Kejaksaan Agung: Gedung yang Terbakar Masuk Kawasan Pemugaran

25 Agustus 2020 14:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Laboratorium forensik (Labfor) dan Inafis tiba di gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar di Jakarta, Minggu (23/8). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Laboratorium forensik (Labfor) dan Inafis tiba di gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar di Jakarta, Minggu (23/8). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Gedung Utama Kejaksaan Agung ludes terbakar pada Sabtu (22/8) malam. Selain penyebab kebakaran yang masih tanda tanya, status bangunan yang terbakar juga menjadi polemik, apakah termasuk cagar budaya atau tidak.
ADVERTISEMENT
Sebab apabila termasuk cagar budaya, pemugaran atau pengembalian kondisi fisik bangunan seperti semula wajib memperoleh izin pemerintah pusat atau pemda sesuai wewenang masing-masing. Hal tersebut terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sementara jika tidak termasuk cagar budaya, pemilik bebas merenovasi bangunan yang rusak.
Kapuspenkum Kejagung, Hari Setiyono, menyatakan gedung yang terbakar memang belum ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 475 Tahun 1993.
"Tahun 1993 ada penunjukan kawasan cagar budaya. Gedung ini (Kejagung) belum termasuk ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya," ujar Hari kepada wartawan, Selasa (25/8).
Foto udara gedung utama Kejaksaan Agung yang terbakar di Jakarta, Minggu (23/8/2020). Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO
Meski demikian, kata Hari, Gedung Utama Kejagung termasuk dalam kawasan pemugaran Kebayoran Baru pada 1973. Adapun merujuk hal tersebut, penetapan dilakukan tahun 1975 berdasarkan SK Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta No. D.IV-6099/d/33/1975 tentang Penetapan Daerah Kebayoran Baru sebagai Kawasan Pemugaran.
ADVERTISEMENT
"Sesuai data tahun 1973 kawasan pemugaran antara lain masuk dalam Gedung Utama Kejagung. Lingkungan Kejagung terdiri dari beberapa gedung, salah satunya gedung utama," kata Hari.
Menurut Hari, perlakuan gedung yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan kawasan pemugaran sama saja. Ia mencontohkan ketika Kejagung merenovasi kecil-kecilan gedung tersebut, pihaknya mendapat teguran dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
"Ketika kami bermaksud bersih-bersih dan tambah aksesoris terhadap gedung itu kami mendapat teguran dari Kepala Dinas Pariwisata bahwa agar (renovasi) dilaporkan dan dibuat berita acara. Kami waktu itu hanya menambah aksesoris yang tidak mengubah bentuk gedung utama itu pun kami dapat teguran dari Dinas Pariwisata," ucapnya.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Hari Setiyono. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara mengenai proses renovasi gedung, Hari menyatakan harus melalui beberapa mekanisme, salah satunya meminta pertimbangan Balai Pelestarian Cagar Budaya dan ahli bangunan. Setelah itu, kata dia, masuk dalam tahap pembiayaan.
ADVERTISEMENT
"Kalau boleh perkiraan nanti ahli akan mengatakan struktur bangunan yang sudah terbakar apakah masih kuat atau tidak, kami serahkan ahlinya. Apakah dibangun dengan tetap pertahankan struktur yang ada tergantung penilaian, atau dibentuk bangunan baru tanpa mengubah model lama bisa terjadi seperti itu. Kami serahkan mekanisme perlakuan cagar budaya," tutupnya.