Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kekecewaan Fauzan karena Induk Karatenya Tak Diakui KONI
26 Juli 2018 11:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang pemuda dari Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berhasil menghentak dunia. Dialah Fauzan Noor , pemuda berusia 20 tahun yang berhasil menjadi juara dunia karate tradisional pada kejuaraan WASO World Championship bulan Januari 2018 lalu di Ceko.
ADVERTISEMENT
Ditemui di sela-sela latihannya di Jakarta, Selasa (24/7), Fauzan berbagi cerita menarik ketika mengikuti kejuaran karate tingkat dunia di benua biru. Dalam sesi latihan itu, Fauzan ditemani pelatihnya, Mustafa.
Fauzan adalah atlet di bawah naungan organisasi FKTI (Federasi Karate Tradisional Indonesia) yang belum diakui KONI. Induk Organisasi Olahraga tertinggi di Indonesia itu hanya mengakui satu induk organisasi karate yakni Federasi Olahraga Karatedo Indonesia (FORKI) yang selama ini dikenal sebagai wadah olahraga karate umum modern. Sebelum terbelah, olahraga karate di Indonesia berada dalam satu wadah, yakni Institut Karatedo Indonesia (Inkai).
Menurut Mustafa, perbedaan antara karate tradisional dan umum terletak pada sistem tarung. Untuk diperbolehkan bertarung dalam karate tradisional, harus mencapai sabuk hitam terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
“Perbedaannya jelas. Untuk tradisional sendiri pertama sistemnya tanpa kelas. Jadi harus sabuk hitam yang boleh tarung bebas karena tahapan kami adalah belajar basic dulu. Nah nanti kalau dia sudah mampu, (umur) 17 tahun sabuk hitam itulah disebut matang menguasai kemampuannya. Jadi sebelum itu tidak boleh ditarung,” papar Mustafa.
Karena FKTI tak menjadi anggota KONI, Fauzan harus merogoh kocek untuk mengurus keperluannya sendiri. Seperti membuat paspor, visa, dan segala keperluannya selama di Ceko.
Akhirnya, atas keinginan yang kuat untuk menjadi atlet profesional, serta dukungan Mustafa, sang pelatih yang selama ini setia mendampinginya, ia memutuskan untuk tetap berangkat.
Perjuangan yang ia lalui cukup berat. Berbekal pinjaman uang-- salah satunya memakai uang tabungan ibunya yang bekerja sebagai tukang pijat keliling—Fauzan akhirnya mampu membuat paspor.
ADVERTISEMENT
“Meski saya atlet, gaji sebagai karyawan di Indomaret tak mencukupi untuk membuat paspor. Gaji cukup untuk beli kebutuhan sehari-hari. Bahkan uang jajan masih sering diberi orang tua, bapak saya yang kerja sebagai buruh bangunan,” ujar Fauzan.
“Akhirnya dengan modal semangat dan uang hasil pinjaman untuk bikin paspor ke luar negeri, kami bisa berangkat ke Ceko mengikuti pertandingan karate tingkat dunia, dan akhirnya bisa juara satu,” ucapnya bangga.
Meski begitu, bukan berarti juara dunia menjadi ujung dari karier Fauzan di dunia karate. Menjadi juara tingkat dunia justru menjadi pelecut semangatnya untuk terus mengukir prestasi.
ADVERTISEMENT
Sejumlah agenda pertandingan karate baik lokal maupun internasional akan terus ia ikuti. Antara lain kejuaraan nasional Menpora Cup di Palu pada Oktober 2018. Lalu beberapa agenda kejuaraan lainnya, masih di tahun 2018.
“Beberapa agenda pertandingan karate kami sudah siap untuk mengikuti, tetapi persoalannya kami dihantui soal biaya dan dana untuk ikut. Sebab FKTI yang menaungi kami tak memiliki dana untuk itu, sedangkan mau meminta bantuan ke KONI jelas susah, karena bukan anggota, ini dilema kami,” lirihnya.
Persoalan induk organisasi mau tidak mau memang menjadi pangkal kendala yang dialami oleh Fauzan. Sebagai induk olahraga yang tidak bernaung dengan KONI, FKTI kesulitan mengurus segala tetek bengek yang diperlukan untuk mengikuti kejuaraan internasional, dalam hal ini tentu saja soal anggaran dan pemberian bonus kemenangan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, yang muncul adalah opini bahwa pemerintah berlaku tidak adil. Karena di saat yang bersamaan, Zohri, atlet lari asal NTB, memperoleh banyak penghargaan dan bonus dari pemerintah. Zohri berhasil menjadi juara dunia lewat prestasinya di kejuaraan lari 100 meter U-20.
Sesmenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, pihaknya bukan berlaku tidak adil pada atlet. Melainkan kegiatan Fauzan bersama FKTI yang tidak terpantau.
"Bukan (Kemenpora) tidak adil antara Zohri dan Fauzan, tapi karena (FKTI) tidak lapor ke kami. Jadi kami imbau ke atlet apa pun, lapor ke Kemenpora," kata Gatot saat ditemui di Lantai 3 Gedung Kemenpora, Senin (23/7).
Meski begitu, Fauzan harus rela menerima bonus lebih kecil ketimbang Zohri yakni Rp 40 juta berbanding dengan Rp 250 juta. Penyebabnya, lagi-lagi soal induk organisasi ditambah status karate tradisional sebagai olahraga rekreasi, bukan olahraga prestasi.
ADVERTISEMENT
Gatot mengakui, olahraga prestasi memang lebih diprioritaskan ketimbang olahraga rekreasi.
“Selama ini publik lebih concern kepada lembaga prestasi, karena yg dihitung publik itu perolehan medali, juara atau enggak, nah itulah pentingnya olahraga prestasi. Bukan berarti kami mengabaikan olahraga rekreasi atau pendidikan wong sama-sama harus diatur oleh UU. Tapi kan harus ada skala prioritas. Kalau skala prioritasnya di pretasi ya otomatis anggaranya lebih banyak,” jelas Gatot.
Hal ini bukannya tidak disadari oleh FKTI. Mereka sudah berupaya agar organisasinya diakui oleh KONI. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah peleburan antara FKTI dan FORKI, walaupun menurut Ketua FKTI Zudan Arif Fakhrulloh, itu sulit untuk terwujud.
“Di Indonesia harusnya keduanya di kembangkan dengan FORKI dan FKTI, semuanya masuk KONI. Bagaimana caranya agar organisasinya dibentuk gabungan Karate Nasional Indonesia yang membawahi karate umum dan karate tradisional,” ujar Zudan.
ADVERTISEMENT
Harapan sama juga diucapkan oleh Mustafa, pelatih Fauzan. Dia merasa kendala yang kerap membelitnya adalah soal dana ketika mempersiapkan atlet binaannya. Untuk itu ke depan dirinya berharap ada pembenahan di organisasi olahraga terutama karate tradisional.
“Sudah waktunya lah karate tradisional harus sejajar bisa dapet pendanaan.Harapannya kami semakin berkembang, Fauzan-Fauzan yang lain juga bekembang, karena potensi atlet di daerah saya (Banjarmasin) seperti Fauzan ini sangat banyak,” katanya.
Senada dengan sang pelatih, ke depannya Fauzan meminta agar karate tradisional bisa diakui oleh KONI dan tidak diperlakukan berbeda dengan karate umum.
“Semoga karate tradisional bisa masuk dalam KONI agar bisa berkembang di berbagai daerah maupun negara dan bisa mengharumkan nama daerah dan negara juga,” pungkas Fauzan.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya perjuangan para juara dunia dalam topik Zohri dan Juara Dunia .