Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kaisar Augustus dan Gairah Bisnis Pelacuran Pompeii
8 Juli 2017 9:28 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Bencana meletusnya Gunung Vesuvius tahun 79 yang mengubur Pompeii, kota kuno Romawi yang berdiri di abad pertama, ditafsirkan dalam berbagai macam makna oleh benak manusia --yang amat mungkin berbeda satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Pompeii menjadi situs sejarah penting, salah satu situs warisan dunia versi UNESCO, sekaligus menjadi bingkai dari sebuah kisah negatif tentang standar moral manusia. Di kota ini, seksualitas dirayakan bersama, dari ruang privat hingga ranah publik.
Temuan jasad dengan tangan seperti memegang kemaluannya di Pompeii belum lama ini, tak pelak membawa ingatan kembali kepada masa kejayaan Pompeii yang seketika musnah karena, jangan-jangan, diazab Tuhan karena rakyatnya yang gemar berzina.
Bagaimana tidak, jika budaya mereka saat itu memang dibentuk untuk memestakan seks bebas seantero kota.
Tentu saja, tak ada yang tahu pasti soal hubungan letusan Vesuvius yang membenamkan seluruh kota ke perut bumi, dengan moral masyarakatnya yang --menurut perpektif saat ini-- bobrok luar biasa, dan seks sebagai komoditas yang didekap erat dan dibisniskan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari dugaan Pompeii “dilaknat” atau “diazab”, kota di kaki gunung itu jelas masuk zona rawan. Letaknya hanya berjarak 10 kilometer dari gunung paling aktif di Eropa, dan bencana alam bukannya jarang datang menyapa penduduk Pompeii.
Temuan arkeologi dan penelusuran sejarawan memperkuat premis bahwa Pompeii ialah kota dengan warga yang menghamba erotisisme.
Arkeolog Thomas McGinn menemukan banyak bentuk bangunan di Pompeii terdiri dari kamar-kamar kecil yang difungsikan untuk melakukan aktivitas seksual. Belum lagi berbagai artefak erotis vulgar yang berserak di sana sini, dan sebagian kini tersimpan di Museum Arkeologi Naples.
Bagi yang paham sejarah Romawi, banyaknya temuan cabul tersebut tidaklah mengejutkan. Sebab peradaban Romawi memang dikenal gemar mengeksplorasi (dan mengeksploitasi) hasrat seks manusia.
ADVERTISEMENT
Pada titik itulah, Pompeii menjadi penting karena memiliki beberapa bukti arkeologis yang kemudian membuat kota itu dianggap bak Las Vegas kuno. Misalnya, terdapat 41 titik rumah bordil yang tersebar di seluruh Pompeii.
Hasrat seks yang terwujud dalam banyak format dan wadah, lantas bertemu struktur patriarki yang menjadikan keperkasaan pria sebagai obsesi. Phallus (penis ereksi) adalah segalanya. Gambar phallus bahkan ditemukan di jalan umum, dan dijadikan pajangan artistik di berbagai lokasi.
Dunia seks serta rumah-rumah bordil di Romawi bukan cuma komoditas yang hadir untuk memenuhi hasrat para konsumen. Rantainya tak sesederhana pelacur, germo, dan konsumen.
Dalam praktiknya, seks di ruang publik tak hanya berbentuk pelacuran. Dalam buku Sexuality in Greek and Roman Culture, profesor sejarah Universitas Arizona, Marlyn Skinner, menjelaskan bahwa standar moral masyarakat Romawi Kuno memang amat longgar, dan konsep seks mereka begitu brutal.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang belum menikah bisa tidur dengan siapapun. Seks bebas sama sekali bukan barang tabu. Pun, seorang ayah bisa mengajak anak laki-lakinya untuk berpesta seks dengan banyak perempuan.
Seks dengan perempuan bukan istri juga jamak dilakukan. Bahkan, ruang publik mulai dari taman, amfiteater, hingga balai kota menjadi tempat untuk berhubungan seks. Benar-benar gila menurut kacamata masa kini.
Namun saat itu, di Romawi Kuno khususnya Pompeii, semua terasa wajar. Pompeii memiliki pelayanan seks lengkap, mulai mandi kucing hingga pesta dansa. Dan rumah bordil Pompeii adalah yang terbaik sekaligus termurah di Mediterania.
Pelacuran --dengan satu atau sejumlah pelacur untuk satu atau beberapa konsumen-- justru hanya menjadi titik budaya seks yang hitungannya lebih “beradab”.
ADVERTISEMENT
Kebebasan seks yang sesungguhnya adalah milik para lelaki Romawi. Catatan literatur yang ditulis pada era Kekaisaran Augustus (27 SM-14 M), menyebut bahwa seks adalah soal kekuasaan.
Fungsi biologis mereka sebagai pihak yang melakukan penetrasi menjadi simbol kekuasaan dan kegagahan mutlak.
Kaisar pertama Romawi, dan juga paling berpengaruh, Gaius Julius Caesar Augustus yang lebih dikenal dengan sebutan Kaisar Agustus, memperkenalkan undang-undang yang cukup unik untuk mengatur pernikahan dan perzinaan. UU itu bernama Lex Julia.
Saat itu, Romawi dihadapkan pada keruwetan soal seks. Kaum lelaki benar-benar semaunya --menjadi germo, membeli budak seks, mengelola jasa pelacuran. Semua itu lantas dilarang oleh aturan moral baru Augustus.
Lalu bagaimana Pompeii --yang menjadikan seks sebagai bisnis nomor satu-- mengadaptasi legislasi tersebut?
Aturan baru Augustus, Lex Julia, menempatkan pelacur dalam strata terendah masyarakat. Namun, Augustus pun sadar bahwa pelacuran adalah keniscayaan --bagian tak terelakkan dalam masyarakat Romawi.
ADVERTISEMENT
Prostitusi kemudian diwajibkan untuk membayar pajak kepada Kekaisaran. Dan kebijakan ini pada awalnya terbukti cukup efektif mengatur urusan kelamin para pria di Romawi, termasuk Pompeii.
“Undang-Undang itu berhasil secara drastis mengatur seks di luar nikah,” tulis Skinner.
Tapi jangan salah, seks bebas di Romawi tidak berhenti. Penduduk tetap melakukannya, namun dengan lebih terkelola dan dengan ketaatan pembayaran pajak kepada Kekaisaran
Siapa yang mendapat durian runtuh di sini? Ya, tentu saja penguasa.
Ketika Pompeii membayar pajak, Kekaisaran Romawi menggunakan kekuasaannya untuk mengatur prostitusi kota. Banyak pelacur-pelacur yang dipekerjakan di Pompeii berasal dari wilayah pendudukan Romawi --Asia, Timur Tengah, Afrika Utara. Mereka dibawa dari Roma lalu disalurkan ke germo-germo.
Pada akhirnya, alih-alih mengontrol perzinaan, praktik prostitusi justru tumbuh makin subur. Profesor William Warwick Buckland dalam A Text-book of Roman Law from Augustus to Justinian, menyebutkan bahwa Lex Julia malah jadi blunder dan membuat jasa seks semakin digandrungi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dinilai Skinner sebagai hasil dari keraguan kebijakan seorang Augustus. Lex Julia mendiskriminasi kelas ekonomi. Standar moral bahwa seks bebas dilarang, hanya berlaku bagi keluarga dengan kelas sosial dan ekonomi tinggi.
“Ada batas moral bagi perempuan Romawi dari kelas atas untuk tidak terlibat dalam prostitusi. Sehingga, pria hanya bisa menggunakan jasa perempuan dari kelas bawah,” tulis Buckland. Akibatnya, rakyat jelata dan para pendatang amat rentan terperosok ke lingkaran prostitusi.
Meski tak ada jejak khusus kehadiran Augustus di Pompeii, pengaruh dari peraturannya terhadap prostitusi di Pompeii tampak jelas dalam penelitian arkeologis.
Pada beberapa titik rumah bordil, tertulis nama-nama pelacur yang berasal dari luar Romawi. Pompeii menjadi surga bagi aristokrat Romawi yang menikmati pelayanan jasa seks dari para budak.
ADVERTISEMENT
Pompeii kemudian menginspirasi menjamurnya rumah bordil di Roma, jantung kekuasaan Romawi.
Roma, menurut Skinner, justru memiliki jumlah pusat prostitusi lebih banyak dari Pompeii, meski situs peninggalannya tak sebanyak yang ditemukan di Pompeii.
Serupa dengan Skinner, para sejarawan lain meyakini praktik serupa lebih banyak terjadi di Roma. Terlebih pada tahun 37 ketika Caligula yang kejam diangkat menjadi kaisar, pemerintahannya memperkuat bisnis seks.
Rezim Caligula yang korup dan batil membuat prostitusi di Romawi menjadi urusan negara. Selain memberlakukan pajak, pejabat dan keluarga kerajaan diberi kekuasaan untuk mengatur seluruh rantai pasokan jasa seks. Caligula bahkan mendirikan rumah bordil di dalam istana.
Setelah Caligula dibunuh pada tahun 41, kaisar berikutnya, Nero, juga tak kalah serampangan. Selain meneruskan kebijakan pendahulunya, Nero menambah daftar perilaku aneh baru Kekaisaran Romawi.
ADVERTISEMENT
Kaisar tiran itu sering mengadakan pesta seks bagi kalangan aristokrat Romawi. Ia, bersama Caligula, sama-sama semakin mencoreng nama besar Kekaisaran Romawi.
Sementara Romawi dikenal kebesarannya karena keberhasilan di berbagai bidang, tak demikian dengan urusan seksualitas. Kegagalan mengendalikan nafsu para lelaki menjadi salah satu catatan buruk yang diwariskan Agustus yang agung kepada para penerusnya.