Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Cinta membuat orang mabuk kepayang. Itu di awal. Setahun kemudian, tak selalu begitu.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2017, tercatat setidaknya 9 kasus pembunuhan di antara pasangan suami-istri. Jika bukan suami yang membunuh istrinya, ya istri yang membunuh suaminya.
Menutup tahun, Desember 2017, Muhammad Kholili membunuh Siti Saidah , perempuan yang kurang lebih 2 tahun ia nikahi dan memberinya seorang putra. Tak cukup membunuh, Kholili juga memutilasi Saidah--lalu membakar potongan tubuhnya. Sungguh mengerikan.
Cekcok soal tuntutan membeli mobil yang berkembang ke masalah “downgrade” merek susu anak dan dugaan penghinaan terhadap orang tua Kholili, diduga menjadi pemicu tragedi di malam 4 Desember 2017 itu.
Dugaan tersebut sesuai dengan bukti yang ditemukan polisi sepanjang penyidikan. Meski demikian, Kasat Reskrim Karawang AKP Maradona menyakini pembunuhan tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi ledakan emosi dari keributan-keributan kecil yang akarnya tak pernah diselesaikan oleh pasangan Kholili-Siti.
ADVERTISEMENT
Kholili mengaku kerap bertengkar dengan Siti karena banyak permintaan istrinya yang tak mampu dia penuhi.
Psikolog forensik Kombes Drs. Arif Nurcahyo S Psi, MA mengatakan, faktor ekonomi memang kerap memicu pertengkaran pasangan--yang lalu bisa berujung kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Tapi sesungguhnya, persoalan utama ada pada ego masing-masing.
Selain soal ekonomi, perselingkuhan juga menjadi faktor penyumbang KDRT yang berujung pembunuhan .
“Perselingkuhan cukup signifikan dalam memengaruhi kondisi psikologis pasangan, di mana merasa harga diri dilecehkan, kesetiaan dikhianati,” tutur Arif.
Pengkhianatan dan perasaan dilecehkan ini dapat menyebabkan pasangan kehilangan kepercayaan, rasa sayang, dan cinta. Lebih ekstrem, rasa cinta itu kemudian berubah menjadi kebencian yang memicu terjadinya tindak kejahatan.
Nurliah di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, misalnya menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi suaminya yang memiliki istri kedua. Dia juga mengatakan sang suami, Abdul Waris yang juragan kuda di daerah itu, sering memperlakukannya dengan kasar.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Nurliah yang korban KDRT menjelma menjadi pelaku KDRT. Ia membalas dendam dengan meminta orang membunuh suaminya sendiri.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, KDRT adalah kondisi yang menyebabkan seseorang di dalam keluarga merasa teraniaya, terancam, dan tidak terlindungi.
Kondisi tersebut menandakan adanya ketidakadilan atau ketimpangan dalam hak dan kewajiban antar-anggota keluarga.
Alih-alih membunuh suami, perempuan teraniaya bisa melaporkan tindak KDRT yang ia terima, dan menuntut sang suami dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pasal 1 ayat 1 UU tersebut menyebutkan, “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
ADVERTISEMENT
Dalam UU tersebut, dijelaskan rinci jenis-jenis KDRT, mulai kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran rumah tangga. Pasal 16 UU ini juga jelas menyebut hak korban untuk menerima perlindungan sementara sejak pelaporan tindak KDRT yang ia terima.
Jadi, berdasarkan UU KDRT tersebut, korban yang melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan pasangannya seharusnya mendapat perlindungan.
Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya dialami istri, tapi juga suami atau anak. Tapi, menurut Mariana, suami yang menjadi korban KDRT biasanya memiliki ruang lebih besar untuk dibela.
“Perempuan lebih rawan dihakimi masyarakat. Sementara lelaki bisa langsung menceraikan saja,” kata Mariana.
Yang membuat susah, lanjutnya, KDRT sering dianggap urusan pribadi dalam rumah tangga seseorang yang tidak selayaknya dicampuri orang lain.
ADVERTISEMENT
“Padahal kalau sudah ada ancaman, bahkan nyaris terbunuh atau nyaris gila, itu sudah urusan negara, urusan tetangga, karena seseorang akan tercabut nyawanya. Dan jika kita tidak menolong, maka kita membiarkan kejahatan di dalam rumah itu,” kata Mariana.
Persepsi itulah, menurut Mariana, yang perlu disosialisasikan ke tengah masyarakat.
“Kalau di luar negeri, di negara-negara maju, kan ada call center untuk KDRT. Jadi polisi bisa turun tangan, menggedor rumah itu untuk mengecek apakah kondisi salah satu anggota keluarga tak aman.”
Layanan semacam itulah yang belum tersedia di Indonesia. Sementara Komnas Perempuan yang bersifat nasional hanya memiliki kantor di Jakarta.
Maka layanan darurat KDRT penting untuk diwujudkan. Terlebih, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, terdapat 5.784 kasus kerasan terhadap istri sepanjang 2016.
ADVERTISEMENT
Data tersebut baru mencakup kasus-kasus yang dilaporkan. Sementara masih banyak perempan justru takut untuk melapor. Mereka khawatir, jika mengadukan tindakan kasar sang suami, maka dialah yang akan balik disalahkan.
“Karena suka disalahin seperti ‘Ibunya kali cerewet, makanya ibunya jangan suka nuntut, jadi suaminya marah.’ atau dibilang ‘Ibu bisa sabar sedikit kali ya, supaya Bapak nanti gak marah-marah,’” kata Mariana mencontohkan ucapan-ucapan bernada menghakimi itu.
Ironisnya, kekerasan dalam rumah tangga tak selalu terjadi karena rasa cinta telah hilang di antara pasangan suami-istri.
“Dalam beberapa kasus, KDRT terjadi pada orang yang sangat mencintai pasangannya, tapi mengekspresikan secara tidak dewasa. Akhirnya menjadi posesif dan dominan, sehingga pasangan justru menjadi tidak nyaman,” kata Arif Nurcahyo, psikolog di Universitas Gadjah Mada, kepada kumparan, Rabu (3/1).
ADVERTISEMENT
Menurut Arif, setiap orang memiliki kondisi psikologis yang khas, termasuk pelaku KDRT yang cenderung dominan, superior, dan kadang posesif, namun punya daya kendali diri yang rendah dan suasana hati mudah berubah. Benar-benar tak stabil.
Di sisi lain, batas rasa sakit setiap orang juga berbeda. Artinya, ukuran KDRT yang membahayakan akan berbeda pula pada tiap orang.
Namun sebelum KDRT menjurus pada bahaya besar, mediasi harus segera dilakukan demi keselamatan bersama.
“Sepanjang tidak membahayakan diri dan orang lain, masih ada harapan dan kesadaran diri terhadap tujuan bersama yang lebih baik. Pada akhirnya, manajemen risiko menjadi referensi sejauh mana seseorang memilih bertahan,” tutur Arif.
Jangan tunggu sampai batas bahaya itu terlewati, dan cekcok berbuah petaka.
ADVERTISEMENT