Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kata adalah Senjata: Deretan Sastrawan Pahlawan
13 April 2017 11:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Saat wacana menjadikan Chairil Anwar sebagai pahlawan nasional mengemuka di publik, beberapa pihak mungkin mengernyitkan dahi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan awam yang biasa muncul seperti, “Memang apa yang telah Chairil lakukan sehingga ia pantas?” atau, “Puisi Chairil kan personal, individualis bahkan. Bagaimana mungkin menjadi dasar ia sebagai pahlawan?” atau mungkin sekadar, “Memang ada pahlawan yang dulunya sastrawan?”
Jawaban sederhana soal kepantasan Chairil itu adalah: bisa iya, bisa juga tidak.
Menurut Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, seseorang harus memenuhi beberapa syarat umum dan khusus, yang di antaranya seperti: 1) Warna Negara Indonesia, 2) punya integritas moral dan keteladanan, 3) berjasa terhadap bangsa dan negara, 4) mengabdi sepanjang hidupnya atau melebihi tugas yang diembannya, 5) pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa syarat tersebut, si Jadel --panggilan Chairil-- jelas bisa disebut memenuhi kesemua syaratnya. Faktanya, Chairil tak hanya menulis puisi yang personal dan individualis. Tengoklah beberapa nomor seperti “Diponegoro” atau “Perjanjian dengan Bung Karno” --yang maju serbu serang terjangnya terus diulang-ulang dalam hari-hari peringatan kemerdekaan hingga kini.
Tak hanya itu, Chairil disebut-sebut Profesor A. Teeuw, ahli kesusastraan Indonesia, punya peran penting dalam pematangan Bahasa Indonesia yang pada zamannya masih seumur jagung dan tak punya fondasi bahasa kuat.
Chairil mempromosikan Bahasa Indonesia, lantang menggunakannya --yang saat itu hanya jadi konsumsi publik terbatas. Lewat puisi-puisinya, ia memelihara satu-satunya faktor pemersatu jutaan orang Indonesia dari Sabang hingga Merauke selain mitos kesamaan nasib dijajah Belanda: Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pun begitu ketika kita menyoal yurisprudensi terpilihnya sastrawan sebagai pahlawan nasional, Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional mengambil patokan, bahwa apabila WR Supratman dengan lagu Indonesia Raya saja mampu menjadi pahlawan, mengapa Chairil tidak?
Logika analogi tersebut mungkin masih bisa didebat, dengan misalnya mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan Indonesia dan masih digunakan hingga kini. Namun, apabila klaim Teeuw benar, bahwa Chairil menjadi pematang Bahasa Indonesia, apa itu belum cukup?
Sebetulnya, pemilihan sastrawan sebagai penerima gelar pahlawan nasional bukanlah perkara yang baru sama sekali. Beberapa nama dari daftar panjang pahlawan nasional Indonesia punya latar belakang sebagai sastrawan.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja Abdoel Moeis, yang selain aktivis dan politikus Minang yang getol, juga merupakan sastrawan dan wartawan yang aktif pada masanya. Beberapa karya dihasilkannya, dengan satu yang fenomenal dan masih terus dibaca hingga kini adalah novel berjudul Salah Asuhan. Novel tersebut ia buat di Garut, Jawa Barat, saat menjalani pengasingan dari tanah kelahirannya di Agam, Sumatera Barat.
Selain Moeis, Amir Hamzah juga masuk ke dalam daftar pahlawan nasional Indonesia. Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru.
Amir Hamzah sendiri menerima gelar pahlawan pada 1975. Amir merupakan pentolan Pujangga Baru, dengan berbagai karya sastra yang kental dan dipengaruhi oleh bahasa Melayu dan Jawa. Ia kerap mengeluarkan tema rasa rindu dan cinta, yang punya kesan relijius mendalam.
Era Pujangga Baru kemudian diperbarui oleh Angkatan 45 seperti Chairil Anwar. Chairil menjadi pembaru dari era tersebut, yang lebih modern dan bebas dalam penggunaan isu-isu kesusasteraan dan gaya penulisan.
ADVERTISEMENT
Goenawan Mohamad pernah mencatat dengan apik, bahwa apabila Amir Hamzah membawa Tuhan dalam rindu yang amat sangat dalam puisi-puisinya, Chairil menggambarkan interaksi ia dan Tuhannya justru sebagai “gelanggang kami berperang”.
Mohammad Yamin pun demikian. Sastrawan kawan Chairil sekaligus politikus dan ahli hukum tersebut turut digelari pahlawan nasional atas jasa-jasanya yang tak terhitung buat Indonesia.
Namun, tak hanya diingat sebagai politikus, Yamin justru mendapat apresiasi tertinggi ketika berperan penting dalam proses pembuatan Sumpah Pemuda. Ia mendorong Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebuah usaha mengimajikan keindonesiaan yang saat itu masih terbatas di awang.
Usaha Yamin itu di kemudian hari diteruskan oleh Chairil dengan tak henti-hentinya menggunakan Bahasa Indonesia dalam sastra modern. Bahasa Indonesia pun terus meningkat pamornya sebagai perekat keindonesiaan.
Dari daftar sastrawan pahlawan di atas, sebetulnya usaha mendorong Chairil menjadi pahlawan nasional sungguh tak muluk-muluk. Ia punya peran, meski sebagai manusia juga punya sisi buruk yang di akhir hayatnya membuat Chairil tersuruk-suruk.
ADVERTISEMENT
Namun sepertinya, yang harus kita perdebatkan tak hanya terbatas pada soal pahlawan atau bukan pahlawan, melainkan: lalu apa setelah mereka menjadi pahlawan?