Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jerry Sumampouw: Tak Semua Orang Kristen Mau Partai Kristen
24 Desember 2018 14:36 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Pemilu Legislatif 2019 adalah kali kedua tak ada partai Nasrani —Kristen maupun Katolik—ikut serta. Sepuluh tahun lalu, Pileg 2009 menjadi pemilu terakhir yang diikuti partai Nasrani, yakni Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi Kasih Indonesia (PDKS).
ADVERTISEMENT
Sayang, kedua partai itu tak mampu melewati ambang parlemen sebesar 2,5 persen suara sah pada saat itu. PDKS hanya mampu meraih 0,31 persen suara, sedangkan PDS—yang mampu duduk di parlemen selama satu periode, 2004-2009—gagal menjaga kursinya karena hanya mendapat 1,48 persen suara.
Pada Orde Lama, partai Nasrani seperti Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) mampu mengamankan kursi di parlemen sebagai saluran aspirasi politik mereka. Namun, Orde Baru meredupkan geliat partai-partai tersebut dengan kebijakan fusi partai yang hanya mengizinkan tiga partai bertarung di pemilu—PPP yang agamais, PDI yang nasionalis, dan Golkar.
Kini, apakah tersimpan kerinduan kaum Nasrani untuk memiliki partai sendiri? Kemudian, bagaimana selama ini mereka menyampaikan aspirasi politik tanpa partai? Perlukah partai Nasrani bangkit kembali?
ADVERTISEMENT
kumparan berbincang dengan Jerry Sumampouw, mantan Humas Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) yang kini menjadi Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi). Berikut petikan obrolan kami di PGI Oikumene, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (20/12).
Pada Pileg 2009 dan 2014, partai Kristen meredup bahkan tak berhasil ikut pemilu. Apa yang terjadi?
Sebetulnya kerinduan akan partai Kristen itu tinggi. Apalagi dengan situasi kebangsaan kita sekarang, saat gerakan-gerakan intoleransi makin tinggi. Di samping itu, memang ada perasaan bahwa kami membutuhkan wakil langsung di parlemen. Mungkin supaya, katakanlah, membawa aspirasi Kristen.
Tapi mungkin konsolidasi untuk membentuk satu partai Kristen itu sekarang agak terbatas, dan terkendala faktor-faktor politik. Persyaratan-persyaratan keikutsertaan pemilu makin tinggi. Kita tahu pada Pemilu 2009 saja sudah nggak ada partai Kristen yang lolos ikut pemilu. Terakhir itu PDS.
ADVERTISEMENT
Pada Pileg 2014, misalnya, parpol harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi.
2. Memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota.
3. Memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan.
4. Menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan.
5. Memiliki anggota minimal 1.000 atau 1 per 1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.
6. Memiliki kantor partai hingga tingkat kabupaten, dan lain-lain.
Partai Kristen tak lolos ambang parlemen apakah karena perolehan suara yang kecil atau hal lain?
Kami punya pengalaman ada partai (Kristen) masuk parlemen, yang merupakan representasi Kristen. Pengalaman pernah punya partai yang masuk parlemen kemudian gagal, membuat proses untuk bikin partai lagi makin sulit.
Secara politik, orang-orang Kristen juga terpecah, nggak bisa jadi satu partai Kristen. Logikanya, jumlah orang Kristen itu sedikit, hanya sekitar 12 persen. Nah, kalau bikin partai Kristen, konstituennya kan sudah pasti orang Kristen.
ADVERTISEMENT
Kalau 12 persen itu tidak bisa dimaksimalisasi, memang jadi sulit. Faktanya, sebagian besar orang Kristen itu sudah menjadi pendukung partai yang ada, khususnya partai yang platform atau ideologinya nasionalis.
Partai Kristen tak selalu jadi pilihan orang Kristen apakah gara-gara kinerja buruk waktu di parlemen atau ada alasan lain?
Tak semua umat Kristen senang partai Kristen. Memang ada yang senang di partai-partai nasionalis. Jadi kalaupun ada satu partai Kristen, jangan berasumsi dia akan dapat dukungan umat Kristen 100 persen. Itu nggak mungkin.
Tapi kalau dia dapat suara setengahnya saja, itu lumayan, sudah cukup signifikan. Dan itu bisa ditingkatkan kalau kinerja dan performance-nya baik. Tapi dari pengalaman, partai Kristen kita tidak cukup signifikan, tidak cukup baik kinerjanya, sehingga dia dengan sendirinya secara alamiah ditinggalkan pemilih .
ADVERTISEMENT
Partai seperti PDS, dulu tidak bisa menampilkan diri sebagai partai yang berbeda. Ketika masuk parlemen, jadi sama dengan partai-partai lain. Misal mau jadi calon kepala daerah harus bayar. Praktik-praktik seperti ini diketahui banyak orang, yang membuat orang akhirnya melihat, “Kita nggak bisa berharap dari partai ini.”
Apalagi kalau mengklaim sebagai partai Kristen, semestinya kan membawa nilai-nilai Kristen. Tapi kalau dia ikut pasang biaya “sewa perahu” yang tinggi, kemudian ada problem keuangan di sana sini, orang dengan sendirinya malas memilih dia.
Dalam konteks itu, partai-partai Islam kan juga kerap sama saja dengan partai-partai lain. Tetap ada yang korupsi, misal. Jadi apakah isu “agama” tidak menarik minat umat Kristen?
Orang Kristen ini prinsipnya kritis terhadap partai. Memang situasi sosial politik kita sekarang membuat keinginan akan kehadiran satu partai Kristen itu tinggi. Tetapi di balik itu, ada harapan yang berbeda karena ingin melihat perubahan.
ADVERTISEMENT
Misal, tidak ada lagi diskriminasi, korupsi, dan money politic. Standar moral orang Kristen memang agak tinggi. Sementara di dalam gereja belum terlalu klir relasi antara agama atau gereja dan politik. Masih banyak orang yang agak alergi politik, dan melihat politik sebagai sesuatu yang “nggak boleh”.
Kalau ada partai yang mau menampilkan diri secara berbeda dan sungguh-sungguh pro terhadap nilai dan substansi perbaikan demokrasi atau perbaikan bangsa, apalagi kalau isunya yang spesifik seperti intoleransi, antidiskriminasi, ya suara akan ke sana.
Jadi masih banyak orang Kristen yang alergi dengan politik di Indonesia?
Secara umum, gereja-gereja membatasi diri untuk terlibat secara langsung dalam politik praktis. Gereja berpolitik dalam pengertian yang universal—politik moral, politik etis. Jadi menyampaikan kritik terhadap persoalan yang enggak beres itu tindakan politik, termasuk mengkritik kebijakan negara.
ADVERTISEMENT
Pertama, sebagian gereja masih melihat politik sebagai sesuatu yang tabu, karena itu bagaimana pun Kristen nggak masuk ke sana. Ini sangat apolitis. Tapi (kelompok lain) melihat politik sebagai sebuah kesempatan.
Kedua, ruang politik harus diisi. Ada dorongan supaya orang-orang Kristen aktif mengisi ruang-ruang politik yang terbuka, dan kekuasaan yang tersedia.
Bahayanya, kadang-kadang sulit membatasi diri, dan tidak bisa menjaga jarak. Meskipun mengatakan “tidak” terhadap pragmatisme politik, tapi pada akhirnya ikut terlibat dalam kategori ini.
Ketiga, melihat politik sebagai panggilan etis dan moral. Jadi aktif politik, tapi tidak mau terlihat pragmatis, karena memang tidak mau pragmatis. Dia kritis terhadap persoalan. Jadi politik itu sebagai panggilan pelayanan.
Jadi meskipun partai Kristen, kalau tidak menjalankan tugas sebagaimana yang mestinya dilakukan dalam konteks cerminan nilai-nilai kristiani, ya akan ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Umat Kristen banyak yang bersikap seperti itu, karena gereja secara kelembagaan punya perspektif tidak mau mengarahkan umatnya untuk menjadikan agama sebagai instrumen tunggal dalam berpolitik.
Selain korupsi, apa saja isu yang menjadi perhatian umat Kristen?
Yang sekarang dominan adalah isu intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Diskriminasi juga menghawatirkan karena secara langsung dirasakan oleh umat Kristen, dan seolah-olah tidak ada tindakan tegas terhadap itu.
Isu-isu seperti itu kan secara langsung bertentangan dengan komitmen NKRI. Tentu ada pula isu-isu lain, tapi isu-isu di atas itulah yang sentral sekarang, yang membuat umat Kristiani agak galau dan khawatir.
Perlu tidak kehadiran partai Kristen di masa depan?
Keinginan itu masih kuat, tapi kalau kita lihat dinamika politik yang berlangsung, ya makin sulit. Butuh sesuatu yang baru. Kalau yang memulai (partai Kristen) itu adalah tokoh-tokoh politik yang dulu mengelola partai-partai yang sudah gagal, saya kira enggak akan dapat dukungan lagi.
ADVERTISEMENT
Dan tokoh-tokoh politik Kristen dulu itu sekarang bergabung di beberapa partai baru. Jadi makin kecil kemungkinan (membuat partai Kristen). Apalagi sistem pemilu yang mengerucut membuat semakin sedikit partai yang bisa duduk di parlemen.
Partai boleh―bebas dan eksis, tidak perlu bubar. Tapi untuk ikut pemilu dan masuk ke parlemen, sulit. Sekarang saja, kalau kita lihat sistem baru, kemungkinan besar yang akan ada di parlemen hanya sekitar 6-7 partai. Itu yang bisa lolos 4 persen buat parliamentary threshold.
Kalau lihat hasil survei, yang akan makin hilang adalah partai-partai berbasis agama. Kalau lihat tren seperti ini, menurut saya makin tidak populer partai Kristen, atau makin kecil kemungkinannya untuk bisa mendirikan partai Kristen lagi.
Masa depan partai berbasis agama atau partai religius di Indonesia, cukup suram. Kalau kita lihat perbandingannya dengan Pemilu 1955 sampai sekarang, sebetulnya suara partai religius atau partai agama tidak pernah menang dari total suara partai-partai nasionalis.
ADVERTISEMENT
Jadi mungkin negara ini enggak terlalu cocok dengan partai berplatform atau bernuansa agama.
Kalau saya secara pribadi memang enggak terlalu setuju sama partai Kristen, meskipun dulu saya―karena mandat organisasi―berupaya untuk mendirikan partai Kristen. Tapi saat itu, sejak awal saya sudah bilang, saya enggak bakal masuk (partai Kristen), hanya menginisiasi.
------------------------
Selamat Natal bagi saudara kami. Ikuti selengkapnya kiprah kaum Nasrani dalam perpolitikan Indonesia di Liputan Khusus kumparan: Mati Suri Partai Kristen