Kekejaman Tentara Nigeria saat Paksa Aborsi 10 Ribu Wanita Korban Boko Haram

8 Desember 2022 17:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tentara Nigeria. Foto: Audu Marte / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentara Nigeria. Foto: Audu Marte / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Investigasi kantor berita Reuters menemukan pemaksaan aborsi kepada lebih dari 10 ribu kehamilan yang sistematis dilakukan oleh militer Nigeria sejak 2013.
ADVERTISEMENT
Perempuan-perempuan yang diselamatkan dari kelompok militan Boko Haram dipaksa untuk melakukan aborsi dengan pil dan suntikan. Tindakan itu mengakibatkan dampak serius terhadap kesehatan mereka.
Dalam laporan yang diterbitkan pada Kamis (8/12) tersebut, Reuters mewawancarai 33 orang perempuan dan anak perempuan korban aborsi paksa.Mereka mengaku dipukuli, dicambuk, diikat, ditodong senjata, dan dibius agar bersedia untuk melakukan aborsi.
Sebelumnya, mereka hamil setelah diculik dan diperkosa oleh anggota kelompok militan Boko Haram. Usai berhasil dibebaskan Boko Haram, para perempuan itu berhadapan dengan ancaman aborsi paksa.
Ilustrasi tentara Nigeria. Foto: Audu Marte / AFP
Padahal pemaksaan aborsi merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena dilakukan tanpa persetujuan dan kehendak bebas dari perempuan.
Salah satu tentara Nigeria memberikan kesaksian bahwa ia dan tentara lainnya melakukan prosedur aborsi untuk menyelamatkan perempuan dan anak yang akan lahir tersebut dari stigmatisasi.
ADVERTISEMENT
“Kami melakukan prosedur semacam ini kepada mereka untuk menyelamatkan mereka dari stigma atau masalah yang akan muncul di masa depan,” kata tentara yang enggan disebutkan namanya seperti dikutip dari Reuters.
“Biasanya kami membiarkan mereka ditahan dengan mengikat kaki dan tangan mereka di tempat tidur. Jika mereka gelisah di tempat tidur, kami tidak dapat melakukan prosedur, kami biasanya memberi mereka obat penenang ringan sehingga mereka akan tidur," lanjutnya.
Ilustrasi tentara nigeria memegang bendera Boko Haram. Foto: Reuters/Emmanuel Braun
Prosedur yang dilakukan jauh dari standar aman yang telah ditetapkan. Dalam keterangan salah satu tentara, mereka menggunakan pil dan melakukan operasi bedah yang dapat meningkatkan risiko kesehatan terhadap ibu.
Para tentara tersebut mengatakan bahwa mereka tidak dapat menolak perintah tersebut.
“Saya tahu itu adalah dosa terhadap kemanusiaan, dan terhadap Tuhan. Itu tidak diperbolehkan dalam agama saya. Saya merasa sangat buruk tentang hal itu. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan, karena perintah,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT

Risiko Kesehatan Membayangi Perempuan Nigeria

Seorang ibu di Nigeria. Foto: AFP/PIUS UTOMI EKPEI
Beberapa risiko yang dapat muncul dari aborsi tersebut yaitu menyebabkan perempuan dalam kondisi lemas akibat kehilangan banyak darah dan terluka selama proses aborsi.
Menurut Konsultan Kebidanan Inggris yang berspesialisasi di kesehatan ibu Afrika Timur Andrew Weeks, menyebut perempuan Nigeria yang dipaksa aborsi berada dalam kondisi kurang gizi dan tidak sehat. Sebab, mereka diculik dan diperkosa oleh kelompok militan Boko Hama.
Tidak hanya itu, proses aborsi seharusnya dilakukan dengan hati-hati dan diawasi secara ketat oleh tenaga medis terlatih.
“Suntikan tiba-tiba yang tidak terkendali berisiko kontraksi rahim yang tidak terkendali dan terus menerus, yang dapat menyebabkan rahim pecah, mengakibatkan pendarahan internal yang parah dan risiko besar bagi kehidupan perempuan tersebut,” kata dokter kandungan-ginekologi Inggris yang berspesialisasi dalam perawatan aborsi Benjamin Black.
ADVERTISEMENT
Penggunaan obat misoprostol dan mifepristone oleh tentara Nigeria juga menyebabkan pendarahan hebat pada ibu. Aborsi di Nigeria yang diakhiri aspirasi vakum manual atau pelebaran dan kuretase (D&C) dilakukan tanpa adanya dokter spesialis. Hal ini dapat meningkatkan risiko kesehatan serius, khususnya bagi anak-anak perempuan.
Reuters juga menemukan bahwa program aborsi secara sistematis mulai dilakukan di masa pemerintahan Presiden Goodluck Jonathan dan dilanjutkan oleh Presiden Muhammadu Buhari yang berkuasa saat ini.
Penulis: Thalitha Yuristiana.