Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Nama Weltevreden mungkin tak familiar di telingamu, tapi bagaimana dengan kawasan Jakarta Pusat ? Hmm.. Tentu lebih sering terdengar, kan.
ADVERTISEMENT
Wajar saja, karena Jakarta Pusat merupakan 'gudangnya' perkantoran, pusat pemerintahan, dan juga peninggalan sejarah, terutama di masa kolonial.
Seperti yang tertulis dalam situs resmi Pemprov Jakarta, Weltevreden merupakan kota baru yang menjadi pusat pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels serta kediaman masyarakat Eropa. Kota ini terletak di antara Lapangan Banteng dan Monas.
Awalnya kawasan ini merupakan hutan rata berpadang rumput yang dimiliki oleh Anthony Paviljoen, sehingga dinamai sebagai Paviljoenved. Padang rumput milik Paviljoen (kini dikenal sebagai Lapangan Banteng) itu digunakan untuk memelihara ternak seperti lembu dan kerbau.
Paviljoen juga mendirikan rumah-rumah peristirahatan (vila) di kawasannya tersebut. Menurut Asep Kambali, sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, di masa lalu, kawasan milik Anthony Paviljoen masih seperti hutan belantara.
ADVERTISEMENT
"Nah, kawasan itu yah karena hutan belantara, alamnya masih bagus. Masih ada harimau, buaya, masih banyak di situ. Bahkan mereka (penduduk Belanda) seiring berjalannya waktu, membangun vila-vila di situ, termasuk vila-vila yang berada di Jalan Pangeran Jayakarta, ke arah Ps. Baru, begitu," katanya ketika dihubungi kumparan beberapa waktu lalu.
Kawasan milik Paviljoen tersebut bahkan sempat disewakan pada warga China yang datang ke Indonesia untuk ditanami tebu, sayuran, dan dijadikan lahan persawahan.
Hawanya yang masih segar, sejuk, dan tanpa batas sangat berbeda dengan kondisi Kota Batavia. Sehingga memberikan kesempatan bagi penduduk Kota Batavia (Kota Tua) yang berpusat di Fatahillah 'terlepas' dari rasa terkungkung karena hidup berbatasan dengan tembok dan benteng.
Pada 1693, seorang pria religius asal Belanda bernama Comelis Chastelein, membeli kawasan milik Anthony Paviljoen tersebut. Ia lantas membangun rumah dengan dua buah kincir angin serta mengganti nama Paviljoenved menjadi Weltevreden.
ADVERTISEMENT
'Weltevreden' berasal dari bahasa Belanda yang berarti "Well pleased" atau sangat memuaskan. Chastelein kemudian mengembangkan perkebunan tebu dan kopi di kawasan miliknya ini dengan mempekerjakan budak tawanan yang telah ia merdekakan (kaum mardijkers).
Tak perlu menunggu lama kemudian muncullah pemukiman-pemukiman baru, seperti Tanah Abang, Gondangdia, Nieuw-Gondangdia, dan Meester Coruelis. Pemukiman tersebut bukan milik penduduk biasa, melainkan kalangan kolonial elit Belanda.
Sangat berbeda dengan Distrik Batavia (Kota Tua) yang banyak dihuni penduduk bumiputera dan masyarakat miskin, di Weltevreden, pemukiman penduduk miskin dan bumiputera tinggal jauh dari jalanan.
Setelah kematian Chastelein, kepemilikan Weltevreden berganti berkali-kali hingga menjelang abad ke-18, dan terjadi perpindahan besar-besaran. Orang-orang berusaha menjauhi kawasan yang lebih tinggi dan rawa-rawa untuk berdomisili.
ADVERTISEMENT
"Pada 1800-an, ketika wabah kolera dan malarea atau yang dikenal juga sebagai malaria muncul, Daendels kemudian membuka Weltevreden menjadi pusat kota dan pusat pemerintahan," jelas pria yang akrab disapa Kang Asep itu.
Di bawah pemerintahan Daendels, Weltevreden dikembangkan jadi pusat pemerintahan menggantikan kota lama di Kasteel Batavia. Seiring waktu, kemudian Weltevreden berkembang pesat, tidak hanya untuk Batavia, melainkan seluruh jaringan kantor dagang dan koloni Belanda.
Mulai dari koloni Belanda yang berada di Deshima (Jepang) hingga Cape Town (Afrika Selatan). Untuk latihan militer, Daendels mengalokasikan lapangan kerbau (Buffelsveld) yang juga dijuluki sebagai Champs de Mars.
Champs de Mars dikelilingi Museum Gajah, Istana Merdeka, dan Stasiun Weltevreden (Stasiun Gambir). Keadaan Weltevreden pun berubah drastis, tempat wisata yang tadinya digunakan untuk menghabiskan akhir pekan dan beristirahat berubah jadi pemukiman, dan perkantoran.
ADVERTISEMENT
Pada masa penjajahan Jepang, kawasan yang dihitung sebagai Weltevreden adalah hampir seluruh daerah Jakarta Pusat saat ini. Bangunan peninggalan sejarah Belanda pun masih dapat kamu temukan di Jakarta Pusat.
Enggak sedikit juga yang akhirnya dialihfungsikan sebagai bangunan untuk operasional Pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Beberapa di antaranya adalah Schouwburg Weltevreden dan Gedung Post Telefon en Telegraf milik Pemerintah Hindia Belanda.
Schouwburg Weltevreden merupakan gedung konser yang berada di kawasan Sawah Besar yang kini lebih dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta. Sementara Gedung Post Telefon en Telegraf adalah kantor pos yang sempat dijadikan sebagai Kantor Pos Pasar Baru sebelum akhirnya dijadikan jadi Gedung Filateli.
Lantas, ke mana masyarakat kolonial Belanda plesiran setelah Weltevreden beralihfungsi jadi pusat pemerintahan?
ADVERTISEMENT
Wah, menarik sekali, ya.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.