Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jejak Panjang Stensilan dan Literatur Pemuas Syahwat
24 Juli 2017 12:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Mungkin benar apa yang penulis Rudyard Kipling pernah bilang: prostitusi adalah pekerjaan tertua di dunia. Itu ditulisnya dalam sebuah cerita pendek berjudul On the City Wall.
ADVERTISEMENT
Dalam cerita pendeknya yang terbit pada Januari 1889 itu, ia bercerita soal pelacur muda asal India bernama Lalun. Kipling berkisah tentang nahas hidup Lalun, yang mesti terjebak dalam kehidupan Barat yang menghakimi.
Di Barat, profesi Lalun disebut tak bermoral dan hina. Sementara, di Timur --cara Kipling menyebut di mana Lalun berasal-- orang-orang tak berpikir apa yang dikerjakan Lalun adalah hal yang patut disesalkan.
Bahkan pekerjaan tersebut, prostitusi, bersifat turun-temurun, dari ibunya, lalu dari neneknya, dari ibu neneknya, dan seterusnya.
Tua betul, setua riwayat keluarganya, terus dari dahulu hingga kini Lalun hidup.
Dari situ, ungkapan the most ancient profession in the world jamak digunakan berbagai pihak untuk menyebut prostitusi.
Dan yang tak kalah tuanya adalah cerita-cerita erotis itu sendiri --cerita yang mengedepankan adegan persetubuhan dan hubungan intim dua (atau lebih) insan manusia.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita macam itu beredar sama tuanya dengan profesi sundal, dinikmati orang-orang yang tak bisa mengakses langsung servis sang pelacur dan harus cukup puas dengan cerita-cerita yang mereka dengar.
Betul, “dengar”. Karena seperti sejarah cerita secara umum, apa yang kini kita baca sebagai tulisan-tulisan erotis, dulunya adalah cerita-cerita mesum yang disampaikan di petongkrongan dari mulut ke mulut.
Kalau Anda mau tahu, cerita-cerita erotis bahkan sudah ada sejak zaman Sumeria 4.000 tahun sebelum masehi (SM) serta Yunani dan Romawi Kuno di sekitar tahun 800-an SM.
Di zaman Sumeria, sebuah puisi dengan lancang mengagung-agungkan semangat Inanna, Dewi Surga, ketika menyerahkan tubuhnya secara seluruh-penuh pada seorang gembala bernama Dumuzi.
Narasi seperti “Oh Dewi, dadamu adalah ladangku, tuangkanlah, dan ‘kan ku tenggak segala yang tumpah padaku,” yang ditembangkan Dumuzi kemudian dibalas tak kalah mesra oleh nyanyian Inanna, “Oh, Tuanku, lelaki madu pilihan dewata, hanya padamu lah rahimku mengaduh.”
Cerita semacam itu terus bergulir: kisah hubungan seksual sesama perempuan yang ditembangkan lewat sajak oleh Sappho dari Lesbos di masa Yunani Kuno; kisah petualang Giacomo Casanova di abad 18; kemunculan cerita-cerita seks di bawah nama yang marak di forum-forum gelap internet pada awal dekade 2000-an; hingga kemunculan novel fantasi sadomasokis Fifty Shades of Grey (2011) yang menjadi sensasi internasional.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, cerita dengan persetubuhan sebagai tema utama juga terbit dari sedemikian lama. Dalam serat-serat Kakawin yang ada di zaman Jawa Kuno, cerita-cerita tentang jagat seksualitas juga muncul dalam teks-teks di masa itu.
Helen Creese, dalam bukunya yang berjudul Perempuan dalam Dunia Kakawin, menyebut bahwa ada ambivalensi pada serat-serat Kakawin yang mencoba merekam seksualitas. Di satu sisi, perburuan kenikmatan seksual (kama) menjadi salah satu dari empat tujuan utama manusia di dunia --dan maka dari itu cara pemenuhannya dijabarkan dengan kaya di Kakawin-kakawin Hindu-Jawa.
Meski begitu, selain mempromosikan keindahan puitik dalam kenikmatan hubungan seksual, didaktik Jawa Kuna seperti Slokantara dan Sarasamuccaya juga menampilkan sisi patriarkal dharmasastra Hindu bahkan misoginistik.
Hal tersebut, misalnya, nasihat-nasihat bagi mereka yang mencari kebajikan, seperti “tidak ada yang lebih jahat daripada pengejaran wanita. Itulah akar dari semua kejahatan,” juga, “...seorang perempuan seperti arang yang terbakar. Seorang laki-laki seperti mentega, ketika laki-laki mendekatinya maka sang laki-laki akan meleleh. Jika ia menghindar, ia akan kuat dan kokoh,” sampai, “...cinta menghasilkan duka cita pada saat perpisahan. Ketika orang menyadari bahwa cinta tidak brarti, maka cinta itu akan selamanya menghilang.”
ADVERTISEMENT
Maka tak heran apabila di zaman yang lebih modern, teks-teks erotis juga hadir, bahkan memenuhi kehidupan masyarakat Indonesia. Di zaman Orde Baru, teks-teks bikinan Fredy S., Mira W., Abdullah Harahap, Motinggo Busye, dan Enny Arrow dengan mudah ditemui di pelapak koran dan majalah di pinggir jalan.
Teks-teks tersebut, kerap membawa cerita-cerita pemuas syahwat dengan ditutupi secara dangkal oleh narasi “bahwa seks di luar nikah itu jahat” dan lain sebagainya.
Teks-teks itu laris dibaca, dari kalangan sastrawan yang prihatin pada isi teksnya yang cabul, hingga para pelajar yang mencoba mengintip apa isinya perkara seksualitas yang --sampai sekarang masih-- ditabukan tersebut.
Meski kini nama-nama pengarangnya telah mundur dari dunia kepenulisan di Indonesia, bukan berarti teks-teks erotis juga hilang dari peredaran. Nama-nama baru muncul, lewat media yang juga tak hanya itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Jelas, sastrawan “kelas atas” juga muncul menguak tabu dengan terang-terangan. Misalnya saja Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami yang di tahun 2000-an secara terbuka menawarkan pembacaan baru soal seks dalam karya-karya mereka.
Teks-teks yang murni stensilan dan pornografi juga mencuat di media internet, seperti tulisan-tulisan akun pribadi di awal kemunculan Kaskus dan forum-forum internet yang berisi segala macam media pornografi lain.
“Artinya genre itu hidup sejak lama berdampingan dengan genre-genre lain di pasaran, yang masing-masing punya basis pembacanya sendiri-sendiri,” ujar sastrawan Dewi Lestari kepada kumparan. “Sejak dulu ada, sampai sekarang ada, dan saya yakin sampai nanti pun akan tetap ada.”
Enny Arrow is dead. Long live Enny Arrow.