Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
KBRI London Tangani Eksploitasi PMI Terlilit Utang Ratusan Juta Rp di Perkebunan
17 Agustus 2022 12:34 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Para korban berangkat ke Inggris dengan jasa unlicensed broker atau agen penyalur tenaga kerja tidak resmi di Indonesia. Mereka pun menemui kesulitan finansial saat mulai bekerja di luar negeri.
Menanggapi laporan yang diunggah di berbagai media tersebut, KBRI London segera turun tangan. Pihaknya berkoordinasi dengan Kemlu, Kemnaker, dan BP2MI.
"[KBRI London] meninjau langsung dan berdialog dengan para PMI di perkebunan, melakukan kunjungan dan berdiskusi dengan pemilik serta manajemen, membentuk satgas khusus KBRI serta mengawal pemulangan para PMI pada saat berakhirnya masa kontrak," bunyi pernyataan resmi KBRI London pada Selasa (16/8).
"KBRI akan terus berkoordinasi dengan pemerintah Inggris dan pihak terkait lainnya untuk memastikan upaya perlindungan hak-hak para PMI dimaksud. KBRI juga terus memelihara komunikasi dengan para PMI dan memastikan ketersediaan Hotline Kekonsuleran," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Kabar mengenai dugaan eksploitasi itu pertama kali diangkat oleh The Guardian pada Minggu (14/8) dan disitir sejumlah media lain.
The Guardian mempublikasikan kesaksian dari salah satu pekerja yang menggunakan nama samaran Banyu. Dia kini bekerja sebagai pemetik beri di perkebunan Clock House di Desa Coxheath, Kent, Inggris.
Krisis Tenaga Kerja Pertanian Inggris
Inggris mengandalkan pekerja musiman dari luar negeri untuk pertanian. Sekitar 2.500 pekerja datang ke negara tersebut dengan mengantongi visa pekerja musiman pada 2019. Tahun ini, jumlahnya diperkirakan akan menyentuh 40.000 orang.
Usai menarik diri dari Uni Eropa (UE), kekurangan pekerja dalam sektor pertanian menghantam Inggris. Kondisi tersebut menyebabkan 8.000 ton buah ceri terbengkalai tanpa dipetik pada 2021.
Situasi hanya semakin diperburuk oleh invasi Rusia ke Ukraina. Sebab, Ukraina menyumbang dua pertiga pemegang visa pekerja musiman di Inggris pada 2021. Hampir 20.000 di antaranya berakhir di pertanian.
Perang lantas membuat para perekrut melirik negara-negara selain Ukraina. Inggris akhirnya menyaksikan lonjakan dalam jumlah pekerja dari Indonesia, Nepal, Vietnam, Kirgistan, dan Kazakhstan.
ADVERTISEMENT
Inggris menjadi salah satu tujuan penempatan PMI pula per 31 Maret 2022. Saat ini, sektor perkebunannya memperkerjakan 1.274 PMI.
Salah satu perkebunan yang memperluas jaringannya ialah Clock House yang memperkerjakan sekitar 1.200 orang setiap musim panen.
Clock House memasok supermarket-supermarket terkemuka dengan stroberi, rasberi, bluberi, prem, dan apel. Pihaknya memiliki klien-klien besar seperti Marks & Spencer, Waitrose, Tesco dan Sainsbury's
Rantai Agen
Sebelum singgah di perkebunan itu, Banyu bahkan sudah menumpuk utang kepada seorang agen di Bali hingga GBP 5.000 (Rp 89 juta). Akibatnya, dia menyerahkan akta rumah keluarga sebagai jaminan.
Kemalangannya berakar dari rantai perantara yang kompleks. Usai kehilangan pekerjaan di awal pandemi corona, Banyu tergiur oleh tawaran dari sebuah organisasi yang memberikan imbalan pekerjaan di luar negeri bagi pendaftar program kursus bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Organisasi tersebut memberikan pelajaran bahasa dasar dengan biaya GBP 550 (Rp 8,9 juta). Seluruh kandidat harus menjalani kursus meskipun sudah fasih berbahasa Inggris.
Sebagian dari mereka tidak dapat membayar biaya kursus, sehingga terdesak untuk meminjam uang kepada agen di Bali. Utang para korban bertumbuh perlahan sejak titik itu.
"Tujuan dari pelatihan itu adalah kita harus membayar," tutur Banyu.
"Kelas ini benar-benar hanya untuk bisnis, bukan untuk mengajar," tambah dia.
Banyu dan rekan-rekannya kemudian diterbangkan ke Jakarta setelah mendapatkan tawaran pekerjaan di Inggris. Mereka diminta menemui seorang agen resmi dari negara tersebut, Douglas Amesz.
Amesz bertanggung jawab mencari pekerja untuk Clock House. Dia adalah direktur pelaksana di AG Recruitment, yakni satu dari empat agen resmi yang diizinkan merekrut melalui skema pekerja musiman.
ADVERTISEMENT
Namun, AG sempat menghadapi kesulitan lantaran tidak memiliki pengalaman terkait di Indonesia. AG lantas meminta bantuan agen perekrutan yang berbasis di Jakarta, Al Zubara Manpower.
Al Zubara sendiri menggunakan perantara di seluruh negeri untuk menggandeng para calon pekerja perkebunan. Calo-calo itu kemudian membebankan dana selangit kepada para kandidat.
Agen mereka bahkan menagih sekitar GBP 1.000 (Rp 17,8 juta) kepada seorang kandidat untuk penginapan saat menemui Amesz di Jakarta.
AG mengungkapkan keprihatinan ketika mendapati kabar tentang tuntutan semacam itu. Pihaknya mengeklaim, Al Zubara tidak menangani perekrutan apa pun.
AG mengaku tidak meminta agensi tersebut untuk mencari perantara lokal lainnya dalam proses perekrutan. Sehingga, pendaftaran dan pengajuan visa pun diselesaikan hanya oleh AG.
ADVERTISEMENT
Amesz juga telah memperingatkan para kandidat untuk tidak mengeluarkan biaya tambahan. Dia menekankan, modus semacam itu merupakan tindakan ilegal. Tetapi, calo-calo lokal telah menyuruh para kandidat untuk tidak melaporkan dana yang mereka minta.
"Saya kira Douglas tidak tahu bagaimana Al Zubara menjalin hubungan dengan agensi lain seperti agensi kami," terang Banyu.
Utang Berkembang Biak
Selama menjalani pelatihan bahasa hingga tiga bulan, Banyu kembali terlilit utang berlapis. Bagaimanapun juga, dia harus menghidupi keluarga dan membeli makan untuk dirinya sendiri.
Banyu terpaksa meminjam GBP 1.600 (Rp 28,6 juta) dari sepupunya. Alhasil, keseluruhan utang Banyu saat menanti panggilan pekerjaan di Inggris itu melebihi GBP 6.100 (Rp 109 juta).
Rekan-rekannya di tempat kerja mengungkapkan kesulitan finansial yang sama. Para pekerja dengan nasib serupa bahkan tersebar luas di perkebunan-perkebunan di seluruh Inggris.
ADVERTISEMENT
Aturan yang berlaku memperbolehkan pengeluaran dana untuk visa dan transportasi agar ditanggung pekerja. Dengan demikian, mereka memikul utang besar bahkan tanpa biaya tambahan.
Utang mereka berkisar GBP 4.400 (Rp 78 juta) - GBP 5.000 (Rp 89 juta) bila turut menghitung bunga. Angka tersebut meliputi biaya pembuatan visa dan penerbangan. Tetapi, ribuan pounds juga membebani mereka berkat layanan-layanan lainnya.
Setibanya di perkebunan, mereka berangsur terjerat dalam rangkaian kesulitan lain. Banyu menerima kontrak tanpa jam kerja ketika dia berjuang memetik buah dengan tangkas di Clock House.
Kontraknya bertentangan dengan aturan bagi pemegang visa pekerja musiman di Inggris. Banyu menjalani bulan pertamanya bekerja pada Juli, sedangkan kebijakan itu telah berlaku sejak April.
Clock House kemudian mengubah kontrak tersebut saat dimintai tanggapan oleh media. Pihaknya kini menjamin minimal 20 jam dengan upah GBP 10,1 (Rp 180 ribu) per jam.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian pekerja masih mencemaskan situasi finansial mengingat musim panen yang akan selesai sebelum visa enam bulan mereka berakhir. Setidaknya satu pekerja menghasilkan kurang dari GBP 300 (Rp 5,3 juta) dalam sepekan setelah membayar akomodasi.
Banyu berusaha bekerja lebih lama menjelang Agustus. Usai dipotong cicilan kepada agennya di Bali, dia dapat menghasilkan sekitar GBP 440 (Rp 7,8 juta) dalam sebulan.
Banyu mengurungkan niat untuk membahas tuntutan biaya selangit dengan agen tersebut karena merasa tidak mampu.
Akibat utang yang mencekik, pendapatan Banyu tergolong sangat rendah berdasarkan standar di Inggris. Tetapi, dia mendapatkan gaji dua kali lipat dari yang dihasilkannya saat tinggal di Bali.
Ketika kehilangan pekerjaan di awal pandemi corona, Banyu menggali terowongan dengan upah GBP 45 (Rp 804 ribu) dalam sepekan.
ADVERTISEMENT
"Sekarang saya bekerja keras hanya untuk mengembalikan uang itu," tutur Banyu.
"Kadang saya stres. Saya kadang tidak bisa tidur. Saya memiliki keluarga yang membutuhkan dukungan saya untuk makan. Dan sementara itu, saya memikirkan utang," lanjutnya.
Kepala Eksekutif Work Rights Centre, Dora-Olivia Vicol, meyakini bahwa pemberian kompensasi akan sulit untuk dicapai oleh pekerja seperti Banyu. Pasalnya, lembaga penegak hukum di Inggris tidak bisa menuntut perekrut ilegal yang terdaftar di luar negeri.
"Untuk mengejar mereka, kita perlu kolaborasi berkelanjutan antara lembaga penegak hukum di Inggris, dan di negara-negara yang memasok perkebunan Inggris dengan tenaga kerja pertanian," papar Olivia.
"Sayangnya, ini bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk dibangun, itulah sebabnya pekerja dari Indonesia, Nepal, dan Asia Tengah—negara-negara yang sebelumnya tidak terlihat oleh lembaga penegak hukum—menghadapi risiko tersendiri sekarang," pungkasnya.
ADVERTISEMENT