Kejaksaan Ungkap 9 Modus Korupsi Proyek Satelit Kemhan 2012-2021, Seperti Apa?

15 Juni 2022 15:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Kejaksaan Agung RI
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Foto: Kejaksaan Agung RI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kejaksaan Agung membeberkan modus dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Satelit Slot Orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021. Dalam kasus ini, Tim Koneksitas menjerat 3 orang sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Tim Penyidik Koneksitas ini terdiri dari Jaksa Penyidik pada Bidang Pidana Militer Kejaksaan Agung; Penyidik dari POM TNI; dan Oditurat Militer Tinggi II Jakarta.
Salah satu tersangka berasal dari unsur TNI. Yakni mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda TNI (purn) berinisial AP.
Dua tersangka lainnya ialah Direktur Utama PT Dini Nusa Kesuma Surya Witoelar dan Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma, Arifin Wiguna. Ketiganya diduga melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 500.579.782.789.
Kerugian negara tersebut berasal dari pembayaran sewa satelit dan putusan arbitrase sebesar Rp 480.324.374.442 dan pembayaran konsultan sebesar Rp 20.255.408.347. Kerugian negara ini berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Tersangka Laksamana Muda (Purn) AP bersama-sama dengan Tersangka SCW dan Tersangka AW secara melawan hukum merencanakan dan mengadakan kontrak sewa satelit dengan pihak Avanti," kata Direktur Penindakan JAMPidmil pada Kejaksaan Agung, Brigjen TNI Edy Imran, dalam konferensi pers, Rabu (15/6).
Ilustrasi satelit. Foto: Adim Sadovski/Shutterstock
Permasalahan ini bermula ketika Satelit Garuda 1 yang keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada tanggal 19 Januari 2015. Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
Kemhan disebut kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan. Padahal, Kemhan tidak mempunyai anggaran untuk itu.
Pada saat itu, ada satelit Artermis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya 2019. Kemhan lantas menyewa satelit Artemis dengan nilai sewa USD 30 juta. Avanti akan menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016.
ADVERTISEMENT
Pengisian sementara itu sambil menunggu pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Dalam pembangunan itu Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada 2015-2016.
Belakangan, Avanti menggugat Kemhan di London Court of International Arbitration (LCIA) atas dasar kekurangan pembayaran sewa. Negara bahkan harus membayar Rp 515 miliar karena gugatan itu.
Tahun 2018, Kemenhan lalu mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada 10 Desember 2018, pengisian orbit itu diserahkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (DNK).
Namun, PT DNK disebut tidak bisa menyelesaikan masalah yang tersisa dari Kemhan yang menjadi ganjalan dalam pengadaan satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).
Lantas apa saja dugaan modus korupsi dalam kasus ini?
ADVERTISEMENT
Berikut paparan Edy Imran:
ADVERTISEMENT