Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Kemhan Kalah Gugatan Arbitrase Satelit Slot Orbit 123, Apa yang Bisa Dilakukan?
17 Januari 2022 15:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
ADVERTISEMENT
Permasalahan proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur kini menjadi perhatian publik. Kejaksaan Agung menduga adanya korupsi dalam proyek pada tahun 2015 itu.
ADVERTISEMENT
Perkara ini sudah masuk tahap penyidikan. Penyidik menduga telah terjadi korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara lebih dari Rp 500 miliar.
Dugaan kerugian negara itu terkait dengan gugatan terhadap Kemhan di Pengadilan Arbitrase internasional. Setidaknya ada dua putusan arbitrase di London dan Singapura yang menyatakan Kemhan harus membayar sejumlah uang.
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, menilai permasalahan pengadaan Satelit untuk Slot Orbit 123 terkait dua kasus yang berbeda. Namun, sama-sama berujung gugatan arbitrase.
Kasus pertama adalah pengadaan Satelit yang bersifat sementara dengan tujuan Indonesia tidak kehilangan Slot Orbit 123 usai tidak berfungsinya Satelit Garuda-1. Pihak penyedia Satelit adalah Avanti Communication Limited.
Avanti kemudian menggugat Kemhan di London Court of International Arbitration (LCIA) atas dasar kekurangan pembayaran sewa.
ADVERTISEMENT
Kasus kedua adalah pengadaan satelit yang sebenarnya untuk mengisi Slot Orbit 123 secara permanen. Penyedia Satelit yang kemudian bekerja sama dengan Kemhan adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel, dan Telesa.
Terkait kasus kedua ini, Kemhan digugat Navayo di Pengadilan Arbitrase Singapura karena wanprestasi kontrak.
"Untuk dua kasus yang sama-sama telah diputus baik di London maupun Singapura maka ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/1).
Hikmahanto menyebut upaya hukum pertama yang bisa ditempuh adalah proses pembatalan putusan arbitrase.
"Inti dari proses hukum ini bukanlah banding sehingga tidak memasalahkan substansi yang diperkarakan. Proses hukum ini terkait dengan prosedural dalam berarbitrase," ujar dia.
Menurut dia, upaya hukum tersebut harus dilakukan di pengadilan di mana putusan arbitrase diputus. Terkait arbitrase diputus di London maka harus diajukan ke Pengadilan London. Alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris.
ADVERTISEMENT
"Namun karena putusan telah dijatuhkan di tahun 2018 menjadi permasalah apakah hukum Inggris memungkinkan untuk melakukan proses pembatalan saat ini," kata Hikmahanto.
Merujuk pada pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, Pengadilan Arbitrase di London menjatuhkan putusan bahwa Negara harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar. Alhasil, Negara pun mengeluarkan pembayaran dengan nilai Rp 515 miliar.
Sementara gugatan di Singapura yang diputus pada 22 Mei 2021, Kemhan diwajibkan membayar USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) kepada Navayo. Hikmahanto menilai putusan itu masih mungkin diajukan upaya hukum.
"Hal ini masih memungkinkan mengingat putusan dijatuhkan pada bulan Mei 2021. Bila Pengadilan memutus bahwa putusan arbitrase dibatalkan maka konsekuensinya adalah proses arbitrase harus diulang," ujar Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Terhadap putusan arbitrase yang telah dibuat maka konsekuensinya tidak dapat diminta untuk dipaksakan oleh Pengadilan negara mana pun," sambung Rektor Universitas Jenderal A. Yani ini.
Selain pembatalan putusan, upaya hukum lainnya yang dianggap bisa dilakukan ialah penolakan untuk melaksanakan putusan arbitrase. Menurut Hikmahanto, penolakan ini dilakukan oleh pengadilan di mana aset pihak yang kalah berada. Dalam hal ini ialah di Pengadilan di Indonesia.
"Untuk diketahui dalam perkara perdata, baik di pengadilan maupun arbitrase, sebuah putusan hanya memiliki makna menang di atas kertas," kata Hikmahanto.
Ia menyebut bahwa bila Kemhan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka penggugat arbitrase akan meminta pengadilan di mana Kemhan memiliki aset untuk melakukan eksekusi.
ADVERTISEMENT
"Secara logika pihak-pihak yang menang perkara akan membawa putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Indonesia. Dalam konteks ini mungkin proses tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai," ungkapnya.
"Strateginya adalah Pengadilan Indonesia akan menolak putusan arbitrase yang diminta untuk dilaksanakan karena terindikasi korupsi. Strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia," sambungnya.
Namun menurut dia, tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya delik korupsi yang dilakukan oleh penyedia Satelit atau kontrak pengadaan Satelit terindikasi ada delik korupsinya.
"Bila delik korupsi yang hendak dibuktikan lebih ke masalah pengadaan internal di Kemhan maka upaya ini tidak terlalu banyak membantu," bebernya.
Ia pun menilai strategi untuk melakukan penolakan bisa gagal bila pihak penyedia Satelit tidak pergi ke Pengadilan di Indonesia untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase yang mereka menangkan.
ADVERTISEMENT
Penyedia Satelit bisa saja pergi ke pengadilan-pengadilan di luar negeri di mana pemerintah Indonesia memiliki aset. Sepanjang bukan aset milik kantor perwakilan Indonesian di luar negeri, seperti Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal.
Menurut Hikmahanto, Penyedia Satelit bisa jadi akan membangun argumentasi bahwa Kemhan merupakan bagian dari pemerintah Indonesia selaku adalah pemegang saham dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara.
"Saat ini ada sejumlah BUMN yang memiliki aset berupa tanah dan bangunan serta uang dalam rekening koran di bank-bank luar negeri," ucapnya.
Dalam konteks demikian, ia berpendapat bukannya tidak mungkin aset-aset BUMN yang akan diminta untuk dieksekusi oleh pengadilan setempat sebagai upaya pelaksanaan putusan arbitrase.
"Oleh karenanya upaya memunculkan proses hukum yang berkaitan dengan pidana tidak akan bermanfaat. Di sinilah pentingnya pemerintah harus lebih fokus dalam mengambil langkah agar putusan arbitrase tidak dilaksanakan atau dibatalkan. Pemerintah jangan justru melebar kemana-mana," tegas Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Kalau pun ada indikasi tindak pidana korupsi maka hal tersebut perlu untuk terus diproses namun tidak seharusnya digunakan sebagai strategi untuk menghindari eksekusi atas putusan arbitrase," sambungnya.
Ia pun menyarankan Pemerintah mengundang ahli bahkan pengacara berkaliber internasional yang memahami seluk beluk tentang upaya pembatalan putusan baik di London maupun Singapura. Serta pengacara yang memahami upaya penolakan putusan arbitrase di luar Indonesia.
Satelit Slot Orbit 123
Perkara ini berawal saat terjadi kekosongan dalam di slot orbit 123 derajat BT usai Satelit Garuda 1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Satelit Garuda 1 telah merampungkan tugasnya selama 15 tahun, sejak diluncurkan pada 12 Februari 2000.
Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
Kemhan kemudian mengajukan hak pengelolaan atas slot orbit satelit 123 derajat BT tersebut. Program yang dibawa Kemhan bernama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Untuk mengisi kekosongan sementara, Kemhan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT. Akhirnya Avanti menempatkan Satelit Artemis pada orbit 123 derajat BT pada November 2016.
Terkait pembangunan satelit Satkomhan, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.
ADVERTISEMENT
Avanti dan Navayo menggugat Kemhan ke Pengadilan Arbitrase internasional terkait kontrak. Kemhan pun divonis membayar Rp 515 miliar plus USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) atas putusan pengadilan.
Angka itu yang kemudian dipandang kejaksaan sebagai kerugian negara. Mahfud MD menyebut angka tersebut masih mungkin bertambah karena masih ada perusahaan yang belum menggugat.
Kejaksaan Agung pun kemudian turun tangan. Kedua kontrak, baik sewa maupun pembangunan, itu yang belakangan diduga terindikasi korupsi.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah, mengatakan proyek ini diduga tidak direncanakan dengan baik. Sebab, saat kontrak dengan sejumlah perusahaan tersebut, anggaran tak tersedia dalam DIPA Kemhan 2015. Kemhan tak punya anggaran penyewaan satelit tersebut.
Selain itu, Febrie menyebut penyewaan satelit Artemis dari Avanti pun sejatinya tidak diperlukan. Sebab, negara mempunyai waktu tenggang paling lama 3 tahun untuk mengisi slot tersebut. Tak harus diisi saat satelit tersebut keluar orbit.
ADVERTISEMENT
Kini, Kejaksaan Agung sedang mencari bukti atas dugaan korupsi yang terjadi di era Menhan Ryamizard Ryacudu. Belum ada tersangka yang ditetapkan.