Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Masyarakat Uighur di Xinjiang, China tengah menjadi sorotan dunia. Komunitas Uighur, yang terdiri dari orang-orang Muslim, dikurung oleh pemerintah China dalam kamp-kamp konsentrasi yang tersebar di Xinjiang.
ADVERTISEMENT
Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah, Muhyiddin Junaidi menceritakan pengalamannya selama di sana. Menurutnya, ada beberapa hal yang mencurigakan.
"Kami delegasi ormas-ormas Islam Indonesia dari Muhammadiyah, PBNU dan MUI jumlahnya 15 orang. Masing-masing ormas mengirim 5 orang dan 3 wartawan dari media cetak dan elektronik. Diundang oleh Kedubes China untuk Indonesia, berkunjung ke Xinjiang Autonomy Region," kata Junaidi di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (16/12).
"Sampai di Beijing, kami biasalah berkunjung, bersilaturahmi dengan Bapak Dubes. Kemudian ada ceramah malam dan makan malam. Dia pun memberikan gambaran soal Xinjiang Uighur Autonomy Region tersebut," sambung Junaidi.
Setelah itu, ia juga bertemu dengan CIA (China Islamic Association) yang kebetulan baru atau asosiasi muslim China. Setelah itu, ia langsung menceritakan ketibaannya di Xinjiang. Di sini, menurutnya hal-hal aneh mulai ia cium.
ADVERTISEMENT
Kecurigaan berawal saat ia meminta untuk salat berjamaah ke masjid terdekat. Saat itu, Waketum CIA berkilah, masjidnya berjarak dan cuaca sedang tidak bagus.
"Secara singkat kami sampaikan bahwa saat kami tiba di ibu kota dari Xinjiang Uighur itu sudah hampir pukul 08.00 WIB malam (waktu setempat). Kemudian jamuan makan malam, kami minta agar wakil Ketua CIA membawa kami untuk salat berjamaah. Tapi oleh beliau dikatakan masjidnya di sini agak jauh, dan kami susah membawa Anda ke sana karena suhu udara yang memang sangat dingin-17 derajat," jelasnya.
Keanehan lainnya yakni saat Junaidi sampai di kamar hotel. Menurutnya, arah kiblat di sana tidak jelas. Padahal, di negara lainnya petunjuk kiblat itu sudah jelas.
ADVERTISEMENT
"(Saat) kami masuk ke hotel, memang sudah ada direction of qiblat di tiap kamarnya. Tapi nampak jelas yang asli dan yang baru dibikin itu berbeda. Yang seperti Anda temukan di Indonesia dan beberapa negara Islam biasanya arah kiblat itu sudah tetap definitif jelas. Kami mulai curiga," kata dia.
Kejanggalan selanjutnya, ketika seorang jurnalis ingin membeli sebungkus rokok. Saat itu, ia menceritakan ada petugas yang menghadang jurnalis itu untuk membeli rokok. Bahkan, petugas itu memberikan rokok kepada sang wartawan agar ia tidak keluar dari hotel.
Tak pantang asa, wartawan ini mencoba untuk keluar lagi. Kali ini, ia beralasan ingin membeli air. Namun, lagi-lagi petugas justru memberikan air agar sang wartawan tidak pergi ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
"Ketiga, seorang wartawan yang ikut kami ingin membeli rokok ternyata di depan diadang (oleh petugas dan ditanya) 'where are you going?' (kemudian dijawab) 'mau beli rokok,' akhirnya 'oke saya (petugas yang adang bertanya lagi) mau beli apalagi? mau beli minum? Itu (petugas yang mengadang) berikan airnya dikasih kemudian rokoknya dikasih kemudian membakar rokoknya dikasih," cerita dia.
"Setelah itu kawan wartawan kembali. Dia sudah kehabisan akal," tambahnya.
Junaidi kembali menceritakan keanehan lainnya. Hal ini saat dia berkunjung ke museum tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Uighur terhadap masyarakat sipil di Xinjiang.
Kala itu, ia merasakan keanehan saat foto-foto yang terpampang di sana memberikan gambaran terkait penindasan yang dilakukan oleh kaum Uighur terhadap warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun, ia tidak mampu memastikan apakah gambar-gambar itu asli atau tidak.
"Jadi gambar yang ditampilkan saya tidak tahu, apakah itu betul apakah kekerasan yang dilakukan Uighur dan lain sebagainya. Tapi dari nama, itu nampak jelas bahwa mereka orang Uighur yang sudah terpapar paham radikal dan sudah melakukan tindak kekerasan kerja sama ISIS. Jadi dari awal sampai satu jam dijelaskan sedemikian rupa," jelas Junaidi.
Pengalaman aneh lainnya yang ditemui Junaidi, yaitu saat ia berkunjung re-education di Xinjiang. Di sana, penghuni tidak boleh melaksanakan kegiatan agama.
"Jadi selama re-education tidak boleh salat, baca Al-Quran, tidak boleh puasa, makan apa adanya yang disajikan oleh pemerintah. Itu CCTV every corner. Jadi kalau China mengembangkan artificial intelligence, saya pikir dari situ semua bisa terkontrol," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Ia pun menyampaikan hal tidak wajar ini kepada Wakil Ketua CIA. Jawaban yang didapat pun unik. Ia menjelaskan jika di sana melaksanakan salat itu digabung pada suatu waktu.
"Dia bilang jadi salatnya dirapel 8 bulan, satu bulan, satu minggu. Jadi kalau orang berada di re-education center itu salatnya dirapel. Itu versi mereka boleh saja," tuturnya.
Atas pengalaman dan kejadian tersebut, ia menceritakannya kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi. Ia berharap agar pemerintah China membuka ruang kebebasan bagi warga Uighur untuk melaksanakan ibadah secara bebas.
"Setelah kami kembali, kami sampaikan hasil itu kami sampaikan ke Menlu Bu Retno. Ada beberapa poin antara lain kami minta kepada pemerintah China agar memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah secara terbuka karna itu dijamin oleh piagam PBB. Kami serahkan ke Bu Retno," tutupnya.
ADVERTISEMENT