Kanada Tolak Usulan Cerai dengan Monarki Inggris

27 Oktober 2022 10:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Raja Charles III berjabat tangan dengan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, di Ruang 1844 di Istana Buckingham di London, Inggris, Sabtu (17/9/2022). Foto: Stefan Rousseau/Pool via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Raja Charles III berjabat tangan dengan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, di Ruang 1844 di Istana Buckingham di London, Inggris, Sabtu (17/9/2022). Foto: Stefan Rousseau/Pool via REUTERS
ADVERTISEMENT
Anggota Parlemen Kanada menolak proposal dari oposisi Partai Quebec (PQ) yang menekan pemerintah federal untuk memutuskan hubungan dengan monarki Inggris pada Rabu (26/10).
ADVERTISEMENT
Pihaknya menepis mosi parlemen dari Blok Quebec dengan selisih yang luar biasa, yakni 266 suara menentang dan 44 suara mendukung.
Tuntutan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang monarki memang mendapati peluang kecil untuk berhasil di Kanada.
Sebab, usulan tersebut memerlukan amandemen konstitusi dengan dukungan kesepuluh provinsi, serta persetujuan dari kedua majelis parlemen. Kendati demikian, pemimpin Blok Quebec, Yves-Francois Blanchet, meyakini adanya celah usai kemangkatan Ratu Elizabeth II.
Menurutnya, kepergian sang penguasa monarki memberikan kesempatan bagi warga Kanada untuk membebaskan diri dari Inggris.
Setelah kemangkatan ibunya, Raja Charles III secara otomatis mengambil alih sebagai raja Inggris dan kepala negara bagi 14 negara-negara Persemakmuran, termasuk Kanada.
"Pergantian penjaga di Inggris baru-baru ini adalah kesempatan bagi warga Quebec dan Kanada untuk membebaskan diri dari hubungan monarki yang usang," jelas Blanchet, dikutip dari Reuters, Kamis (27/10).
Raja Charles III dan mendiang Ratu Elizabeth II menonton flypast khusus dari balkon Istana Buckingham setelah Parade Ulang Tahun Ratu "Trooping the Colour" di London, Kamis (2/6/2022). Foto: Daniel Leal/AFP
Blanchet lantas memperkenalkan mosi untuk memutus hubungan dengan kerajaan Inggris pada Selasa (25/10). Dia menegaskan bahwa kesetiaan terhadap penguasa asing yang 'sangat rasis' tersebut tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga 'mahal'.
ADVERTISEMENT
"Ini anakronisme. Ini adalah lapisan cat di ruang tamu yang mulai memudar di sudut-sudutnya," ujar Blanchet, dikutip dari Al Jazeera.
Inggris menjajah Kanada mulai akhir 1500-an. Negara itu masih menjadi bagian dari kerajaan Inggris hingga 1982. Kini, Kanada adalah anggota kelompok negara bekas jajahan Inggris atau Persemakmuran.
Namun, sebagian masyarakat berharap dapat melepaskan jejak-jejak kolonial di Kanada. Ada semakin banyak warga yang tidak ingin diwakili oleh seorang raja asing. Tetapi, hanya ada sedikit dorongan politik untuk melangsungkan reformasi konstitusi di Kanada.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, juga menolak desakan Blok Quebec pada Selasa (25/10). Kepada parlemen, dia menyampaikan bahwa Partai Liberal akan berfokus pada permasalahan yang lebih mendesak, seperti perubahan iklim dan situasi ekonomi di Kanada.
ADVERTISEMENT
"Warga Kanada prihatin dengan masalah yang mereka hadapi, apakah itu perubahan iklim, ketidakstabilan global, atau biaya hidup. Dan itulah yang kami pilih untuk didiskusikan," terang Trudeau.
PM Kanada Justin Trudeau. Foto: Dave Chan / AFP
Jajak pendapat Ipsos yang dirilis pada September menunjukkan perbedaan pandangan tentang peran monarki di Kanada. Hingga 54 persen responden meyakini, Kanada harus mengakhiri hubungan formalnya dengan monarki setelah pergantian penguasa Inggris.
Tetapi, 46 persen responden lainnya tidak setuju dengan pemutusan hubungan dengan mahkota Inggris. Jajak pendapat dari Leger pada bulan yang sama juga menemukan bahwa 77 persen warga tidak merasa memiliki ikatan dengan monarki Inggris.
Perdebatan di Kanada mencerminkan percakapan serupa di negara-negara lain dalam Persemakmuran, terutama di kawasan Karibia. Mereka telah mempertanyakan masa depan monarki Inggris sejak kemangkatan Ratu Elizabeth II pada 8 September.
ADVERTISEMENT
Jamaika dan Bahama menyerukan pencopotan penguasa monarki dari jabatan kepala negara. Keduanya juga menuntut kompensasi atas sejarah perbudakan Inggris. Antigua dan Barbuda bahkan menyebut kemerdekaan penuh sebagai aspirasi semua orang di Karibia.
Antigua dan Barbuda merencanakan referendum untuk menjadi republik dalam tiga tahun mendatang. Sementara itu, Barbados telah terlebih dahulu meninggalkan sang ratu dan mendeklarasikan kemerdekaan tanpa referendum pada November 2021.
"Kami memiliki individu yang dapat menjabat sebagai presiden di negara kami masing-masing, dan saya percaya bahwa setiap negara di Karibia Persemakmuran semuanya bercita-cita untuk menjadi republik," jelas Perdana Menteri Antigua dan Barbuda, Gaston Browne, dikutip dari Jamaica Gleaner.