LIPSUS - Al-Zaytun

Jengkel Alumni Melihat Kejanggalan Al-Zaytun Kini (2)

26 Juni 2023 16:19 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sepuluh tahun selulus Muhammad Ikhsan dari Ma’had Al-Zaytun, ia menerima undangan reuni akbar dari teman satu angkatannya. Ikhsan senang karena akan bertemu kembali dengan kawan-kawannya di pondok pesantren yang berlokasi di bagian barat Indramayu itu.
Pada hari yang dinantikan di tahun 2016 itu, Ikhsan menginjakkan kaki lagi di Al-Zaytun. Ada sekitar 800 santri yang menghadiri reuni itu—hanya separuh dari total undangan. Namun itu tak mengurangi rasa bahagia Ikhsan.
Namun, suasana hati Ikhsan berubah saat tiba waktu salat. Ketika itu ia dan teman-temannya memasuki Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Al-Zaytun. Mereka berwudu dan bersiap-siap menanti azan.
“Kami lalu melihat keanehan. [Muazin] azan menghadap ke makmum, bukan menghadap kiblat. Lazimnya [yang disunahkan] menghadap ke kiblat,” kata Ikhsan kepada kumparan di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (23/6).
Meski tampak janggal, Ikhsan mencoba memaklumi. Menurutnya, perbedaan itu masih bersifat khilafiyah (perbedaan pandangan).
Kompleks Al-Zaytun. Foto: al-zaytun.sch.id
Ikhsan kemudian melupakan kejanggalan itu. Tahun-tahun berlalu, dan ia kembali terkejut saat mendapat kiriman video salat id di Al-Zaytun pada Idulfitri 2023. Video itu ia dapat melalui jejaring alumni Al-Zaytun, dan membuatnya terenyak.
Pertama, saf (deret) antarmakmum pada salat id itu terlihat renggang; namun ini menurutnya masih bersifat khilafiyah. Kedua, ada wanita di saf depan. Ketiga, ada orang Kristen di saf depan.
Menurut Ikhsan, hal seperti itu tidak pernah terjadi selama ia menjadi santri di Al-Zaytun. Dahulu saf selalu rapat dan tidak ada saf campur antara wanita dan lelaki. Itu pula yang ia pelajari dulu di ma’had, bahwa saf wanita di belakang dan laki-laki di depan.
“Dulu salat Jumat juga sering diimami Syekh Panji Gumilang. Nah, sebelum salat, seperti umumnya masjid-masjid di Indonesia, beliau bilang ‘Rapatkan dan luruskan saf’. Karena itu sesungguhnya tanda keutamaan dan kesempurnaan salat. Kok sekarang dibikin saf renggang-renggang, kan bertolak belakang,” papar Ikhsan.
Saf renggang antarmakmum saat Salat Idulfitri di Masjid Al-Zaytun. Kursi di samping sajadah untuk diduduki makmum saat mendengar khotbah. Foto: Instagram/@kepanitiaanalzaytun
Ikhsan menilai, apa yang terjadi di Al-Zaytun saat ini tidak masuk akal, bahkan tidak seperti yang diajarkan saat ia menuntut ilmu di ma’had itu.
“Kenapa ada orang kristiani ikut di barisan salat, di depan? Memang kalau dia di luar barisan merasa terganggu? [Al-Zaytun] mau menunjukkan toleransi? Kan enggak mesti begitu caranya,” kritik Ikhsan.
Kekecewaan itu membuat Ikhsan, atas dorongan rekan-rekan alumninya, menyebarkan video salat id Al-Zaytun itu ke media sosial. Mereka ingin almamater mereka itu sadar dan berbenah.
“Kenapa sekarang diubah seperti berimprovisasi, [mempraktikkan] dalil yang tidak dipakai ulama? Kalau ada anjuran yang baik, kenapa pilih yang makruh? Kenapa enggak pilih yang lebih baik?” kritik Ikhsan.
Parahnya, kontroversi Al-Zaytun itu berpengaruh kepada para alumninya. Ikhsan dan kawan-kawannya dianggap sepandangan dengan Panji Gumilang. Mereka pun jadi kerepotan dihakimi sebagian orang di kehidupan sehari-hari.
Seorang wanita berdiri bercampur dengan lelaki saat salat berjamaah di Al-Zaytun. Foto: Instagram/@kepanitiaanalzaytun
Dalam khotbah Jumat Panji Gumilang di Masjid Al-Hayat, Al-Zaytun, 28 April 2023, yang disiarkan langsung di akun YouTube resmi Al-Zaytun, Panji mengatakan ia menaruh wanita di saf depan bersama lelaki untuk memuliakannya.
Ia bahkan berniat mengambil langkah “revolusioner” berikutnya dengan meminta perempuan berperan sebagai khatib salat Jumat di Al-Zaytun.
“Setelah menampilkan nisa (wanita) di saf berdamping-dampingan (dengan lelaki) dan kadang-kadang di saf depan, besok Center for Education of Al-Zaytun akan menampilkan nisa sebagai khatib Jumat,” ujar Panji diiringi tepuk jangan jemaahnya.
Dalam khotbahnya itu, Panji juga menyebut diri sebagai penganut Mazhab Bung Karno. Ia mengatakan bahwa dahulu Soekarno—yang menjadi kader Muhammadiyah sejak 1938—memprotes Muhammadiyah karena memasang tabir-tabir (tirai penyekat antara perempuan dan lelaki) di masjid-masjid mereka, juga di acara-acara musyawarah mereka.
Soekarno memandang tabir sebagai simbol perbudakan perempuan. Menurut Panji, Soekarno mengancam akan keluar dari Muhammadiyah jika organisasi Islam bentukan K.H. Ahmad Dahlan itu terus memasang tabir.
Tabir di masjid Muhammadiyah. Foto: Muhammadiyah
Soekarno memang melayangkan kritik keras soal tabir setelah walk out dari satu rapat Muhammadiyah di Bengkulu yang dipasangi tabir pada Januari 1939.
Soekarno kemudian menulis surat terbuka yang dimuat dalam majalah Pandji Islam kepada seluruh anggota Muhammadiyah, terutama para pengurusnya, untuk menentukan hukum yang pasti soal tabir, sebab menurutnya tidak ada ayat atau hadis yang secara spesifik meminta umat untuk memasang tabir—“Diperintahkan tidak, dilarang pun tidak.”
Namun, Soekarno tidak pernah menyuruh perempuan salat berjemaah bercampur dengan lelaki, atau berada di saf depan bersama lelaki seperti yang terlihat dalam salat-salat berjemaah Al-Zaytun.
Salat Idul Fitri di Masjid Al-Zaytun. Foto: Instagram/@kepanitiaanalzaytun
Pada salah satu wawancaranya yang dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Soekarno berkata:
Jadi, Soekarno tidak pernah menyarankan agar makmum perempuan dan laki-laki berbaur dalam satu saf.
Hal itu pun diakui Panji Gumilang yang menyebut bahwa ia dalam obrolan imajinernya dengan Soekarno seolah-olah ditegur Bapak Proklamator itu karena berlaku berlebihan dengan menempatkan perempuan di saf depan bersama pria saat salat berjemaah.
Namun—masih dalam dialog khayalannya dengan Soekarno—Panji menjawab bahwa beragama harus rasional. Dan rasional bagi Panji Gumilang adalah menempatkan wanita di saf depan bersama pria.
Pimpinan Ponpes Al-Zaytun, Panji Gumilang, di Gedung Sate, Kota Bandung. Foto: Dok. Istimewa
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Indramayu H. Mahfudz menyatakan, posisi saf perempuan di belakang lelaki telah dijelaskan dalam hadis.
Wasekjen MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah mengatakan, Panji Gumilang selalu seenaknya sendiri menafsirkan ayat Al-Quran dan hadis. Penafsiran bebas ini jelas berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Ini bertabrakan dengan kaidah (aturan) sekaligus akidah (keimanan),” ujarnya di kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (21/6), kepada kumparan.
Padahal hal-hal terkait akidah tidak sepatutnya diubah-ubah, sebab akan bertentangan dengan rukun iman.
Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah di Kemenko Polhukam. Foto: Haya Syahira/kumparan
Ikhsan Abdullah juga mengkritik ucapan Panji Gumilang lainnya tentang zina. Menurut Panji, zinah bukanlah dosa besar dan bisa ditebus dengan uang. Ia juga menyebut bahwa Al-Quran bukanlah firman Allah.
Catatan kontroversial lain atas Panji ialah menyebut jemaah tidak perlu ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, cukup berkeliling Ma’had Al-Zaytun saja dengan melempar jumroh diganti menjadi memberikan tujuh sak semen—yang nantinya digunakan untuk membangun ponpes tersebut.
Salat lima waktu bahkan tidak diwajibkan, cukup di saat tertentu. Alasannya, karena Indonesia belum menjadi negara Islam, masih dianggap jahiliah. Maka, tidak perlu salat di negara jahiliah.
Pertemuan di Ponpes Al-Zaytun. Foto: Instagram/@kepanitiaanalzaytun
Panji Gumilang juga kerap berucap salam Yahudi, dan mengajak pengikutnya untuk menyanyikan lagu salam Ibrani “Havenu Shalom Aleichem” itu.
Pada Peringatan 1 Syuro di Masjid Rahmatan Lil Alamin Al-Zaytun, 30 Juli 2022, misalnya, ia dari atas mimbar meminta hadirin—baik santri maupun tamu undangan yang berjumlah 5.000 orang—untuk mengikutinya menyanyikan “Havenu Shalom Aleichem”.
Salah satu tamu undangan di baris depan, Lucky Hakim yang kala itu menjabat Wakil Bupati Indramayu, tampak bingung dengan arahan Panji. Ia akhirnya mengikuti saja nyanyian Panji seperti hadirin lain.
“Shalom Aleichem” yang dalam bahasa Ibrani memiliki arti “damai menyertaimu” ini juga diucapkan Panji Gumilang saat tiba di Gedung Sate, Bandung, Jumat sore (23/6), untuk memenuhi panggilan Tim Investigasi bentukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Sehari sebelumnya, Kamis (22/6), saat warga Indramayu berunjuk rasa di depan Al-Zaytun, pengikut Panji Gumilang juga menyanyikan salam Ibrani itu.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Indramayu H. Mahfudz menyatakan, “Shalom Alaichem” yang diucapkan Panji tidak etis karena di sekitarnya tidak ada orang Israel maupun pemeluk Yahudi. Ia menilai Panji memang cari-cari masalah.
Warga mendemo Al-Zaytun. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah berpendapat deretan ucapan Panji Gumilang itu sudah sangat fatal dan merusak mental serta moral umat. Panji harus segera ditindak sedangkan ponpesnya diselamatkan dan diluruskan.
“Mindset sudah keliru, akhirnya ucapan juga keliru. Jangan sampai ma’had jadi rusak,” ujarnya.
Sementara alumni Al-Zaytun Muhammad Ikhsan menahan jengkel saat mendengar Panji Gumilang menyebut Al-Quran bukan firman Allah. Menurutnya, ajaran Panji Gumilang sudah tidak lagi di jalur yang benar.
“Ketika di khotbah, bilang Al-Quran itu perkataan rasul atau Nabi Muhammad. Ini sudah masalah akidah nih, kita enggak bisa tolerir lagi,” tegasnya.
Para alumni Al-Zaytun pun medesak agar pimpinan Al-Zaytun untuk segera mengklarifikasi berbagai praktik ibadah yang janggal dan sesat itu.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten