Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Keluhan Pengusaha Soal Pengembangan Proyek Energi Terbarukan
9 Mei 2017 19:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggelar diskusi tentang dua Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 dan Nomor 12 Tahun 2017 tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual beli tenaga listrik, dan pemanfaatan sumber energi baru terbarukan (EBT) untuk penyediaan tenaga listrik.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi yang digelar sejak pukul 14.00 WIB ini, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengumpulkan sekitar 100 pelaku industri EBT, terutama perusahaan produsen listrik dari EBT.
Hadir di antaranya Pertamina Geothermal Energy (PGE), Chevron Geothermal, Supreme Energy, dan sebagainya. Selain itu, ada asosiasi-asosiasi seperti Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan Asosiasi Pengembang PLTA.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang PLTA, M Riza Husni, mengaku pelaku usaha masih kesulitan mengembangkan EBT karena sulitnya mencari pendanaan dari bank lokal yang bunganya mencapai 11 hingga 12 persen per tahun.
Padahal, return on investment (ROI) juga mencapai 11 persen. Sehingga, kata dia, untung untuk perusahaan tergerus bunga. Sementara untuk mencari pendanaan dari bank asing, juga sulit karena persyaratan yang cukup ketat. Terutama soal penghasilan dari pembangkit yang semuanya dalam rupiah.
ADVERTISEMENT
"Bank-bank asing susah kalau transaksinya pakai rupiah, mereka ingin pakai dolar karena itu lebih visible buat mereka. Jadi investasi dan penghasilan lebih mudah menghitungnya karena sama-sama dolar," kata Riza di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (9/5).
Selain itu, Riza juga mengkritisi masalah besaran biaya pokok (BPP) yang diatur dalam Permen ESDM 12/2017. Menurut dia, BPP seharusnya tidak ditentukan dari transaksi di pembangkit, tapi di titik penjualan.
"Misalnya PLN punya sumber listrik di kota medan, kemudian dikirim ke Simalungun, harganya sudah Rp 1.400/kWh, kalau mau produksi di situ kan oke harganya segitu. Tapi kalau di Medan harga segitu kan tidak menarik, jadi semoga bisa diakomodir masukan kami ini," tutur Riza.
Dalam aturan ini, Kementerian ESDM membatasi harga listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas paling tinggi hanya 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) listrik di daerah tempat beroperasinya pembangkit listrik EBT tersebut.
ADVERTISEMENT
Misalkan BPP setempat sebesar Rp 2.000/kWh, maka PLN membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga semahal-mahalnya Rp 1.700/kWh.
Menjawab keluhan tersebut, Arcandra mengklaim sudah banyak bank asing yang berminat mendanai proyek EBT. Jadi, kata dia, masalah itu tergantung usaha dari perusahaan dalam meyakinkan peminjam, karena memang aturannya semua transaksi di Indonesia harus dalam rupiah.
"Bapak investasi sebagian besar pakai rupiah atau dolar? Rupiah kan? Anda investasi pakai rupiah, dibayar pakai rupiah. Ada kok bank asing yang bisa berikan bunga 2 persen," kata Arcandra.
Dalam diskusi yang berjalan lebih dari 3 jam itu, Arcandra berjanji akan menampung masukan-masukan yang baik dari para pengembang EBT, dan ada kemungkinan juga akan merevisi Permen.
ADVERTISEMENT
"Permen ini man made product. Apakah mungkin Permen ini diubah? Mungkin saja. Tapi saya mau lihat dulu masalahnya di mana. Kalau masalahnya pendanaan, saya cari lender-nya. Kalau masalahnya mau ROI yang lebih tinggi, saya enggak bisa bantu," ujarnya.