Kampung Tugu, Tanah Merdeka bagi para Serdadu Portugis yang Terbuang

24 Juli 2018 5:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
ADVERTISEMENT
Alkisah, pada 1641 Malaka yang sudah ratusan tahun jadi basis Portugis di kawasan Hindia Timur, tak kuasa menghadapi serbuan VOC. Di bawah panji-panji wangsa Oranye, Malaka menyerah, berikut dengan segenap prajurit portugis yang jadi tawanan perang.
ADVERTISEMENT
Waktu berselang, tawanan perang VOC tersebut dibawa ke Batavia (kini Jakarta) sebagai budak bagi bangsa Belanda. Belanda saat itu memberikan kebebasan bagi mantan prajurit Portugis ini. 2 syaratnya, pertama beralih dari Katolik menjadi Protestan (Agama Nasional Belanda saat itu), dan kedua memakai nama Belanda.
2 syarat tersebut dipenuhi, mereka pun diberi gelar sebagai orang Mardijker, yang artinya orang yang di merdekakan. Bisa saja, kata Merdeka diserap dari kata ini.
“Di Batavia, Mardijker hidup di dalam kota, tentu saja masih dalam suasana represi dari pemerintahan Batavia. Akhirnya segelintir dari mereka menyingkir keluar benteng, menemukan sebuah tempat di tengah rawa-rawa, di Timur Laut Batavia,” ucap Arthur James Michiels, keturunan ke-10 dari Letnan Mardijker, Jonathan Michielsz, ketika di temui di Kediamanya, Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara pada Senin (23/7).
ADVERTISEMENT
Di sanalah kampung Tugu mulai terbentuk. Mereka membangun permukiman pada tahun 1661. Tugu, menurut Arthur diserap dari kata Por-tugu-ese. Ia tidak mengacu pada Tugu sebagai prasasti kerajaan Mulawarman yang baru ditemukan pada Abad 19, sedangkan Kampung Tugu sendiri telah menjadi permukiman setidaknya di penghujung abad 17.
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lonceng peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Empat belas tahun berselang, persembunyian Mardijker ditemukan oleh orang Belanda. “Kali ini bukan Tentara Belanda yang datang, melainkan seorang Pendeta Belanda bernama Melkhior Leydekker,” tambah Arthur.
Kedatangan Leydekker nyatanya tak membuat Mardijker yang lain tenang. Beberapa Mardijker yang lain pergi, menjauh dari keberadaan sang Belanda. “Saya tidak tahu kemana, tapi bisa jadi mereka menjadi pionir dalam penyebaran agama Katolik di Jakarta,” tambah Arthur.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, mereka yang bertahan mendapat pendidikan dari Leydekker. Bahkan Arthur berani mengucap, Kampung Tugu memiliki sekolah swasta pertama di luar Tembok Batavia.
“Saat itu kami sudah mengenal pendidikan, mungkin di luar tembok Batavia, kami punya sekolah partikelir pertama,” katanya.
Cobaan bagi permukiman ini datang kembali pada tahun 1740, saat itu terjadi peristiwa yang dinamakan dengan Geger Pacinan. Hal itu diakibatkan oleh jatuhnya harga gula yang jadi produk utama VOC. Warga Tionghoa yang mayoritas menjadi buruh gula memberontak, terjadilah penumpasan dan pembantaian yang dikenal dengan Tragedi Angke, di mana 10.000 warga etnis Tionghoa dibunuh oleh Belanda.
Hal tersebut menyebar hingga ke Kampung Tugu. Warga Tionghoa yang memberontak menemukan permukiman mereka, membakar gereja, sekaligus literatur yang disimpan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya, kami tak ada literatur lagi, dibakar habis oleh Warga Tionghoa yang mengamuk,” terang Arthur.
Kampung Tugu kembali menggeliat pada tahun 1748, seorang Tuan Tanah Belanda membangun kembali Gereja tersebut. Kali ini, Gereja yang akhirnya dikenal sebagai gereja Tugu itu masih kokoh berdiri hingga sekarang. Di tahun-tahun setelahnya, munculah nama-nama besar, sebut saja Augustin Michiels, yang dikenal sebagai tuan tanah paling kaya se-Jawa pada masanya.
“Leluhur saya, Augustin menjadi Marjdiker terakhir. Menyandang pangkat Kolonel de Mardijker, selepasnya tak ada lagi yang jadi Tentara. Kompi Mardijker dibubarkan,”
Hampir 200 tahun berselang, kali ini Jepang datang. Mereka kembali memasuki gereja, meski tak dirubuhkan, Balatentara Dai Nippon membakar dokumen tentang perjalanan Kampung Tugu. Alhasil tak ada lagi, bukti otentik dari para Mardijker.
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan peninggalan Portugis di Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Arthur, menjadi yang generasi ke-10 dari para Serdadu Portugis ini. Jika dilihat, ia memiliki perawakan yang tinggi di atas rata-rata orang Indonesia dan gagah, lengkap denga hidungnya yang mancung. Belum lagi Angels, kemenakanya. Gadis belia ini berambut hitam kecoklatan, kulitnya putih, wajahnya mirip dengan para Senorita Amerika Latin. Mereka menjadi segelintir dari 150 sisa keturunan Portugis yang menetap di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Ketika mau tahu tentang Kampung Tugu dan Sejarahnya, mau tidak mau, ya bertemu dengan saya. Yang menjadi keturunan paling akhir dari para Serdadu Portugis itu. Beberapa kali saya disarankan bikin buku, tapi saya tidak mau, saya tidak punya bukti yang otentik. Literasi saya hanya berdasarkan kisah yang dituturkan oleh Oma dan Opa saya yang sudah tiada,” pungkas Arthur.
Kampung Tugu masih berdiri, asimilasi terus berjalan. Arthur pun tinggal di sebuah rumah yang sudah berusia 250 tahun, dan ia adalah generasi ke lima pewaris rumah itu. Bisa dibilang, hanya Gereja dan rumahnya lah yang bisa dikatakan bukti otentik dari Komunitas Portugis di Indonesia.