Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jejak Sukarno di Masjid Biru St. Petersburg
4 April 2017 13:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Bangunan berkubah biru berdiri tegak, berhadapan dengan Peter and Paul Fortress --benteng kota Saint Petersburg yang dibangun oleh Peter the Great, penguasa Imperium Rusia. Konstruksi biru itu tak lain sebuah masjid, kerap disebut Masjid Biru St. Petersburg.
ADVERTISEMENT
Semula saya tak menyangka bakal bertemu masjid di St. Petersburg --ibu kota Rusia masa para tsar berkuasa yang terletak di tepi Laut Baltik. Maklum, ibu kota kebudayaan Rusia yang dinobatkan UNESCO sebagai situs warisan dunia itu dipenuhi katedral, tempat beribadah umat Kristen Ortodoks.
Katedral-katedral itu tentu saja dibangun pada era Kekaisaran Rusia, sebelum Bolsheviks yang dipimpin Vladimir Lenin mengambil alih seluruh negeri dan membentuk pemerintahan komunis yang kemudian mengontrol ketat negara dan memata-matai rakyatnya sendiri.
Seperti katedral-katedral di St. Petersburg, Masjid Biru juga dibangun sebelum komunis berkuasa dan mengubah Imperium Rusia menjadi Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) atau Uni Soviet.
Masjid Biru pertama kali dibuka pada 1913, dan merupakan masjid terbesar di Eropa di luar Turki, dengan minaret atau menara masjid setinggi 48 meter dan kubah setinggi 39 meter. Masjid ini dapat menampung 5.000 jemaah.
ADVERTISEMENT
Peletakan batu pertama Masjid Biru dilakukan tiga tahun sebelum dibuka untuk publik, yakni 1910. Saat itu jumlah muslim di Saint Petersburg 8.000 orang lebih.
Masjid Biru dibangun untuk memperingati 25 tahun pemerintahan Abdul Ahat Khan, pemimpin Dinasti Manghit asal Mongolia --dinasti penguasa terakhir di Emirat Bukhara, wilayah di Asia Tengah yang saat itu menjadi bagian dari Imperium Rusia.
Meski telah dibuka pada 1913, Masjid Biru baru seluruhnya selesai dibangun pada 1921. Sayangnya, masjid itu kemudian dilarang melayani umat Islam dan ditutup pada 1940 oleh pemerintah Soviet.
Praktis semasa Perang Dunia II itu, Masjid Biru beralih fungsi menjadi gudang peralatan medis.
Sekejap kecantikan Masjid Biru pudar, berselimut debu.
Sampai Presiden Indonesia, Sukarno, menjejakkan kaki ke St. Petersurg --yang kala itu sempat berubah nama menjadi Leningrad-- tahun 1956.
Sukarno menyambangi Leningrad atas undangan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev. Maklum, ketika itu hubungan Indonesia-Uni Soviet sedang mesra-mesranya.
ADVERTISEMENT
Saat itulah Sukarno tanpa sengaja melihat sebuah bangunan berkubah biru. Ia berhenti karena penasaran melihat konstruksi bangunan yang mirip masjid itu, namun dilarang masuk oleh tentara Soviet yang mengawalnya.
Tapi Sukarno membandel. Dia diam-diam --setelah membatalkan sejumlah kunjungan resmi yang mestinya ia lakukan di Leningrad-- menuju bangunan itu, dan mendapati sebuah masjid berdebu, tak terurus, tanpa jemaah. Kondisinya begitu mengenaskan.
Pada masa itu, bukan hanya Masjid Biru yang mengalami nasib sial di Rusia. Hampir seluruh masjid dan gereja di penjuru negeri komunis itu berganti fungsi menjadi gudang, salah satunya akibat kecamuk perang di dataran Eropa.
Melihat nasib nahas Masjid Biru, Sukarno kemudian meminta Khrushchev untuk memfungsikan kembali masjid tersebut.
Entah sedigdaya apa Sukarno, permintaannya dituruti seketika oleh Khrushchev. Hanya 10 hari kemudian, Masjid Biru kembali difungsikan sebagai masjid, dan dikembalikan ke tangan komunitas Muslim St. Petersburg.
Pada 1980, atau 24 tahun sejak Masjid Biru kembali dibuka, pemugaran besar-besaran dilakukan atasnya.
ADVERTISEMENT
Bangunan Masjid Biru dibuat dengan menggabungkan ornamen-ornamen oriental dan mosaik biru pirus. Dindingnya berselimut granit kelabu, sedangkan kubah dan menaranya berlapis mosaik keramik berwarna biru langit.
Masjid Biru di St. Petersburg, menurut Tomi Lebang dalam bukunya, Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia, menjadi saksi betapa manis hubungan Soviet dan Indonesia era 1950-an.
Semoga tragedi segera berakhir, dan keluarga korban diberi kekuatan.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai sumber