Juru Selamat Pendidikan di Tengah Bencana Pandemi

17 Mei 2020 13:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang anak didampingi ibunya belajar dengan melihat tayangan siaran TVRI di rumah mereka, di Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (13/4). Foto: ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak didampingi ibunya belajar dengan melihat tayangan siaran TVRI di rumah mereka, di Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (13/4). Foto: ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
Komunikasi dengan antara orang tua dan guru menjadi kunci keberhasilan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi. Keduanya harus bahu-membahu menjadi juru selamat bagi anak-anak.
Selayaknya semua lini kehidupan masyarakat yang tak lepas dari dampak wabah corona, pendidikan Indonesia dipaksa untuk terus beradaptasi. Dimulai dari sekolah yang “pindah” ke rumah, orang tua yang “bertransformasi” menjadi guru, dan media pembelajaran yang jadi serba-digital.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengakui adaptasi di dunia pendidikan bukan perkara mudah. Semua penuh kebingungan dan ketidakpastian. Hasilnya, siswa menjadi mudah stres.
Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari 1.700 responden di jenjang SD hingga SMA, 76 persen di antaranya tak senang belajar di rumah. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara guru dengan orang tua dalam mengadaptasikan realitas baru dalam proses belajar mengajar.
“Inilah saatnya guru dan orang tua berinovasi dengan melakukan banyak tanya, banyak coba, dan banyak karya,” kata Nadiem dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020, Sabtu (2/5).
Ifa Hanifah Misbach, Psikolog Pendidikan dan Kepala Klinik Psikologi Rumah Sakit Melinda. Foto: Istimewa
Psikolog pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ifa Hanifah Misbach, menyebut para guru sudah seharusnya mengedepankan well-being atau kesejahteraan siswa, bukan lagi standar penilaian. Guru bisa melonggarkan beban tugas dan mengubahnya dengan materi yang menyenangkan bagi siswa.
Sementara itu, orang tua di rumah bisa mengawal kegiatan lain untuk anak supaya tidak hanya terpaku pada gadget.
“Misalnya, mengisi kegiatan bermakna dari hari ke hari yang berbeda dinamikanya, akan menajamkan pancaindra anak, dan anak belajar menghargai alam sebagai pemberi ketahanan pangan untuk keluarga,” ujar Ifa kepada kumparan, Rabu (13/5).
Namun, pakar homeschooling Aar Sumardiono menyoroti kesiapan masing-masing orang tua yang berbeda. Ada sebagian orang tua yang secara mental siap mendampingi anaknya belajar di rumah, tapi ada pula yang sebaliknya. Inilah yang menjadi problem dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ) saat ini.
Lebih lanjut, Ifa dan Aar menjabarkan permasalahan PJJ melalui perbincangan dengan kumparan.
Seorang siswi kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan internet di Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Pembelajaran jarak jauh telah berjalan dua bulan, dan bisa jadi akan berlangsung lebih lama lagi. Apa saja catatan anda?
Ifa Hanifah: Saya melihat proses PJJ ini bukan hal yang mudah untuk guru, siswa, dan orang tua. Yang kita dengarkan lebih banyak keluhan dari seantero Indonesia. Siswa mengeluh dengan banyaknya tugas yang diberikan oleh guru. Guru mengeluh dengan minimnya keterampilan dan persoalan teknis yang mereka hadapi. Sementara orang tua merasakan beban tambahan dengan adanya anak-anak mereka di rumah selama 24 jam, tidak seperti biasanya.
Jadi yang pertama harus dilakukan guru adalah melakukan evaluasi ulang secara serius dan mendalam selama PJJ, yang meliputi:
Pelajar menyimak paparan guru saat proses belajar mengajar secara daring di rumahnya di Kampung Drangong, Taktakan, Serang, Banten, Rabu (8/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Ada banyak kasus ketika sekolah hanya sebatas memberikan materi dan tugas, tanpa ada pembimbingan yang jelas (yang kadang karena jumlahnya sangat banyak, sampai-sampai malah orang tua yang mengerjakan). Bagaimana tanggapan anda melihat yang seperti ini?
Ifa Hanifah: Dalam menyampaikan materi dan tugas, yang perlu dilakukan guru adalah, pertama, mengevaluasi tujuan memberikan tugas. Jangan hanya memindahkan paper dan pensil ke dalam bentuk digital, tetapi tak menggali eksplorasi potensi siswa dalam perubahan struktur kemampuan berpikir siswa. Itu keliru.
Jangan sampai siswa bukan sakit karena corona, tapi menjadi sakit karena overload beban tugas dari guru. Artinya, tim guru antarpengampu mata pelajaran di sekolah itu harus saling berkomunikasi secara intens dalam mengukur beban tugas pada siswa.
Kedua, seharusnya di masa pandemi ini, guru dan manajemen sekolah perlu memiliki kepekaan mempertimbangkan kembali tujuan pembelajaran yang diberikan. Apa yang ingin dicapai siswa? Juga harus mempertimbangkan keberagaman terhadap keterbatasan siswa yang tidak memiliki akses internet di rumah. Jangan sampai karena tak ada internet, boleh tidak belajar, dan proses pembelajaran jadi terhenti. Artinya, jangan terjebak pada sarana sehingga melupakan tujuan pendidikan, yaitu mengubah perilaku anak ke arah yang lebih baik.
Ketiga, kuantitas jumlah beban tugas artinya bukan ukuran guru berhasil menyelesaikan materi. Tetapi yang terpenting justru memastikan proses pembelajaran memiliki makna untuk siswa, sehingga siswa sendiri yang memproses tugasnya, bukan orang tuanya. Siswa yang memiliki kepuasan menyelesaikan tugas secara mandiri, cenderung akan memperkuat kembali perilaku untuk lebih tekun karena sudah menemukan motivasi internalnya.
Bagaimana supaya anak tidak stres menjalani pembelajaran jarak jauh?
Ifa Hanifah: Ada banyak cara mengatasi bosan agar tidak stres selama PJJ. Misalnya mengalihkan kebosanan anak dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang non-gadget agar otak memiliki kesempatan istirahat, agar tidak jenuh dengan screen yang terbatas dan malah membuat malas bergerak sehingga mudah bosan.
Aktivitas berkebun menanam sayur-sayuran atau mengolah bumbu masakan, akan membuat anak menghargai proses menumbuhkan, dari mulai menanam bibit sampai merawat dan mengolahnya jadi bahan siap saji di dapur. Mengisi kegiatan bermakna dari hari ke hari yang berbeda dinamikanya, akan menajamkan pancaindra anak dan anak belajar menghargai alam sebagai pemberi ketahanan pangan pada keluarga.
Aktivitas lainnya bisa melalui membersihkan rumah untuk melatih tanggung jawab, main musik, olahraga atau mengolah hobi apa pun, misalnya membuat macam-macam karya. Karya-karya anak selama masa pandemi ini bisa direkam dalam jurnal harian dan diberi refleksi oleh anak, sehingga anak mendapat kesempatan belajar menulis secara merdeka apa yang menjadi ide di balik karyanya.
Siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) mengikuti kegiatan belajar mengajar di rumah melalui siaran televisi TVRI di Depok, Jawa Barat, Selasa (14/4) Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Ada anggapan belajar jarak jauh tak ada masalah karena toh selama ini homeschooling bisa-bisa saja. Menurut anda bagaimana? Dan apa yang bisa dipelajari dari proses homeschooling bila PJJ berlanjut?
Ifa Hanifah: Terkait homeschooling dan apabila PJJ terus berlanjut sebagai realitas baru, orang tua yang terbiasa dari awal mendampingi anak belajar, yang memilih homeschooling, tidak akan terlalu kaget. Tetapi untuk orang tua yang tidak terbiasa mendampingi anak belajar di rumah, tentu ini menjadi tantangan karena orang tua juga tidak memiliki basis sebagai pedagog. Justru hikmah dengan adanya pandemi corona adalah pendidikan itu bukan terkendala jarak jauh seperti dikeluhkan seperti sekarang. Bila pendidikan itu belajar tentang kehidupan, maka ia harusnya dekat, sedekat anak dengan orang tua di rumah.
Yang dipersiapkan terlebih dahulu adalah mental orang tua yang tidak memiliki dasar keilmuan pedagogi, kini harus berperan sebagai pendidik. Jadi yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh orang tua adalah kemampuan mengatur emosi, agar ketika anak bosan atau uring-uringan, ia tak terpancing emosi. Tetap dapat tenang berinteraksi dengan anak.
Rasa bosan dan uring-uringan pada anak sangat wajar terjadi karena memang mereka sedang masanya bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya.
Apa yang membedakan pembelajaran jarak jauh dengan homeschooling?
Aar Sumardiono: PJJ itu kan sebetulnya proses belajarnya menjadi di rumah. Kalau homeschooling itu benar-benar tidak sekolah. Tidak menggunakan struktur sekolahan. Kalau sekolah mungkin 90 persen akademis, 10 persen pengembangan diri ekstrakurikuler. Kalau anak-anak homeschooling itu dibalik, 90 persen pengembangan diri minat dan bakat, dan 10 persen yang penting lulus ujian paket A, B, dan C. Yang penting punya ijazah.
Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Serikat guru mengatakan, mereka menurunkan standar penilaian, yaitu setengah kognitif dan menghilangkan aspek psikomotorik dan afektif. Apakah hal tersebut akan berdampak pada perkembangan anak ke depan? Jika iya, apa yang sebaiknya dilakukan baik guru maupun orang tua?
Ifa Hanifah: Jadi baik orang tua dan guru punya tantangan sebagai pengubah perilaku pada anak agar memiliki kemampuan belajar mandiri dalam menetapkan target tanpa paksaan orang dewasa. Orang tua perlu berperan sebagai teman diskusi tentang apa saja, tidak perlu terkait melulu dengan tugas akademik di sekolah.
Untuk guru, perlu diingat bahwa keliru bila di masa ataupun sesudah COVID-19 ini berlalu, kita sibuk dengan sarana, tapi lupa tujuan pendidikan, yaitu mendekatkan anak-anak dengan konteks lokal kehidupan dengan media apa pun yang sehari-hari ada di rumah .
Begitu pula untuk standar penilaian, tidaklah perlu ditekankan dalam masa pandemi. Semua orang ketinggalan kok, jangan khawatir. Justru yang terpenting adalah mendahulukan well-being (kesejahteraan mental).
Yang perlu diperdalam selama masa pandemi untuk siswa adalah mengasah adaptasi keterampilan hidup. Hal itu untuk mengasah kreativitas beradaptasi dengan ketidakpastian yang dapat menjadi bekal memperkaya keterampilan hidup pada siswa kelak.
Begitu banyak situasi sosial yang terjadi dan bisa menjadi media pembelajaran. Ada persoalan kesehatan, persoalan sosial yang berjarak, tumbuhnya solidaritas gotong royong di masyarakat kita, dan sebagainya yang bisa menjadi bahan eksperimen sosial pada anak. Itu untuk melatih empati dan keterampilan sosial sebagai salah satu upaya pendidikan karakter pada anak.
Aar Sumardiono Foto: Dok. Pribadi
Aar Sumardiono: Ini problem besar buat orang dewasa maupun anak-anak. Karena kita kan makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan makhluk lain. Nggak bisa cuma di layar. Karena kita butuh interaksi yang riil, yang bersama orang lain, yang bisa lihat gestur dan suasananya. Itu yang kemudian kita butuhkan, dan anak-anak juga membutuhkan itu.
Apakah bermasalah? Pasti bermasalah. Cuma kan problemnya: pilihannya apa. Itu yang membuat kita semua beradaptasi dengan kondisi ini. Yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi. Misalkan dengan kegiatan, pertama, kalau berhubungan dengan teman-temannya, bikin sesi janjian main (virtual) bareng. Itu walau tidak ideal, tapi paling tidak bisa menjembatani untuk berinteraksi dengan temannya. Atau kemudian apa video call dengan beberapa orang. Kemudian proses lain ya interaksi keluarga. Hal-hal yang secara sadar dilakukan orang tua supaya sama-sama tidak stres di rumah.
Apakah peran orang tua yang dominan dalam program homeschooling dapat diterapkan saat PJJ sekarang?
Aar Sumardiono: Masalahnya kan di kesiapan. Kalau orang tua yang anaknya homeschooling, secara mental dia sadar dan akan mengambil tanggung jawab itu. Nah, dalam kondisi sekarang, orang tua kan sebenarnya nggak siap.
Pertanyaannya adalah: apakah orang tua mau atau tidak? Tapi kalau tidak ada pilihannya, orang tua perlu belajar menjadi fasilitator untuk anak-anaknya. Ini problem lapangannya. Okelah misalnya oleh orang tua ditemani sebentar, tapi kalau nanti kerja lagi gimana? Ini belum terjawab. Lalu misalnya orang tua nggak kerja di rumah, sementara anak-anak harus di rumah karena sekolah sudah nggak memfasilitasi, bagaimana?
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
(Pandemi) ini betul-betul akan mengubah semuanya. Perubahan cukup dramatis dan substansial dalam kita bermasyarakat. Jadi nggak mungkin kayak dulu lagi.
Jadi, prinsipnya dilonggarkan. Target-target tujuan pendidikannya dilonggarkan. Fokus pada pendidikan yang substansial. Pertama, kesehatan anak baik fisik maupun mental. Kedua, life skill. Bagaimana anak-anak terampil menjalani keseharian. Sederhananya anak-anak bikin logbook.
Baru setelahnya menggunakan teknologi. Prosesnya bukan mengerjakan PR, tetapi misal belajar yang sifatnya praktis. Anak-anak itu kalau online nggak cuma dia menyerap, tapi ada proses mengeluarkan (kreasi). Anak-anak diminta bikin TikTok, infog. Jadi berkarya (sungguhan), bukan cuma membaca atau menerima saja.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.