Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Kata Sejarawan soal Lukisan Orang Berbaju Jawa di Kereta Kencana Ratu Belanda
12 Juni 2020 11:32 WIB
Diperbarui 22 Desember 2020 12:48 WIB
ADVERTISEMENT
Unggahan foto lukisan di kereta kencana Kerajaan Belanda (The Golden Coach) yang menunjukkan orang kulit hitam dan orang berpakaian tradisional Jawa di Twitter menuai pro dan kontra.
ADVERTISEMENT
Unggahan itu awalnya diposting oleh akun @redfishtream pada Senin (8/6). Sejumlah netizen menilai foto itu sebagai bentuk perbudakan era kolonial yang sebaiknya tidak ditampilkan lagi di masa modern.
“Sebagai rasis, simbol kolonial juga terjadi di kawasan Eropa dan Amerika Serikat. Salah satu contohnya adalah Kereta Emas (The Golden Coach). Kereta itu adalah kendaraan Raja dan Ratu Belanda dengan pemuliaan penaklukan budak Afrika dan subjek penjajahan Indonesia oleh penguasa orang kulit putih,” tulis akun tersebut dalam bahasa Inggris.
Konteks dari tulisan itu berkaitan dengan insiden kematian warga keturunan Afrika-Amerika, George Floyd, oleh polisi AS. Atas kematian itu, gelombang protes tak henti terjadi di negeri Paman Sam dan negara lainnya.
Tentu, tulisan dan unggahan foto itu menyulut masa lalu bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Bahkan ada juga yang masih tak terima meski Raja dan Ratu Belanda datang ke Indonesia beberapa waktu yang lalu untuk minta maaf. Akan tetapi, ada juga tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena bagian dari masa lalu.
Dikutip dari Dutch Culture in a European Perspective: 1900, the age of bourgeois culture, Willem Frijhoff dan Marijke Spies menuliskan Kereta Emas atau The Golden Coach merupakan persembahan masyarakat Amsterdam dengan bahan-bahan dari Belanda dan tanah jajahannya. Hadiah itu diinisiasi pendukung House of Orange dan Vereeniging van het Amsterdamsche Volk (Persatuan Masyarakat Amsterdam) dengan menggalang donasi yang terkumpul pada 1898.
The New Yorker menuliskan, hadiah itu ditujukan kepada Ratu Wilhelmina pada saat penobatannya tahun 1898. Kereta itu diukir dari kayu jati oleh pengrajin lokal (sumber lain menyebut kayu jati dari Jawa -Red), dibiayai dengan sumbangan. Kereta itu sempat tak digunakan oleh Ratu, namun pada 1901, Ratu Wilhelmina dan suaminya mengendarainya di hari pernikahan.
ADVERTISEMENT
Kereta itu juga pernah digunakan dalam pembaptisan Putri Juliana pada 1909, pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard pada 1937, pembaptisan Putri Beatrix pada tahun 1938, pelantikan Ratu Juliana pada 1948, pernikahan Putri Beatrix dan Pangeran Claus pada 1966, dan pernikahan Pangeran Willem-Alexander dan Putri Máxima pada 2002.
Salah satu bagian yang menarik dari desain kereta itu adalah lukisan yang berjumlah 4 panel karya Nicolaas van der Waay. Pada waktu itu ia merupakan seorang profesor yang diminta secara khusus untuk melukis di kereta tersebut.
Lukisan di bagian belakang menunjukkan sosok Clio, inspirasi historiografi, yang mewakili upeti orang-orang pada pelantikan Ratu Wilhelmina. Buku yang ada dalam lukisan itu dipegang oleh Chronos. Seekor anjing, melambangkan kesetiaan, memegang lambang Kerajaan Belanda.
ADVERTISEMENT
Di panel sebelah kanan menunjukkan seorang laki-laki telanjang yang menggambarkan generasi muda Belanda. Tokoh utama dalam lukisan itu dikelilingi sejumlah visual yang menyimbolkan perdamaian, pendidikan, iman, pertanian, peternakan, perdagangan, industri, musik, puisi, sains, hukum dan tentara.
Sementara itu, panel depan melambangkan masa depan yang ideal dengan peningkatan fasilitas sosial. Lady Justice mewakili hukum dan melindungi orang yang membutuhkan. Simbol pendidikan dan kesehatan.
Panel bagian kiri merupakan lukisan yang kontroversial dengan judul ‘Homage of the Colonies’. Dalam lukisan itu terlihat gadis Belanda dikelilingi orang berkulit hitam dan orang berpakaian Jawa. Ada juga orang yang bersimpuh serta menyerahkan benda. Sejumlah orang menginterpretasikan itu sebagai simbol perbudakan dan penjajahan.
Pembahasan lukisan dalam kereta juga diulas oleh seorang yang bermukim di Belanda, Lorraine Riva. Ia membuat utas di akun Twitternya, @yoyen pada Senin (8/6).
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, lukisan itu bisa diartikan menjadi dua: penghormatan ke dan atau penghormatan dari koloni (untuk naik tahtanya Juliana). Sebab, suka atau tidak , memang waktu kereta itu dibuat, Belanda memiliki banyak koloni.
“Sebelah kiri lambangnya koloni di barat: West Koloniëen, sebelah kanan timur: Oost Koloniëen. Yang kiri bisa jadi lambang koloni di Afrika atau Karibia, yang kanan kita tahu lambang koloni di Hindia-Belanda,” tulis Lorraine.
Menggambarkan Kekuasaan Belanda
Sementara itu, Dosen Sejarah FIB Universitas Indonesia, Agus Setiawan mengatakan, lukisan itu menggambarkan kekuasaan Belanda dalam mengontrol koloni-koloninya pada abad 19. Hal itu menunjukkan kekuatan Belanda dibandingkan abad 18. Lukisan orang kulit hitam melukiskan jajahan di bagian barat. Sementara, lukisan orang memakai pakaian Jawa simbol jajahan di bagian timur.
ADVERTISEMENT
“Gambaran beragam etnik, menurut saya mewakili wilayah ketika oh ini orang kulit hitam masuk dalam koloni Belanda, kemudian yang di Hindia Belanda yang dominan kan Jawa penduduknya lebih banyak kesultanan yang kuat di Jawa ketika Mataram jatuh. Jawa jadi mudah lebih dikontrol ya,” ucap Agus kepada kumparan, Kamis (11/6).
Meski begitu, kalau dilihat dari pihak eksternal, tambah Agus, karena Indonesia sebagai bangsa yang dijajah Belanda, tentu melihat simbol ini sebagai suatu yang merendahkan. Sementara itu, pada abad itu, belum ada Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, kalau dilihat dari kacamata zaman sekarang, penjajahan itu pelanggaran HAM.
“Jadi kurang lebih seperti itu, kalau ke Leiden University, di jurusan Sejarah wajar melihat gambar VOC, mungkin melihat kehadirannya di Nusantara merugikan, tapi buat mereka itu zaman keemasan, makanya harus dilihat dari dua sisi,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Zaman Telah Berubah
Sementara itu, ahli sejarah JJ Rizal mengatakan, tindakan pemerintah Belanda itu menunjukkan memang tidak pernah memahami zaman telah berubah. Mereka masih hidup dengan asumsi-asumsi lama bahwa tidak pernah terjadi kolonialisme, tetapi pemberadaban di bawah pengasuhan dan pengasihan ratu atau pun raja Belanda.
"Sebab itu, mereka tidak merasa canggung dan malahan bangga memamerkan artefak yang di mata bangsa Indonesia yang memahami sejarah menjadi monumen luka yang dalam," ujar JJ Rizal kepada kumparan, Kamis (11/6).
Ia menambahkan, kereta emas itu berasal dari masa puncak tanam paksa, suatu sistem keji tak berperikemanusiaan untuk mengeksploitasi dan menarik untung. Sehingga Belanda bukan hanya selamat dari kebangkrutan setelah Perang Diponegoro, tetapi juga surplus sehingga bisa mengadakan industrialisasi serta menjadi negara modern di Eropa.
"Tetapi, di Indonesia, Hindia Belanda saat itu, sebaliknya, yang terjadi pemiskinan dan pembodohan yang mewariskan dosa warisan, sehingga membuat sukar, kalau tidak bisa disebut gagal, dari kemiskinan dan feodalisme," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, kata JJ Rizal, memamerkan kereta itu dengan raja dan ratu Belanda di dalamnya adalah suatu hal yang tragis untuk Belanda dan penghinaan besar buat Indonesia serta kawasan bekas jajahan mereka lainnya.
Di Belanda sendiri, panel kereta emas itu juga memicu protes. Pada tahun 2011, anggota parlemen Belanda meminta agar panel itu dilepas/dihapus saja. Sedangkan aktivis setempat menilai panel itu menggambarkan persembahan budak kepada Kerajaan Belanda, hingga muncul petisi agar kereta kencana itu dimuseumkan.
Saat ini, kereta kencana itu sedang dalam proses restorasi.