Lipsus Mantri Aborsi di Bali-Cover

Jejak Hitam Arik si Mantri Aborsi

22 Mei 2023 14:59 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Waktu malam itu menunjukkan pukul 22.00 WITA. Senin, 8 Mei 2023, I Ketut Arik Wiantara tengah sibuk di ruang praktiknya. Tanpa ia tahu, di luar rumahnya yang berlokasi di Gang Bajangan, Banjar Celuk, Desa Dalung, Kabupaten Badung, para personel Kepolisian Daerah Bali sudah mengepung setelah tiga hari diam-diam mengamati gerak-geriknya.
Lima sampai sepuluh menit kemudian, polisi menggerebek masuk. Seorang perempuan muda tampak syok, lemas, dan kaget. Ia—didampingi pacarnya—baru saja mengaborsi janin berusia dua minggu.
“Kondisi [pasien] sudah keluar darah, maka tindakan awal kami langsung melarikannya ke rumah sakit,” ujar Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bali, AKBP Ranefli Dian Candra, kepada kumparan di kantornya, Kamis (18/5).
Rumah yang digunakan praktik aborsi Dokter Arik di Gang Bajangan, Banjar Celuk, Desa Dalung, Kabupaten Badung. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Di sebuah wastafel di ruangan praktik Arik, polisi menemukan jaringan janin. Di ruangan itu, polisi juga mendapati alat kuret, ultrasonografi (USG), dry heat sterilizer ozone, obat bius, dan obat-obatan pascaoperasi.
Alat-alat itu lantas disita polisi dan Arik digelandang ke Mapolda Bali atas dugaan praktik aborsi ilegal yang dilarang dalam Pasal 75 ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan. Lebih lanjut, Pasal 194 beleid tersebut mengancam pelaku aborsi dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Pasien Arik saat penggerebekan ialah perempuan berusia 21 tahun. Ia dan pacarnya mengaborsi janin tanpa sepengetahuan orang tua. Sang pasien hamil di luar nikah dan tidak siap memiliki anak. Untuk itulah ia menghubungi Arik.
Perempuan itu tak tahu bahwa Arik sesungguhnya dokter gigi, bukan spesialis obstetri dan ginekologi yang membidangi masalah kehamilan, persalinan, dan reproduksi wanita.
Screenshot alamat praktik aborsi Arik Wiantara di Bali. Foto: Dok. Istimewa
Tempat praktik dokter Arik dapat dengan mudah ditemukan di Google Maps. Lokasi itu terklasifikasi sebagai klinik kesehatan. Di Google tercantum pula nomor ponsel yang jika dilacak dengan GetContact, aplikasi pengindentifikasi nomor telepon, tak tertera keterangan bahwa pemiliknya adalah dokter gigi.
Kepada polisi, Arik menyatakan bahwa semua pasiennya—yang lebih dari seribu—tak langsung diaborsi. Ada proses konsultasi dan analisis umur kandungan terlebih dahulu.
“Termasuk dikasih obat oral [untuk melihat janin] bisa gugur atau tidak. Kalau tidak gugur, baru tindakan eksekusi (aborsi),” ujar AKBP Ranefli menceritakan pengakuan Arik kepada penyidik.
Dokter gigi Arik Wiantara yang membuka bisnis praktik aborsi ilegal di Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan

Penjahat Kambuhan

Dalam penangkapan dokter Arik, ditemukan pula buku catatan berisi riwayat para pasien yang berobat kepadanya. Buku itu mencatat nama-nama pasien Arik dari tahun 2020 sampai Mei 2023. Total selama rentang waktu tiga tahun itu terdapat sekitar 1.300 nama orang beserta alamat dan nomor telepon mereka.
Pada daftar itu, ada nama-nama yang diberi tanda “SK”. Polisi menduganya sebagai keterangan bahwa pasien “sudah konsultasi”. Kepada penyidik, Arik mengaku baru mengaborsi 20 pasien dari 1.300 nama yang tercantum dalam buku tersebut. Namun polisi tak percaya begitu saja.
Dari 1.300 nama tersebut, tak semua pasien datang dengan masalah kandungan atau kehamilan di luar nikah. Ada pula pasien yang berkonsultasi tentang masalah kulit. Pendeknya, Arik macam dokter sapu jagat yang menerima segala keluhan meski tak memegang lisensi spesialisasi tertentu.
“Tapi ia akui sebagian besar pasien datang untuk konsultasi masalah kandungan dan ingin menggugurkannya,” kata AKBP Ranefli.
Lokasi rumah yang dijadikan Arik Wiantara melakukan praktek aborsi di Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan
Mayoritas pasien yang berkonsultasi ke Arik adalah perempuan muda, dari remaja usia sekolah hingga karyawati. Menurut Arik, para pasiennya itu rata-rata hamil di luar nikah. Meski demikian, ada pula pasangan menikah dengan kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD).
Tak semua pasien Arik berasal dari Bali. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Surabaya, sampai Manado. Namun, sebagian besar pasien memang warga asli Bali. Mereka tinggal di Tabanan, Karangasem, Badung, dan lain-lain.
Kasus aborsi ilegal oleh dokter Arik cukup menggemparkan karena ia ternyata bukan kali ini saja tertangkap. Ia pernah dua kali ditangkap dan dipenjara karena tindak kriminal serupa. Pada 2006, Arik divonis penjara 2,5 tahun, dan pada 2009 divonis lima tahun penjara.
Bedanya, pada dua kasus terdahulu, dua pasiennya meninggal usai ia aborsi di rumahnya di Denpasar, tepatnya di Jalan Tukad Petanu Gang Gelatik, Lingkungan Bekul, Kelurahan Panjer.
Rumah tersebut adalah lokasi praktik aborsi Arik yang pertama sebelum ia dipenjara pada 2009. Selepas dari tahanan, barulah Arik memindahkan praktik aborsinya dari Denpasar ke Badung.
Rumah yang digunakan praktik aborsi Dokter Arik di Gang Bajangan, Banjar Celuk, Desa Dalung, Kabupaten Badung. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Dalam kasus kedua di Denpasar, pasien Arik yang meninggal ialah Ni Komang Asih. Kronologi peristiwanya tercantum dalam Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Denpasar bernomor PDM-055/DENPA/01/2009.
Ni Komang Asih dan pacarnya mendatangi Arik pada 12 November 2008. Ketika itu Asih hamil dengan usia kandungan 3 bulan atau 12–14 minggu.
Saat memeriksakan diri ke dokter Arik, Asih diberi suntikan vitamin B kompleks. Ia juga diberi resep 10 tablet Bimastan 500 mg, 10 tablet Bimaflox 500 mg, serta 10 tablet Zemosil 500 mg dengan dosis minum 3 kali sehari.
Dokter Arik juga menyarankan Asih agar banyak minum air putih, melakukan sit up, dan minum setengah gelas air yang dicampur tujuh sendok makan minyak kelapa. Arik pun berpesan agar Asih kembali tiga hari lagi.
Pada 15 November, Asih kembali ke dokter Arik. Ia diminta duduk di kursi lipat dalam keadaan telanjang. Bagian atas perutnya lantas dipijat dokter Arik dengan gerakan memutar selama 3 menit.
Setelah ada darah yang keluar dari vagina, Arik memasukkan selang penyedot darah yang bermuara ke tabung generator kecil (suction pump).
“... darah yang ada di dalam tabung seksen dibuang ke kloset kamar mandi yang ada di dalam ruangan praktik. Selanjutnya, terdakwa memberi Ni Komang Asih 10 tablet antibiotik, 10 tablet analgesik, dan 10 tablet parasetamol,” tulis dakwaan tahun 2009 itu.
Ilustrasi aborsi. Foto: Shutter Stock
Sepulang aborsi, Asih demam disertai kejang-kejang. Pacar Asih dua kali menghubungi Arik untuk menanyakan hal tersebut. Kali pertama, Arik bilang hal seperti itu biasa terjadi. Kali kedua, Arik meminta Asih dibawa ke RS Tabanan.
Namun, baru beberapa menit di rumah sakit, Asih meninggal dunia.
Dari situlah kasus aborsi ilegal oleh dokter Arik kembali menyeruak untuk kali kedua. Sumber kumparan di kalangan penegak hukum menyatakan, pada kasus kedua tersebut, terungkap bahwa Arik telah mengaborsi sekitar 4.000 orang dengan bantuan dua asisten perempuan.
Janin-janin hasil aborsi itu ada yang ditaruh di kloset dan septic tank. Kondisi janin, menurut sumber itu, tampak tercacah sebelum dimasukkan ke lubang kloset.
Meski demikian, Humas PN Denpasar I Gede Putra Astawa menampik bahwa Arik telah melakukan 4.000 kali aborsi. Ia juga menyebut terdakwa pada kasus aborsi tahun 2009 di Bali itu hanya Arik, tanpa asisten-asistennya.
“Kalau melihat dari dakwaan jaksa, tidak diuraikan [soal jumlah aborsi atau asisten]. Dari keterangan saksi-saksi dalam perkara itu pun tidak dijelaskan tentang itu,” kata Putra kepada kumparan di Denpasar, Jumat (19/5).
Humas PN Denpasar, I Gede Putra Astawa, Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Pada persidangan tahun 2009, Arik terbukti mengaborsi Asih dengan biaya Rp 4,5 juta. Ia juga didakwa melakukan tindakan yang tak sesuai ketentuan medis kepada ibu hamil.
“[Padahal] dia bukan dokter kebidanan. Dia dokter gigi. Bukan lapangan dia. Maka salah satu unsur itulah yang kemudian dibuktikan oleh majelis bahwa dia bersalah,” kata Putra.

Praktik Senyap Arik

Di Bali, Arik tercatat sebagai warga Bekul, Kelurahan Panjer, Denpasar. Kepala Lingkungan Bekul I Made Sudiarja membenarkan bahwa Arik dua kali ditangkap di wilayahnya—2006 dan 2009—karena praktik aborsi.
Warga setempat baru tahu Arik menjalankan praktik aborsi ilegal di rumahnya setelah ia ditangkap. Setahu warga, Arik berprofesi sebagai dokter gigi yang selama bersosialisasi dengan baik ke mereka.
Di rumah, Arik tinggal bersama istrinya dan tiga anaknya yang sudah besar. Rumah Arik di Gang Gelatik merupakan bangunan tiga lantai yang paling megah dan mencolok di antara deretan tempat tinggal warga. Di situ, Arik dan keluarganya tinggal di lantai satu, sedangkan dua lantai atasnya difungsikan sebagai kos-kosan.
Rumah Arik yang juga merangkap kos-kosan itulah yang membuat warga tak tahu-menahu soal para pasien yang datang ke sana. Mereka tak bisa membedakan mana pasien, mana tamu, dan mana penghuni kos.
Lokasi rumah yang dijadikan Arik Wiantara melakukan praktek aborsi di Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan
Setelah heboh penangkapan Arik pada 2006 dan 2009, warga Bekul tak lantas memusuhinya. Warga tak terlalu mempersoalkan dokter aborsi kambuhan yang tinggal di sekitar mereka itu.
“Ndak ada [penolakan warga] karena beliau tidak mengusik. Dia bergaul biasa, enggak kayak residivis lain,” ujar Made.
Pada 2009, Arik dikabarkan membangun rumah lain setelah membeli tanah kavling di Banjar Celuk, Desa Dalung, Badung. Menurut kepala desa setempat, I Gede Sucaya Astawa, rumah tersebut sempat dikontrakkan dua kali.
Sucaya tak tahu persis kapan rumah di Banjar Celuk itu beres dikontrakkan dan kemudian dipakai praktik oleh dokter pemiliknya, sebab Arik tak pernah melaporkan KTP atau KK-nya selaku warga nonpermanen di sana.
Rumah Arik Wiantara di Jalan Tukad Petanu Gang Gelatik Nomor 5, Banjar Bekul, Kelurahan Panjer, Denpasar. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Tak seperti di Bekul, warga Banjar Celuk sesungguhnya mendengar rumor soal praktik aborsi ilegal Arik sejak lama. Namun, tak ada bukti apapun soal itu.
Pernah pada 2017, murid-murid TK Tunas Mekar 2 menemukan benda mirip boneka yang tersangkut di aliran sungai dekat sekolah mereka. Boneka itu sempat diutak-atik oleh mereka, lalu jadi agak hancur. Melihat itu, murid-murid pun melapor ke guru mereka.
“Guru yakin itu orok, lalu lapor ke kami (pengurus desa) dan Polsek Kuta Utara. Setelah diperiksa, itu janin—ada kaki tangannya, ada tali pusarnya—tapi sudah agak bonyok, hampir hancur,” cerita Sucaya.
Berdasarkan amatan kumparan di Banjar Celuk, aliran sungai di desa itu tepat melintasi depan rumah praktik dokter Arik. Sungai kecil itu mengalir ke arah TK Tunas Mekar yang berlokasi sekitar 50 meter dari rumah Arik.
Namun, kasus penemuan janin pada 2017 itu terkubur begitu saja. Tak ada yang tahu siapa yang membuang orok tersebut.
Sungai kecil di depan rumah Arik Wiantara yang mengalir hingga TK Tunas Bangsa 2. Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan
Di tempat tinggal Arik di Gang Bajangan, Banjar Celuk itu, rumah-rumah rata-rata dibangun sebagai kos-kosan untuk pendatang. Itu sebabnya banyak warga di sana bukanlah penduduk asli. Mereka tak tahu-menahu soal latar belakang Arik yang pernah ditangkap dua kali karena praktik aborsi di Bekul.
Seorang warga pendatang di Banjar Celuk mengatakan, ia tahu Arik membuka praktik dokter, sebab ia pernah ditanya lokasi rumah dokter Arik oleh pasien-pasien yang hendak ke sana.
Menurut warga yang enggan disebut namanya ini, Arik buka praktik dari sore sampai malam setiap hari kecuali Minggu. Pada hari Minggu, Arik kadang terlihat mengobrol di warung depan rumahnya.
Di mata warga setempat, Arik bersosialisasi dengan baik. Ia bahkan pernah membantu mereka merenovasi jalan Gang Bajangan.
“Tapi dia enggak ngomongin kerjaannya,” ujar warga.
Barang bukti yang diamankan dari dokter gigi Arik Wiantara yang membuka bisnis praktik aborsi ilegal di Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan
Berdasarkan pengamatan warga, Arik memakai rumahnya di Gang Bajangan itu sebatas untuk praktik saja. Kadang warga melihat istri Arik tiba lebih dulu di rumah itu. Warga juga kerap melihat seorang asisten rumah tangga (ART) yang kerap membersihkan rumah itu.
Warga menyebut asisten itu adalah kakak Arik. Namun, polisi menyebutnya sebagai saudara jauh Arik.
“ART itu yang jaga dan bersih-bersih rumah itu. Dia membersihkan tempat praktik juga. Tapi kita belum bisa memastikan sejauh mana bantuan ART ini [dalam praktik aborsi Arik],” kata AKBP Ranefli.

Titel Janggal Dokter Arik

Dokter gigi, tapi praktik aborsi. Siapa sesungguhnya dokter Arik?
Kartu pelanggan PDAM Badung milik dr. Arik Wiantara S.KG. Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan
Menurut polisi, titel Arik yang diinformasikan ke pasien selama ini adalah dr. I Ketut Arik Wiantara S.KG (Sarjana Kedokteran Gigi). Titel yang sama juga terlihat di Kartu Pelanggan PDAM Kabupaten Badung yang ditempel di samping rumahnya.
Padahal, menurut Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Bali Agus Sundia Atmaja, gelar depan dr. mestinya diikuti S.Ked. Sementara bila gelar belakangnya adalah S.KG, maka gelar profesi yang benar adalah drg.
Agus mengatakan, Arik memang pernah menyelesaikan pendidikan dokter gigi dan melakukan sumpah profesi dokter di salah satu universitas swasta di Denpasar.
“Dia sah sebagai dokter gigi. Tapi dalam praktik, dia sebenarnya tidak boleh [praktik] karena tidak punya sertifikat kompetensi dan surat tanda registrasi (STR),” kata Agus.
Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Bali, Agus Sundia Atmaja. Foto: Subhan Zainuri/kumparan
Berdasarkan Pasal 36 UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, setiap dokter atau dokter gigi wajib memiliki surat izin praktik (SIP). Sementara STR adalah salah satu dari tiga syarat untuk mendapat SIP.
Dua syarat lainnya adalah mempunyai tempat praktik dan mengantongi rekomendasi dari organisasi profesi.
“Jadi Arik ini praktiknya ilegal karena dia tidak punya SIP,” kata Agus.
Dalam organisasi profesi, nama I Ketut Arik Wiantara tak pernah terdaftar di PDGI, baik di tingkat Kabupaten Badung, Provinsi Bali, maupun PDGI Pusat. Oleh sebab itu, ujar Agus, PDGI tak punya wewenang untuk membela atau menyalahkan Arik.
“Serahkan kepada aparat sesuai hukum yang berlaku. Yang jelas dia, kalau dokter gigi, tidak boleh melakukan aborsi. Itu bukan wewenang dan kompetensinya,” tegas Agus.
Wadireskrimsus Polda Bali AKBP Ranefli Dian Candra saat menunjukkan berbagai barang bukti bisnis praktik aborsi ilegal Kaw. Foto: Denita br Matondang/kumparan

Dijuluki Dokter Sinting

Seorang adik tingkat Arik di kampus pernah mendapat cerita dari kawan seangkatan Arik tentang riwayat si dokter aborsi semasa kuliah.
Menurutnya, Arik merupakan jebolan FKG angkatan 1991 yang lulus dan mengambil sumpah dokter gigi pada 2004.
Pada masa itu, ujarnya, pendidikan dokter gigi langsung dilanjutkan dengan praktik co-ass. Ketika dokter gigi sudah menyelesaikan co-ass, barulah ia bisa wisuda dan mengambil sumpah.
Di bangku kuliah, Arik dikenal sebagai pribadi yang solider. Ia sering mengingatkan perempuan-perempuan di kampusnya agar tidak terjerumus menjadi ayam kampus—istilah yang merujuk pada pelaku prostitusi mahasiswa.
“Jadi teman cewek ini dijaga sama dia. Terus kalau ada teman kesusahan, masalah uang enggak bisa bayar kupon ujian, dia yang ngasih [duit],” kata sumber kumparan yang satu kampus dengan Arik itu.
Ia bercerita, Arik pertama kali mengenal seluk-beluk aborsi dari mantan pacarnya yang merupakan seorang residen spesialis obstetri ginekologi. Meski demikian, tak diketahui pasti kapan mereka berpacaran, apakah saat masih kuliah atau ketika sudah lulus.
Polisi sempat menyebut Arik berprestasi selama kuliah. Tetapi, dua sumber di lingkaran dokter gigi di Bali tak bisa memastikan hal tersebut karena tak ada bukti berupa pencapaian Arik saat berkuliah.
Sebaliknya, seorang alumni kampus Arik mendapat cerita dari kawan seangkatan Arik bahwa Arik pernah punya masalah dengan dosen di kampusnya. Arik kala itu kesal dan bertindak kelewatan.
“Berani emang orangnya. Pokoknya kalau dia ada sedikit masalah dengan dosen, nah itu motornya [dosen] digantung, sadel (jok)-nya dibaretin, lalu mobilnya dicorat-coret atau dibaretin,” kata dia.
Sumber lain di lingkup dokter di Bali menyatakan bahwa Arik punya julukan di kalangan sejawatnya. Julukan itu ialah “sedeng” alias sinting.
Seseorang yang mengetahui praktik aborsi Arik di Bekul menyatakan, Arik biasa mengajak klien-kliennya bersembahyang sebelum aborsi. Ia meminta izin aborsi kepada Sang Hyang Widhi.
“Sembahyang ke pelinggih tertentu… Bagi dia, itu semacam [bicara bahwa] kalaupun di dunia ini dia berdosa, dia sudah minta izin.”
kumparan mendatangi rumah Arik di Banjar Bekul untuk bertanya lebih lanjut soal itu, namun tak bertemu keluarganya. Seorang penghuni kos mengatakan bahwa istri Arik sedang tak ada di rumah.
Wadireskrimsus Polda Bali, AKBP Ranefli Dian Candra. Foto: Subhan Zainuri/kumparan

Permintaan Aborsi Tak Berhenti

Wadireskrimsus Polda Bali AKBP Ranefli Dian Candra menduga motif ekonomi mendasari Arik mengulangi perbuatannya. Bukan semata-mata seperti pengakuan Arik yang ingin menolong pasien karena kasihan terancam masa depannya.
“Dengan angka [tarif] Rp 3,8 juta itu kan tidak sedikit, itu tarif awal. Bahkan [pasien] ada yang sampai menggadaikan emas, cincin, karena mereka masih sekolah dan kuliah,” ujar Ranefli.
Wakil Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, dr. Oka Negara, mengatakan persoalan aborsi ilegal terjadi karena adanya permintaan akibat kehamilan tak diinginkan (KTD). Sehingga muncullah penawaran untuk dijadikan ladang aborsi.
“Kalau saya lihat kasus yang menjadi masalah kebanyakan [aborsi ilegal] itu adalah yang [bermotif] komersil, dan yang kedua tidak aman [tak sesuai indikasi medis],” jelas Oka.
Kejadian KTD memang diakui Oka dapat berbuah aborsi. Apalagi orang dengan KTD itu dipertemukan di tempat dan orang yang salah saat menghadapi kehamilannya, maka ia akan berpikir solusinya pasti aborsi.
“Tapi kalau melewati sebuah konseling, itu akan dikasih A sampai Z hingga memahami ada risiko, ada faktor hukum, ada juga faktor usia berisiko jika dilanjutkan hamil dan mungkin mengancam kesehatan. Itu bisa jadi legal,” jelas Oka.
Cover Lipsus Praktik Hitam Mantri Aborsi. Foto: kumparan
Aborsi pada dasarnya dilarang dalam pasal 75 UU 36/2009 tentang Kesehatan. Namun, larangan itu dapat dikecualikan jika ada indikasi kedaruratan medis yang membahayakan ibu atau janin serta tindakan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma bagi korban.
Menurut Oka Negara, untuk menghentikan aborsi ilegal maka remaja harusnya tak mengalami KTD. Ini harga mati. Salah satu cara untuk memberantas itu ialah pendidikan seksual dan reproduksi sejak dini.
“Yang penting diajari, daripada mereka tahunya sudah melapor ‘Papa aku hamil, Papa aku kena gonore.’ Akan jauh lebih bagus mereka diajarkan bahkan sejak SMP dan SMA khusus pendidikan seks di rumah oleh ortunya,” kata Oka yang juga Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia cabang Denpasar.
Selain itu, khusus untuk anak umur 2-3 tahun, Oka menyebut perlunya orang tua melatih mereka mengenal organ tubuh serta belajar mencegah agresi seksual orang dewasa.
Senada, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengimbau agar remaja tak melakukan seks terlalu dini. Ia sepakat dengan pernyataan Wapres Ma’ruf Amin agar tak menunda pernikahan setelah masuk usia 20 tahun.
“Jangan seks bebas, karena risiko aborsi meningkat, juga risiko kanker mulut rahim,” pungkas Hasto.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten