Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kasus Firli 7 Bulan Mandek di Polda Metro, KPK Bisa Supervisi atau Ambil Alih?
3 Juli 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Penyidikan kasus pemerasan mantan Ketua KPK Firli Bahuri masih belum rampung diselesaikan Polda Metro Jaya. Sejak 7 bulan sejak ditetapkan sebagai tersangka pada November 2023, Firli Bahuri bahkan masih belum ditahan.
ADVERTISEMENT
Terhitung sejak jadi tersangka hingga hari ini Rabu (3/7), Firli sudah lebih 200 hari berkeliaran bebas.
Penanganan kasus Firli oleh Polda Metro Jaya pun dinilai mandek. Bahkan sempat menjadi perhatian Komisi III DPR yang kemudian ditanyakan kepada KPK. Lantas, apa yang bisa dilakukan KPK terkait kasus ini?
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, mengungkapkan bahwa KPK bisa mengambil alih kasus.
"Seharusnya mekanismenya seperti itu, bahkan bisa langsung mengambil alih karena memang kasus dianggap macet dan penyidikannya harus diperbaiki," ujar Ficar kepada wartawan dikutip, Rabu (2/7).
Ficar menyebut, hal tersebut diatur dalam KUHAP dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Dalam aturan tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus yang menjerat Firli Bahuri adalah terkait pemerasan, atau gratifikasi, atau suap.
ADVERTISEMENT
Dalam melaksanakan supervisi tersebut, KPK juga berwenang untuk mengambil alih perkara.
Pasal 10A ayat (1) KPK menyebutkan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya, KPK dapat mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Syarat KPK Bisa Ambil Alih
Pada ayat selanjutnya, diatur enam kriteria penanganan perkara yang bisa diambil alih KPK, yakni:
a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
ADVERTISEMENT
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Otomatis semua perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan disupervisi KPK," kata Ficar.
"Tinggal keberanian Komisioner KPK untuk mengambil alih jika Polda [Metro Jaya] tidak jalan," imbuhnya.
Ahli hukum pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, pun sependapat bahwa KPK bisa mengambil alih kasus tersebut karena ada kewenangan koordinasi dan supervisi.
Meski demikian, ia berpendapat bahwa sebaiknya perkara Firli Bahuri tersebut tetap ditangani Polda Metro Jaya.
"Sebaiknya Polda tetap menangani karena konflik kepentingan KPK tinggi. Namun berdasarkan UU KPK memang KPK dapat mengambil alih kasus korupsi yang penanganannya lama," kata Akbar.
Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pemerasan SYL sejak 22 November 2023. Namun, penyidik belum melakukan penahanan.
ADVERTISEMENT
Firli pernah mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan karena menilai penetapannya sebagai tersangka tidak sah. Namun, gugatan itu diputus tidak dapat diterima.
Atas hal itu Firli kembali mengajukan praperadilan lagi ke PN Jakarta Selatan. Permohonan praperadilan kedua itu disampaikan Firli Bahuri pada Senin, 22 Januari 2024. Namun gugatan itu dicabut dengan alasan teknis dan perlu elaborasi lebih jauh.
Hingga kini polisi belum melengkapi berkas perkara Firli. Polda Metro sempat melimpahkan berkas ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Namun, lantaran dinilai belum lengkap, berkas dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi.
Perkembangan terbaru, Dirjen Imigrasi Kemenkumham, Silmy Karim, menyebut ada perpanjangan masa pencegahan ke luar negeri untuk Firli Bahuri.
Silmy menerangkan bahwa Firli dicegah ke luar negeri untuk 6 bulan ke depan. Artinya, dia tidak bisa ke luar negeri hingga 25 Desember 2024.
ADVERTISEMENT
Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto menyebut bahwa kasus tersebut masih dalam penyidikan. Penyidik masih berupaya melengkapi berkas sebagaimana yang diminta jaksa.
"Masih di saya, masih di Polda. [Kendala penyidikan?] untuk memenuhi P19," ujar Karyoto.
Sempat muncul desakan Karyoto untuk mundur dari posisinya, sebab kasus tersebut terkatung-katung.
"Yang penting saya sebagai penanggung jawab penyidikan akan melakukan penyidikan dengan baik. Masalaah saya, itu saya memang bawahan Pak Kapolri, itu kita terima. Tapi sebagai bawahan, sebagai atasan penyidik, saya perintahkan ke Dirkrimsus saya untuk melakukan penyidikan yang terbaik," ujarnya kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Rabu (26/6).
Dalam kasusnya, Firli Bahuri selaku Ketua KPK diduga memeras Syahrul Yasin Limpo (SYL). Politikus NasDem itu diduga terlibat kasus pungli di Kementan yang kemudian diusut KPK.
ADVERTISEMENT
Diduga, SYL memberikan sejumlah uang kepada Firli dengan imbalan kasusnya dapat diredam. Belakangan, KPK tetap memproses SYL menjadi tersangka. Firli kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Untuk SYL, ia didakwa menerima uang pungli Rp 44,5 miliar dari hasil memeras pejabat Kementan. Dalam persidangan, muncul pengakuan SYL pernah memberikan uang Rp 1,3 miliar kepada Firli Bahuri. Diduga untuk mengamankan kasus korupsi di Kementan yang diusut KPK.
Firli membantah soal uang Rp 1,3 miliar. Ia balik menuding SYL memfitnahnya.