda yang sekarang adalah Museum Wayang. Salah satunya ada nama JP Coen, pendiri Batavia. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
ADVERTISEMENT
Gempa besar setidaknya pernah mengguncang Jakarta tiga kali sepanjang sejarah yang tercatat oleh BPBD DKI. Ketiganya terjadi saat Jakarta masih bernama Batavia, yakni pada 5 Januari 1699, 22 Januari 1780, dan 10 Oktober 1834.
ADVERTISEMENT
Saat itu, tentu saja, belum ada teknologi pengukuran gempa yang akurat sehingga sulit memprediksi dampak gempa. Namun berkat penelitian panjang dan catatan sejarah, jejak-jejak gempa itu malah bisa kita telusuri ulang sekarang.
Bersama BPBD DKI, saya berkesempatan menjelajahi "mesin waktu", berjalan mundur ke tahun 1834 hingga 1699 dan melihat Jejak Gempa Batavia.

Hancurnya Istana Impian Daendels

Gedung AA Maramis yang dulu direncanakan Daendels sebagai Istana Negara tampak megah berdiri di kompleks Kementerian Keuangan. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels, mungkin dikenal dengan gaya kepemimpinannya militeristik dan kekejamannya saat memimpin proyek pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tapi siapa sangka, bangunan putih megah yang menyambut saya dengan hangat ini adalah impian Daendels yang tak pernah sempat ia tempati.
"Istana Daendels" ini terletak di depan Lapangan Banteng, tempatnya di dalam kompleks Kantor Kementerian Keuangan. Gedung dengan panjang dua kali lapangan bola itu masih berdiri tegak meski sudah berusia lebih dari dua abad dan diguncang gempa besar. Saat saya sampai sana, tampak beberapa tukang yang sedang memugar istana tersebut.
ADVERTISEMENT
Tadinya Daendels berencana menjadikan bangunan ini sebagai istana negara. Namun setelah pembangunannya selesai, ia tak sempat tinggal di sana karena Perang Napoleon meledak. Alhasil, penerusnya, Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies alias Du Bus, yang meresmikan Het Groot Huis alias Istana Gubernur Jenderal ini pada 1828.
Prasasti bertuliskan yang artinya "1809 dibangun Deandels, 1828 diresmikan oleh DuBus. Foto Thomas Bosco/kumparan.
"Yang bangun [istana ini] awalnya Daendels, tapi enggak sampai selesai. Dulu itu rencananya diperuntukkan untuk istana negara. Jadi [areanya] dari Kota [Tua], cuma karena malaria dan penyakit lainnya itu, jadi mundur ke sini (Kompleks Kemenkeu)," jelas penanggung jawab istana yang kini diberi nama Gedung AA Maramis, Wiganda, kepada saya.
Nasib sial istana ini berlanjut. Baru enam tahun diresmikan, istana itu porak poranda dihancurkan gempa tahun 1834 yang berpusat di Batavia.
ADVERTISEMENT
Kini Istana Gubernur Jenderal alias Gedung AA Maramis itu sudah dibangun lagi dan dipugar. Pemugaran ini dimulai pada Januari dan rencananya bisa rampung pada Juni 2023 mendatang.

Lenyapkan Observatorium Tertua Indonesia

Lukisan kawasan Gajah Mada zaman Batavia. Bangunan yang mencuat paling tinggi diketahui adalah Observatorium Mohr. Foto: Perpustakaan Nasional Indonesia
Perjalanan berlanjut. Dari "Istana Daendels" di seberang Lapangan Banteng, saya dibawa ke daerah Glodok. Dari tahun 1834, saya mundur hampir satu dekade kembali ke 1768 untuk melihat observatorium yang pernah berdiri megah di sana.
Berdasarkan catatan sejarah, observatorium itu adalah milik seorang pastor yang punya kekaguman terhadap astronomi, Pastor Johan Maurits Mohr. Makanya bangunan setinggi 24 meter, lebih tinggi 9 meter dari Bosscha, itu diberi nama Observatorium Mohr, seperti nama pemiliknya.
Observatorium ini dibangun pada 1765 dan baru selesai tiga tahun kemudian. Saat itu, ia menjadi salah satu monumen tertinggi dan paling dibanggakan di Batavia.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, gempa hebat tahun 1780 meratakan semuanya. Bangunan itu rusak parah dan tak terawat.
Lokasi diduga dari Observatorium Mohr yang berada di antara Jalan Kemurnian 1 dan 2 sebelah Vihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
Sejak Mohr meninggal, bangunan itu makin tak terurus, dan berpindah tangan dari satu orang ke yang lainnya. Observatorium Mohr yang agung itu lenyap tak berbekas.
"Setelah Mohr meninggal, ada beberapa alih tangan [kepemilikan] ke keluarganya, lalu dijual. Sempat jadi tangsi Belanda, sampai akhirnya terbengkalai, hancur, dan jadi dibangun [bangunan lain] saja," kata salah satu peneliti Skala yang ikut bersama saya, Abdurrahman Heriza alias Mules.
Seharusnya, jika berdasarkan catatan sejarah, Observatorium Mohr berada di sebuah titik yang sekarang menjadi Jalan Kemurnian 1 dan 2. Diperkirakan, ia tadinya ada di sebelah Vihara Dharma Bakti, Glodok.
Tapi saat saya sampai sana, tak ada bangunan setinggi 24 meter yang menjulang tinggi di depan saya. Yang ada hanyalah deretan hunian dan ruko serta sisa cerita kejayaan Observatorium Mohr.
ADVERTISEMENT

Gempa yang Ubah Gereja Jadi Museum

Tampak depan Museum Wayang yang modelnya sama seperti saat tempat itu masih menjadi Gereja Belanda Lama pada tahun 1640-1732, Kota Tua Jakarta. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
Kini saya melangkah menuju tahun 1699, tepatnya pada 5 Januari saat gempa besar memporak-porandakan De Oude Hollandsche Kerk atau Gereja Belanda Lama. Gereja bergaya khas era Renaissance yang berada di kawasan Kota Tua itu awalnya dibangun oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1640.
Setelah dihancurkan oleh gempa, gereja ini sempat dipugar dan difungsikan kembali di tahun 1736-1808 dan diganti namanya menjadi Gereja Belanda Baru. Bahkan model bangunannya sedikit berubah dengan penambahan kubah di bagian atas.
Nisan-nisan pemakaman orang Belanda yang ada di kawasan belakang gereja, yang kini dipajang setelah gereja tersebut saat ini menjadi Museum Wayang. Foto: Thomas Bosco/kumparan
Namun lagi-lagi, gereja ini hancur lebur akibat letusan Gunung Tambora tahun 1808. Letusan gunung yang begitu hebat itu memicu gempa besar yang meratakan bangunan gereja.
"Setelah itu barulah dibangun kembali tahun 1912. [Waktu itu bukan museum]. Setelah jadi tak langsung jadi Museum Wayang, tahun 1939 di sini pernah jadi cikal bakalnya Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah," jelas pemandu Museum Wayang Jakarta, Irfan Yulianda.
ADVERTISEMENT
Baru pada 13 Agustus 1975 lah, bangunan baru ini diresmikan menjadi Museum Wayang. Belakangan, model tampak depan gaya Renaissance ala Gereja belanda Tua itu masih bisa kita lihat di Museum Wayang saat ini.

Museum Bahari yang Kokoh

Menara Syahbandar yang tampak miring di depan kawasan Museum Bahari. Menara tersebut diperuntukkan sebagai menara untuk memantau pergerakan yang datang dari arah laut atau dari dalam Batavia. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
Perjalanan terakhir saya adalah kembali ke tahun 2023, menyambangi Museum Bahari yang kokoh bertahan dari masa ke masa. Museum ini tadinya adalah gudang logistik dan tempat penyimpanan rempah-rempah. Bangunan ini kuat karena teknologi antigempa, angkur, yang membuatnya tahan diguncang gempa.
Angkur adalah lempengan baja yang ditanam pada beton sebelum akhirnya dicor ke dalam beton, atau dipasang ke beton yang mengeras. Baja ini nantinya berfungsi menyalurkan beban yang didapatkan dinding beton.
Ilustrasi Kota Batavia tahun 1818 yang jadi salah satu koleksi di Museum Bahari. Kota Batavia saat itu masih dibentengi tembok-tembok dan hanya dari Pelabuhan Sunda Kelapa hingga Kota Tua. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
"Tetap stay [berdiri] sih karena kan sistemnya itu ya yang dianut Belanda. Ya enggak hancur dan enggak apa-apa kalau di gudangnya,” jelas Firman, pemandu Museum Bahari.
ADVERTISEMENT
Padahal Museum Bahari dibangun pada 1600-an, artinya pernah terkena gempa tahun 1699, 1780, bahkan 1834. Namun catatan sejarah hanya menyebutkan bahwa gedung di sana hancur karena gempa 1699 dan 1780. Tak ada satu pun catatan sejarah yang menyebut gedung ini pernah hancur akibat gempa di yang terjadi di 1834.
Penampakan dinding asli Batavia yang ada di Museum Bahari. Foto: Thomas Bosco/kumparan.
Setelah perjalanan panjang dari masa ke masa itu, terbesit pikiran di kepala saya: bagaimana jika gempa besar itu kembali, seperti saat ia mengguncang Batavia? Apakah kita sudah siap dan waspada? Bagaimana dengan kesiapan bangunan kita?
"Coba bayangkan saja dulu. [Museum Wayang] ini hancur di 1699. Dulu ini kecil (areanya), kan sedikit ya (orangnya). Sekarang lihat ini, ada ribuan orang (di sekitar Museum Wayang). Kalau ada gempa, apa yang terjadi? Bagaimana?" seloroh peneliti Skala saat saya bertanya soal potensi gempa di masa kini, Sururoh.
ADVERTISEMENT
Sururoh melanjutkan, jika mengikuti permodelan di Nguyen Ngoc, gempa di tahun 1834 dan 1780 itu diakibatkan oleh sesar aktif. Tapi jarang sekali yang riset mengenai sesar aktif baribis. Artinya dari sejarah gempa yang ada, terdapat kemungkinan gempa besar itu bisa kembali terjadi.
"Karena kan ratusan tahun, sedangkan terakhir gempa besar aja di 1834 itu. Berarti kan kalau kita pikir keberulangannya, bentar lagi. Maksudnya enggak jauh beda (jaraknya), enggak menutup kemungkinan dalam waktu dekat,” kata Sururoh yang jadi penutup perjalanan saya.