Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Usia saya 44 tahun. Saya didiagnosa terkena penyakit akibat asbes,” ujar Sriyono memulai ceritanya.
ADVERTISEMENT
Sore itu, Minggu (7/1), kumparan mengunjungi ayah dari tiga orang anak ini di kediamannya di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berita soal Sriyono mengemuka setelah situs berita internasional, Agence France-Presse , mengangkat ceritanya.
Sriyono adalah orang pertama yang diakui negara menderita penyakit akibat kerja, tepatnya asbestosis, yakni penyakit saluran napas akibat menghirup serat-serat asbes.
Ia memperoleh uang kompensasi hampir Rp 57 juta dari BPJS Ketenagakerjaan setelah berhasil membuktikan diri terkena asbestosis tahap awal. Penyakit yang ia derita itu tak lain akibat pekerjaannya, hasil dari 24 tahun bekerja di pabrik berbahan baku asbes di Cibinong.
ADVERTISEMENT
Hingga kemudian ia dan 6 orang lainnya mengikuti pemeriksaan kesehatan pada tahun 2008-2009. Pengecekan kesehatan itu berlangsung dalam rangka penelitian kesehatan dan penyakit akibat asbes antara lembaga non-pemerintah di Indonesia, bekerja sama dengan Jepang dan Korea Selatan.
Tahun itu juga, Sriyono divonis mengidap asbestosis bersama dua orang lainnya. Namun saat itu, penyakit tersebut belum diakui.
“Karena yang melakukan diagnosa bukan dokter dari Indonesia,” cerita Wiranta Yudha, Direktur Local Initiative for OSH Network (LION), salah satu lembaga non-pemerintah yang ikut dalam penelitian tersebut.
Akhirnya diagnosis dilakukan juga oleh dokter di Indonesia. Namun jawaban berbeda diperoleh. Sriyono disebut menderita gangguan pernapasan saja.
Rasa penasaran pun menggantung di hati Sriyono. Mengapa diagnosis dokter-dokter itu berbeda.
ADVERTISEMENT
Sriyono terus bekerja sambil melanjutkan proses pembuktian penyakitnya. Mulai dari Prodia, RS Ciawi, RS Cisarua, dan RS Pusat Pertamina, telah ia sambangi. Konsultasi, periksa lagi dan lagi, hingga rontgen berulang kali ia jalani.
“Saya kan tipenya penasaran. Sampai di manapun, kalau belum ada keputusan, saya jalani,” kata dia.
Hingga pada Desember 2016, secercah harapan mulai tampak. Ia menuturkan, “Pendampingan dari dokter itu mulai dari Desember 2016. Lalu pertengahan 2017 baru deal bahwa penyakit saya itu akibat pajanan asbes.”
Hampir 10 tahun sudah Sriyono berupaya memastikan penyakit apa yang ia derita, sekaligus membuktikan bahwa penyakit akibat asbes itu ada dan berbahaya.
“Prosesnya memang lama, karena untuk mencari bukti-bukti bahwa ini lho dampak dari asbes itu sangat berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Jalan berliku menuju pembuktian itu, bagi Sriyono adalah keharusan. Apalagi dua orang kawannya yang juga didiagnosis mengidap asbestosis, sudah tidak bekerja.
“Kalau tidak diawali dengan saya, siapa lagi?” ucapnya tegas.
“Kalau saya nggak bisa membuktikan, atau mungkin dokter nggak bisa membuktikan bahwa dampak asbes itu sangat berbahaya, nanti nggak tahu di tahun keberapa lagi baru bisa terbukti,” paparnya berapi-api.
Penyakit yang belum ada obatnya ini di Indonesia dihadapi Sriyono dengan mengonsumsi obat-obat herbal --yang juga menjadi barang dagangannya.
Penyakit akibat asbes
Asbestosis yang diderita Sriyono hanya salah satu dari penyakit yang diakibatkan oleh asbes. Kanker, baik kanker paru-paru, kanker laring, hingga mesotelioma, adalah juga sederet ancaman kesehatan selanjutnya dari asbes.
ADVERTISEMENT
Serat-serat asbes yang tipis, kecil, dan bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) ini mudah terhirup, lalu masuk ke paru-paru. Di situlah ancaman penyakit tumbuh nyata.
“Karena asbes seratnya tajam, dia akan menembus paru-paru terus ke dalam. Makanya, tanda bahwa asbes itu bereaksi di paru, kita akan melihat pelapis paru yang namanya pleura itu menebal,” kata Dokter Anna Suraya, Ketua Bidang Pengembangan Ilmiah Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki).
Bayangkan ujung kertas yang sangat tipis dan bisa menggoreskan luka di kulit. Lalu jaringan kulit akan bereaksi dengan sedikit menebal di sekeliling goresan luka itu. Kini bayangkan jika luka itu terjadi berulang kali dalam waktu yang panjang, dan itu terjadi di paru-paru.
ADVERTISEMENT
“Efeknya bisa jinak atau ganas,” jelas dr. Anna pada kumparan di kediamannya, Jakarta, Selasa (28/12/2017).
Penebalan di jaringan paru selanjutnya akan membuat kemampuan paru-paru untuk mengembang-mengempis berkurang. Akibat sederhananya, batuk dan sesak atau kesulitan bernapas.
Hal berbeda jika kemudian terjadi peradangan. Jaringan paru-paru bisa bereaksi secara tidak wajar bahkan berlebihan. Itulah yang kemudian menimbulkan mesotelioma, yakni kanker di jaringan pelapis paru dan area sekitar jantung. Penyakit ini lebih dari 90 persen penyebabnya adalah pajanan serat-serat asbes.
Asbes juga meningkatkan faktor risiko seseorang terkena kanker paru. “Jika bukan perokok, angka faktor risikonya sebesar 1, (tapi) perokok menjadi 5 poin. Begitu dia terpapar asbes, maka naik menjadi 8 poin lebih,” papar dr. Anna.
ADVERTISEMENT
Bahaya asbes ini bukan saja untuk asbes biru --yang sudah dilarang, tapi juga asbes putih (chrysotile) yang masih jamak digunakan. Asbes putih yang selalu digembar-gemborkan aman untuk kesehatan, ternyata bersifat tak jauh berbeda seperti asbes biru.
“Asbes putih juga menimbulkan kanker. Nah tapi kita belum adopt untuk melarang asbes putih,” ujar dr. Anna.
Asbestosis --yang kemudian bisa berkembang menjadi kanker atau mesotelioma-- adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Kondisi paru-paru tidak bisa kembali seperti sedia kala. Anjuran seperti makan teratur, tidak merokok, menjauhi polusi udara, olahraga, dan menghindari penyakit seperti flu, hanya untuk mengurangi gejala.
Penyakit-penyakit akibat asbes ini pertama muncul ke permukaan pada 1924. Dalam British Medical Journal , William Cooke menulis tentang Nelly Kershaw, pekerja di pabrik asbes Rochdale yang mesti bergelut dengan fibrosis (pembentukan jaringan ikat fibrosa berlebihan akibat proses peradangan) di paru-parunya --yang kemudian disebut asbestosis pada 1927--dan tuberkulosis hingga mati.
ADVERTISEMENT
Setelah banyak kasus serupa terjadi pada para pekerja di pabrik asbes, baru 21 tahun kemudian dipastikan bahwa pekerja asbes memiliki risiko tinggi terkena kanker paru.
Pada tahun 1960-an, diketahui bahwa bahaya asbes bukan hanya mengancam para pekerja di pabrik berbahan baku asbes, namun juga mengintai mereka yang menggunakan produk-produk asbes atau tinggal di sekitar pabrik asbes.
Meski penyakit terkait akibat asbes ini telah disadari sejak tahun 1960-an, namun pelarangan terhadap asbes baru ramai diberlakukan 30 tahun kemudian. Negara pertama yang melarang penggunaan asbes adalah Islandia pada 1983. Hingga awal tahun ini, tercatat 62 negara sudah melarang semua jenis asbes secara total atau sebagian.
Menurut laporan WHO pada 2014 , diprediksi 107 ribu orang meninggal dunia per tahunnya akibat asbestosis, kanker paru, atau mesotelioma karena pajanan asbes di tempat kerja. Sementara paparan asbes di luar tempat kerja menewaskan hampir 400 orang per tahun.
ADVERTISEMENT
Laporan tersebut juga menegaskan, semua jenis asbes --actinolite, amosite, anthophyllite, crocidolite, tremolite, termasuk chrysotile-- bersifat karsinogenik.
Salah satu yang perlu dilakukan kini, menurut dr. Anna, adalah “penegakan diagnosa penyakit akibat kerja”.
Jika seorang pekerja konstruksi terjatuh, diagnosis menyangkut penggunaan alat keselamatan kerja dan sebagainya tergolong lebih mudah. Namun jika ia sakit karena kerja seperti duduk lama di depan layar komputer atau interaksi jangka panjang dengan polutan berbahaya, lebih sulit didiagnosis.
Selain karena pegal, kelelahan, atau ketidaknyamanan ketika bekerja dianggap hal wajar, jangka waktu panjang timbulnya penyakit juga menjadi tantangan. Seperti penyakit akibat asbes yang baru akan terasa dampaknya 10-20 tahun kemudian.
Kesulitan lainnya adalah tanda klinis yang mirip. “Kalau (penyakitnya) di paru-paru, apapun jenis tanda klinisnya kan mirip. Batuk, sesak. Nah di Indonesia, kita punya juga faktor penyebab batuk dan sesak yang paling dominan: TBC,” kata dokter yang banyak menangani kasus asbestosis di Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
Secara umum, penyakit asbestosis ditandai dengan napas yang pendek, sesak dan sakit di dada, berkurangnya nafsu makan, batuk kering terus-menerus, dan kelelahan. Namun tentu saja dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut seperti rontgen dan CT Scan.
Hasil rontgen yang dibutuhkan untuk melihat penyakit akibat asbes haruslah memiliki daya tembus lebih tajam. Ibaratnya jika dalam gambar, berkualitas Full HD (High Definition).
“Nggak bisa dengan konvensional. Kalau terlihat dengan konvensional, itu berarti sudah parah,” ujar dr. Anna.
Standardisasi yang berbeda dalam mendiagnosis telah ditetapkan International Labour Organization (ILO). “Jadi standarnya harus dilihat di sini (panduan ILO ). Dokter sendiri di Indonesia tidak cukup tersosialisasi dengan (standar ILO) ini, jadi ya memang sulit mendiagnosisnya,” imbuh dr. Anna.
Asbestosis di Indonesia
ADVERTISEMENT
Sriyono tak sendiri. Ada 10 orang lainnya dari 20 orang yang diperiksa pada Desember 2016 didiagnosis terkena asbestosis. Dan 3 orang lain dari 5 orang yang diperiksa pada Desember 2017 yang juga terkena asbestosis.
“Angka 10 dari 20 dan angka 3 dari 5 ini sebenarnya puncak-puncaknya saja yang dicari, karena kan sekian banyak orang yang bekerja di situ (industri asbes),” ujar Direktur LION Indonesia Wiranta Yudha pada kumparan di Bogor, Kamis (4/1).
Pekerja yang langsung berinteraksi dengan asbes, menurut Indonesia Ban Asbes Network (INA-Ban), diperkirakan mencapai 4 ribu orang. Angka tersebut di luar para pekerja kontrak, non-permanen, dan pekerja konstruksi bangunan. Belum termasuk 9,25 persen atau sekitar 24 juta penduduk yang menggunakan asbes dan atau terpapar debu-debu asbes.
ADVERTISEMENT
Ancaman asbes terhadap kesehatan warga itu bukannya tak disadari.
Tujuh tahun lalu, Setiawan Wangsa Atmaja yang saat itu menjabat Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat berkata, “Indonesia terancam bencana ledakan asbestosis 10-20 tahun ke depan jika penggunaan asbes tidak dihentikan.” Pernyataan itu diucapkan pada acara Workshop Diseminasi Pengelolaan Limbah Asbestos Jawa Barat, 7 Oktober 2010.
Jika kekhawatiran itu benar adanya, maka ancaman maut di butiran debu asbes, nyata di depan mata.