Kenapa Demonstrasi Damai Berubah Jadi Anarkis?

2 Oktober 2019 15:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Setop Demo Anarkis. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Setop Demo Anarkis. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Demo mahasiswa dan pelajar STM memprotes sejumlah RUU di depan Gedung DPR, Senin (30/9), mulanya berjalan damai dan tertib. Namun, demo yang berlangsung sampai malam hari itu berubah menjadi ricuh dan mencekam.
ADVERTISEMENT
Massa demonstran yang semula terkonsentrasi di DPR dipukul mundur oleh polisi. Akibatnya, massa terpecah ke sejumlah lokasi. Di antaranya Palmerah, Slipi, Pejompongan, dan depan Polda Metro Jaya.
Dari pantauan kumparan, ada massa misterius yang memprovokasi kericuhan di setiap lokasi tersebut. Mereka bukan berasal dari mahasiswa, pelajar, atau buruh yang menggelar demonstrasi. Itu karena, sampai 16.30 WIB massa yang menggunakan almamater dan seragam bahkan sudah tak terlihat lagi.
Massa aksi ricuh di Jalan Tentara Pelajar, Jakarta, Rabu (25/9/2019). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Tak hanya bentrok dengan polisi, massa misterius ini juga merusak motor, pagar, melempar petasan, dan mencorat-coret tembok gedung pemerintahan. Polisi kemudian memecah massa dengan gas air mata dan menurunkan pasukan bermotor hingga keadaan kembali kondusif sekitar pukul 21.00 WIB.
Kondisi tersebut juga terjadi di berbagai daerah Indonesia dalam protes serupa. Di Bandung, massa melempari batu ke gedung DPRD. Di Kendari, mahasiswa yang sempat terlibat bentrok dengan polisi meninggal.
Aksi teatrikal mahasiswa sejumlah perguruan tinggi sebagai bentuk solidaritas atas tewasnya massa aksi di Kendari dan matinya KPK. Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Bukan kali pertama demo mahasiswa yang awalnya damai berubah menjadi anarkistis. Para peneliti pun cukup menaruh perhatian terhadap fenomena ini di ranah akademik.
ADVERTISEMENT
Hasse J, misalnya, meneliti mengenai anarkisme dalam demo-demo mahasiswa di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Ia menyebut, mahasiswa di sana cenderung melakukan penutupan jalan, bakar ban, sweeping mobil pemerintah, hingga ‘penyanderaan’ pejabat.
“Demonstrasi mahasiswa UIN Alauddin menunjukkan tren kekerasan yang paling cepat. Publik Makassar telah memberikan stigma tersendiri bagi mahasiswa UIN Alauddin sebagai pendemo yang ‘cinta kekerasan’,” terang Hasse dalam riset berjudul 'Anarkisme Demonstrasi Mahasiswa: Studi Kasus Pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar' (2012).
Garis kekerasan dalam demonstrasi mahasiswa di Makassar sudah dapat ditarik sebelum era Reformasi. Pada 24 April 1996 terjadi Peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) yang diperingati setiap tahun. Peristiwa ini dilatarbelakangi bentrok mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dengan polisi.
ADVERTISEMENT
“Polisi melakukan penyerbuan ke dalam kampus yang menyebabkan tiga mahasiswa meninggal dan beberapa polisi luka-luka. Demonstrasi mahasiswa merupakan penolakan terhadap kenaikan tarif angkutan kota yang dinilai memberatkan,” tulis Hasse.
Demo mahasiswa dan pelajar di Bandung ricuh, Senin (30/9/2019). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Dalam kesimpulannya, Hasse melihat kekerasan terjadi lantaran pemerintah sering tidak mendengar aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat demonstrasi. Menurut dia, mahasiswa punya pandangan kalau kekerasan efektif untuk menyampaikan aspirasi tersebut.
Hal tersebut diamini oleh Pakar Psikologi Sosial Universitas Padjadjaran, Zainal Abidin. Dosen Fakultas Psikologi yang kerap meneliti demo mahasiswa ini melihat adanya pola pada sejumlah demonstrasi anarkistis di Indonesia.
“Kalau kita pelajari dari sejarah demonstrasi tahun 1998, tahun 2000-an awal, zaman SBY sampai sekarang kelihatan ada satu kondisi yang memang relatif sama, yaitu bahwa ada persepsi pada mahasiswa kalau demonya tidak menggunakan media yang keras, itu tampaknya tidak akan didengar,” terang Zainal kepada kumparan, Selasa (1/10).
ADVERTISEMENT
Penyebab lain, adanya faktor ketidakpercayaan (distrust) massa pendemo terhadap pihak yang didemo (pemerintah dan DPR). Menurutnya, itu terjadi lantaran pemerintah kerap menuding adanya motif politik dalam sebuah demonstrasi.
“Pemerintah dan lembaga legislatif juga tidak percaya dengan mahasiswa. Karena mereka menduga ditunggangi, ada motif politik, tidak murni moral. sehingga memang ada saling tidak percaya dari kedua belah pihak,” terangnya.
Massa HMI berunjuk rasa di kawasan depan gedung DPR, Jakarta, Jumat (27/9/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Dalam amatan Zainal, ketidakpercayaan itu juga terjadi di lapangan, yakni antara pendemo dan polisi yang bertugas mengamankan. Akibatnya, kemungkinan terjadinya arousal atau aktivasi massa sangat tinggi.
“Ketika misalnya ada nyanyian-nyanyian itu kemungkinan besar akan memunculkan respons yang kemudian berakumulasi. Mungkin awalnya lempar-lemparan, ejekan, itu bisa berakumulasi dengan kekerasan yang sangat masif,” katanya.
ADVERTISEMENT
Faktor selanjutnya adalah penularan emosi (emotional contagion). Zainal menyebut, apabila dalam sebuah kerumunan ada teriakan, maka massa yang lain akan terpicu.
“Itu akan sulit dikontrol, karena sudah jadi jiwa massa. Belum lagi ada provokasi dari luar. Kita tidak bisa menutup fakta bahwa memang ada provokasi itu. Tapi saya percaya bahwa mahasiswa masih murni menyuarakan tuntutan moral,” jelasnya.
Zainal mengusulkan polisi mesti menahan diri untuk menghindari kekerasan dalam demonstrasi. Sebab, dalam sebuah kerumunan massa, tindakan kekerasan akan saling berbalas dengan kekerasan lagi. Demikian juga mahasiswa yang harus tetap mengedepankan gerakan moral.
“Mahasiswa sudah betul masyarakat masih mendukung gerakan-gerakan ini dengan asumsi bahwa gerakan-gerakan moral yang paling utama. Tetapi ketika itu terus menerus dilakukan dan itu kemudian disusupi oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu itu akan berbalik menjadi antipati. Dan untuk itu sebaiknya mahasiswa menahan diri juga menunggu DPR yang baru,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu mahasiswa memberi bunga kepada polisi saat demo di kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Narasi Demo Ditunggangi

Ketidakpercayaan penguasa terhadap mahasiswa memang terjadi pada demo yang terjadi belakangan ini. Yasonna Laoly saat masih menjabat Menteri Hukum dan HAM menyebut, ada upaya-upaya yang menunggangi demo mahasiswa.
“Kita ini mendengar, melihat, ada upaya-upaya yang menunggangi. Jangan terpancing. Juga termasuk RUU KPK, negara kita negara hukum ada mekanisme konstitusional untuk itu,” kata Yasonna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9).
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers di Gedung Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Selasa (24/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tudingan tersebut juga dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Wiranto. Mantan Panglima TNI 1998-1999 itu sampai berujar ada kelompok yang ingin menduduki DPR-MPR dan menggagalkan pelantikan presiden.
"Kelompok yang mengambil alih demo mahasiswa bukan murni ingin mengoreksi kebijakan pemerintah, tapi kami cukup bukti ingin menduduki DPR dan MPR, agar DPR tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam arti tidak dapat dilantik dan lebih jauh tujuan akhirnya gagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih," kata Wiranto di kantornya Kamis (26/9).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan sejarah, narasi serupa bahkan sudah berdengung sejak Indonesia dipimpin Presiden Sukarno.
Saat situasi politik sudah tidak kondusif bagi kekuasaan presiden, pada 15 Januari 1966 di Bogor, Sukarno menggelar rapat kabinet yang juga diikuti mahasiswa. Ia mengungkap, keresahan soal adanya upaya untuk mendongkel dirinya dengan aksi-aksi gelap. Sukarno menantang peserta rapat untuk membentuk sebuah Barisan pro Pemimpin Besar Revolusi itu.
Presiden Indonesia pertama, Sukarno. Foto: wikimedia
Singkat cerita, pada 17 Januari 2019, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menjawab tantangan Sukarno lewat tiga poin sikap. Pertama, siap membentuk pasukan berani mati Bung Karno. Kedua, membentuk union student dan mengusulkan Bung Karno sebagai ketua. Ketiga, mengembalikan kewibawaan Sukarno.
Namun, pernyataan dan upaya mahasiswa yang membela Sukarno itu justru ditanggapi berbeda oleh Waperdam (Wakil Perdana Menteri) I/Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio.
ADVERTISEMENT
“Ia mengabaikan pernyataan mahasiswa itu dan mengecam aksi-aksi demonstrasi yang dinilainya melampaui batas kesopanan dan ditunggangi oleh Nekolim (neokolonialisme-imperialisme),” tulis Taufik Abdullah dkk dalam Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula (2017).
Dalam memoarnya, Subandrio menuding Soeharto dan tentara sebagai pihak yang menunggangi gerakan mahasiswa di masa-masa akhir kekuasaan Sukarno. Keduanya diduga berada di balik pembentukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang kemudian bertransformasi menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Kelompok mahasiswa yang merupakan bagian dari Pemuda Angkatan ‘66 ini kerap berdemo mengkritik pemerintahan Sukarno. Mereka memunculkan slogan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Yakni bubarkan PKI, bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI, dan turunkan harga pokok.
Subandrio, Wakil Perdana Menteri 1 era Presiden Sukarno. Foto: Wikimedia Commons
“Sementara, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut penurunan harga. Sedangkan rakyat, jelas mendukung gerakan mahasiswa karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat,” tulis Subandrio dalam memoar Kesaksianku Tentang G-30-S.
ADVERTISEMENT
Menurut Subandrio, satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni saat itu hanya pada poin pertama Tritura yakni bubarkan PKI. Sebuah tuduhan yang kemudian dibantah oleh aktivis ‘66 sekaligus mantan Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia, Rum Aly.
“(Demo) ‘66 tuduhannya ditunggangi tentara, militer AD, khususnya ditunggangi Soeharto, itu tidak benar. Bahwa ada kesejajaran gagasan (militer dan mahasiswa) per waktu itu, betul,” ujar Rum saat dihubungi kumparan, Senin (30/9).
Namun begitu, Rum melihat, perjalanan kekuasaan yang berpindah ke tangan Soeharto tidak lebih baik. Dalam berbagai peristiwa demonstrasi mahasiswa selanjutnya, mereka juga masih tetap dituduh ‘ditunggangi’.
“Tahun 1974 (Peristiwa Malari) lalu ada tuduhan ditunggangi-ditunggangi dan sebagainya, 1974, 1978 (Pendudukan Kampus ITB), 1998 (Reformasi) sampai sekarang, tidak benar itu,” kata penulis buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006).
Mahasiswa dari berbagai kampus membawa poster saat demo di kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Mantan aktivis pergerakan mahasiswa dari Bandung itu mengatakan, pemerintah perlu paham bahwa kampus tidak pernah bisa ditundukkan dengan kekuasaan. Makanya, tudingan soal demo mahasiswa ditunggangi, menurut dia, punya tujuan absurd.
ADVERTISEMENT
“Tidak kurang dan tidak lebih daripada melemahkan gerakan moral mahasiswa dan mencoba eliminasi atau menghapus kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa. Karena kita lihat sejarah politik Indonesia tidak pernah ada perubahan tanpa peranan mahasiswa,” sebutnya.
Padahal, menurut Rum apa yang disuarakan demo mahasiswa adalah hasil upaya membaca aspirasi dalam sanubari masyarakat yang tidak terucapkan. Gerakan mahasiswa adalah sebuah gerakan moral untuk membela kepentingan masyarakat.
”Mungkin beberapa pendapat mahasiswa sekarang ini sejajar dengan oposisi, tetapi tidak berarti itu bahwa mereka bagian dari oposisi, dan bukan berarti mereka adalah gerakan-gerakan anti-kekuasaan atau bagian dari pertarungan politik,” katanya.