Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Kejagung Periksa Karen Agustiawan Terkait Kasus Impor Minyak, Apa yang Digali?
23 April 2025 15:37 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung memeriksa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, terkait dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di subholding Pertamina pada Selasa (22/4) kemarin.
ADVERTISEMENT
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan Karen diperiksa karena pernah menyetujui kontrak kerja sama dengan PT Orbit Terminal Merak semasa menjabat sebagai Dirut.
"Di 2014, itu yang bersangkutan memberikan persetujuan terhadap kontrak yang berlangsung selama kalau nggak salah 10 tahun, terhadap kontrak storage," ujarnya kepada wartawan, Rabu (23/4).
PT Orbit Terminal Merak itu merupakan perusahaan milik anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza, yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Harli menyebut, Karen didalami penyidik seputar alasan pemberian persetujuan kontrak tersebut. Termasuk kerja sama yang dilakukan Pertamina dengan perusahaan milik Kerry itu.
"Nanti akan didalamilah seperti apa aktivitasnya, ya. Tapi kemarin itu karena ada data yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan memberikan persetujuan terhadap kontrak storage, maka ya wajar kalau yang bersangkutan harus diperiksa, dimintai keterangan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Belum ada keterangan dari Karen Agustiawan mengenai pemeriksaannya tersebut maupun perihal perkara yang sedang diusut Kejagung itu.
Dalam korupsi tata kelola minyak mentah yang tengah ditangani Kejagung ini, sembilan orang petinggi subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC dijerat sebagai tersangka.
Selain mereka, tiga tersangka lainnya yakni; Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Kasus ini bermula pada 2018-2023. Untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Sehingga pada akhirnya harus impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS. Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.
Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.
Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.
Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Atas perbuatan para tersangka ini, menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.
Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara yang ditimbulkan perkara korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Jumlahnya diprediksi lebih tinggi, karena angka kerugian sementara itu hanya pada 2023 saja.