Jokowi dan Pertanyaan tentang Hukuman Mati ke Koruptor

10 Desember 2019 5:44 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam Kongres II Projo di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (7/12). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam Kongres II Projo di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (7/12). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Pertanyaan Harli ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) cukup menohok. Siswa SMKN 57 Jakarta itu heran dengan sikap Indonesia yang tak pernah tegas memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Tak tanggung-tanggung, di hadapan Jokowi, Harli bertanya soal hukuman mati. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan saat orang nomor satu di Indonesia itu menyambangi sekolahnya untuk menyaksikan pementasan teater menteri Jokowi bertajuk 'Prestasi Tanpa Korupsi'.
Penampilan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa enggak berani seperti di negara maju misalnya, dihukum mati, kenapa kita hanya penjara? Tidak ada hukuman mati?" tanya Harli di SMKN 57 Jakarta, Jalan Taman Margasatwa, Jakarta Selatan, Senin (9/12).
Dalam momen tanya-jawab itu, Jokowi menjabarkan jawaban. Menurutnya, di Indonesia, hanya korupsi anggaran yang berhubungan dengan pengelolaan bantuan bencana alam yang bisa dihukum mati.
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan, kalau enggak, tidak [bisa dihukum]. Misalnya ada gempa, tsunami di Aceh atau di NTB, kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa [dihukum mati]," tutur Jokowi, dibantu Menkumham Yasonna Laoly yang juga turut hadir.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan murid seusai menyaksikan drama bertajuk Prestasi Tanpa Korupsi di SMKN 57 Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (9/12). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Jokowi mengakui aturan itu sama sekali belum pernah diterapkan di Indonesia. Namun, ia tak merinci detail alasannya.
ADVERTISEMENT
"Yang sudah ada saja belum pernah diputuskan hukuman mati, UU ada belum tentu diberi ancaman hukuman mati, di luar itu UU-nya belum ada," ujarnya.
Kendati demikian, Jokowi membuka peluang tersebut. Jokowi menilai hukuman mati untuk koruptor bisa saja direalisasikan jika rakyat merestui.
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu, dalam rancangan UU pidana, tipikor, itu dimasukkan, tapi sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Yasonna menegaskan hukuman mati untuk koruptor sebetulnya sudah tercantum dalam UU Tipikor. Yasonna mengamini pernyataan Jokowi yang menyebut aturan itu belum pernah diterapkan.
"Itu Pak Presiden bilang, kalau ada wacana itu akan dibahas nanti. Tapi UU-nya sekarang 'kan [sudah] ada. Yang jelas ada, tapi belum pernah dipakai juga," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Aturan yang dimaksud Yasonna dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pasal itu menjelaskan secara rinci ketentuan hukuman mati bagi para koruptor. Hanya saja, tak sembarang koruptor yang bisa dihukum mati.
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Yasonna mencontohkan kasus korupsi yang dilakukan eks anggota DPRD Lombok, H Muhir. Koruptor itu terbukti menyelewengkan dana bantuan bencana gempa Lombok, yang berasal dari pemerintah pusat. Meski demikian, Muhir belum bisa dijerat hukuman mati karena besaran uang yang dikorupsi.
"Ada juga kemarin di Lombok. Kan itu besarannya itu semua dalam pertimbangan. Kalau memang bencana alam, tapi dia korupsi Rp 10 juta. Kan ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan," ujar Yasonna.
ADVERTISEMENT
"Kalau misalnya ada dana bencana alam Rp 100 miliar, dia telan Rp 25 miliar, itu sepertiga dihabisi sama dia, ya, itu lain cerita," lanjutnya.
Hukuman mati masih menjadi perdebatan
Sejauh ini, hukuman maksimal untuk koruptor di Indonesia adalah pidana seumur hidup. Setidaknya ada tiga koruptor yang dijatuhi vonis seumur hidup, yakni eks Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu, dan Brigjen Teddy Hernayadi.
Jika menengok China dan Vietnam, kedua negara ini memberlakukan hukuman mati untuk kasus beberapa koruptor. Misalnya, koruptor pertambangan, Zhou Yongkang yang divonis mati oleh Pengadilan Rakyat China karena terbukti korupsi dan menjual senjata ilegal.
Akil Mochtar menikmati penjara Sukamiskin Foto: Jihad Akbar/kumparan
Atau eks Direktur Utama PetroVietnam, Nguyen Xuan Son, yang divonis pengadilan Vietnam karena menerima gratifikasi merugikan negara hingga Rp 993 miliar.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, mengapa Indonesia tak pernah memvonis mati koruptor?
Pengamat hukum pidana, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, hukuman mati untuk koruptor --dengan kriteria tertentu-- bisa diterapkan jika merujuk Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Namun, aturan itu belum bisa direalisasikan lantaran masih menjadi perdebatan.
"Penerapan masih sangat debatable, karena rezim dan sistem pemidanaan pada jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai extraordinary economic crimes seperti korupsi berbasis pada pendekatan rehabilitatif," kata Indriyanto saat dihubungi kumparan.
Wakil Ketua Pansel KPK, Prof. Dr. Indriyanto Senoadji, S.H., M.H. Foto: Marcia Audita/kumparan
"Karena itu, dalam praktik yang diterapkan adalah pidana penjara maksimum seperti seumur hidup," sambungnya.
Jika tujuannya untuk memberikan efek jera (detterent effect), Indriyanto menilai sistem pemidanaan hukuman mati ditujukan pada kejahatan konvensional non-economic crimes.
Sehingga, hukuman mati dapat diterapkan secara maksimal di kasus pembunuhan berencana, narkotika, dan kejahatan non-ekonomi lainnya. Indriyanto menganggap hukuman untuk koruptor sebaiknya menggunakan pendekatan rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
"Bagi saya, pemberantasan korupsi yang berbasis pencegahan sebaiknya tetap terarah secara konsistensi pada pendekatan rehabilitasi, dengan pidana penjara maksimum, dan tidak perlu hukuman mati yang juga tidak menciptakan detterent effect," tutupnya.