Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemerintah berkata, kenaikan iuran diperlukan demi mengatasi masalah keuangan BPJS Kesehatan. Tapi apakah dalih ini menjawab putusan MA—dasar hukum yang jelas tak dapat diabaikan?
Keputusan kenaikan BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden No. 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menuai kontroversi. Kenaikan ini diputuskan setelah sebelumnya kenaikan yang sama melalui Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Pejabat pemerintah lantas buka suara, menjelaskan bahwa kenaikan iuran BPJS dilakukan demi kelangsungan layanan. Alasan ini, misalnya, disebutkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto lewat video conference, Rabu lalu (23).
“Terkait dengan BPJS Kesehatan, sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan. Tentunya ini untuk menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan. Ada (juga) iuran yang disubsidi pemerintah,” kata dia.
Selama ini BPJS sebagai penyelenggara program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus-menerus mengalami defisit. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut defisit BPJS hingga Desember 2019 mencapai Rp 13 triliun. Padahal, sudah ada suntikan dana sebesar Rp 15 triliun.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, pandemi virus corona COVID-19 membuat negara dalam kondisi susah. Penerimaan negara mengalami penurunan di tengah wabah.
“Dalam konteks potret negara, kita juga lihat bahwa negara juga dalam situasi yang sulit kan,” ucap dia.
Tetapi apakah alasan dan keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS ini mematuhi putusan MA?
Kenaikan iuran BPJS dalam Perpres No. 64 Tahun 2020 ini memiliki skema kenaikan iuran bertahap untuk peserta mandiri kelas III, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Pada 2021 subsidi pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000 sehingga kenaikan iuran yang harus dibayar peserta kelas III senilai Rp 35.000.
Sedangkan untuk peserta mandiri kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000. Dan iuran peserta mandiri kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000.
Putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020 membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Pasal yang dibatalkan tersebut mengatur kenaikan iuran kelas I menjadi Rp 160 ribu per bulan, peserta kelas II menjadi Rp 110.000 per bulan, dan peserta kelas III menjadi Rp 42.000 per bulan.
Majelis Hakim yang diketuai Supandi dan dua hakim anggota, Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi, menyebutkan ada tiga aspek yang menjadi dasar putusan membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam Perpres No. 75 Tahun 2019.
Pertama adalah aspek yuridis. Konsideran faktual pada Perpres No. 75 Tahun 2019 tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat membayar kenaikan iuran BPJS. Kenaikan iuran lebih mempertimbangkan defisit anggaran yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Padahal pemerintah sudah beberapa kali menyuntikkan dana tetapi defisit terus terjadi.
MA menganggap manajemen atau tata kelola BPJS Kesehatan secara keseluruhan sebagai akar masalah yang diabaikan pemerintah. Membebankan defisit pada peserta BPJS Kesehatan dinilai tak tepat dan mengecewakan masyarakat umum. Hal ini bertentangan dengan asas pengharapan yang layak.
Kenaikan iuran juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Dengan demikian, secara yuridis Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 dinilai mengandung cacat yuridis secara substansi,” tulis putusan itu.
Kedua adalah aspek sosiologis. MA menganggap berbagai masalah yang terjadi di BPJS seperti kecurangan data rumah sakit, kecurangan peserta, rendahnya validitas data, dan lainnya berasal dari ketidakmampuan lembaga-lembaga terkait mengelola koordinasi dan melakukan tugasnya masing-masing.
MA menyebutkan adanya ketidakseriusan kementerian terkait dalam melakukan koordinasi, ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi, adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS, dan mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS.
Alhasil, penyelenggaraan jaminan kesehatan mengalami tiga persoalan, yakni struktur hukum, substansi, dan budaya hukum. Hal inilah yang menyebabkan pelayanan BPJS berdampak buruk secara sistemik. Seharusnya pemerintah memperbaiki berbagai persoalan BPJS Kesehatan ini.
Berbagai kesalahan dan kecurangan ini tidak boleh dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan. Apalagi dalam kondisi ekonomi tak menentu.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kenaikan iuran bagi peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat,” tulis putusan MA tersebut.
Ketiga adalah aspek filosofis. MA menganggap kenaikan iuran BPJS dalam kondisi ekonomi global seperti ini tidak tepat karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sehingga penerapan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tidak boleh membebankan masyarakat dengan biaya di luar kemampuan mereka. Sebaliknya, lanjut putusan, justru harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan terdapat perbedaan perspektif antara putusan MA dengan dalih pemerintah menerbitkan Perpres No. 64 Tahun 2020. Jika mengacu pada putusan tersebut, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan manajemen BPJS Kesehatan.
Namun pemerintah tampaknya mengesampingkan pertimbangan dalam putusan itu. Mereka membangun perspektif sendiri, yakni menaikkan iuran BPJS Kesehatan dan menjanjikan perbaikan pelayanan.
“Kalau melihat ini, berarti pemerintah tidak menghormati putusan. Karena jelas aspek-aspeknya dalam putusan itu,” ucap Feri ketika dihubungi Kamis malam (14/5).
Ia menyarankan pemerintah menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mencabut Perpres No. 64 Tahun 2020. Sebab jika pemerintah bersikeras, justru menunjukkan preseden buruk dalam perilaku hukum.
“Nanti masyarakat bilang, ‘Presiden saja tidak menghormati hukum, berarti kita juga boleh,’” kata Feri.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan sendiri sudah menuai kekecewaan penggugat Perpres No. 75 Tahun 2019, Tony Richard Samosir. Ia menganggap pemerintah selama ini tidak berorientasi memperbaiki pelayanan BPJS Kesehatan, itu sebabnya yang ditekankan selalu kenaikan iuran.
Menurut Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darh Indonesia ini , Perpres No. 64 Tahun 2020 menunjukkan iktikad tak baik pemerintah. Mereka sudah tidak menghormati putusan MA. Apalagi pandemi COVID-19 kian memperparah kondisi peserta BPJS Kesehatan yang tidak mampu.
Pengacara Tony, Rusdianto, memiliki anggapan sama. Ia kini tengah mempelajari lagi Perpres No. 64 Tahun 2020 untuk mengajukan gugatan kembali.
“Kalau tidak dicabut, ya kami akan gugat kembali. Tetapi di sini kami tekankan bahwa pemerintah sudah tidak menghormati hukum,” tegas dia.
Deputi II Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan, mengatakan kenaikan iuran kali ini berbeda dengan Perpres sebelumnya. Bantuan iuran tetap diberikan oleh pemerintah sehingga tidak ada kenaikan bagi peserta kelas III BPJS Kesehatan.
Jika masyarakat keberatan, ujarnya, mereka dapat mengajukan perbaikan data sesuai kelas. “Terkait dengan yang digugat, tentu setiap warga negara berhak menggunakan hak-haknya, termasuk juga menggugat kebijakan pemerintah melalui mekanisme yang ada, baik ike MA atau terkait konstitusi ke MK,” kata dia.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.