Kenapa Gambia, Negara Terkecil Afrika, yang Justru Menggugat Myanmar?

21 November 2019 13:38 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Ibu Kota Gambia, Banjul. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu Kota Gambia, Banjul. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Negara Gambia bulan ini melayangkan gugatan terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional atau ICJ di Den Haag, Belanda. Gambia menuduh Myanmar melakukan genosida terhadap etnis Muslim Rohingya di Rakhine. Gugatan ini sampai meresahkan Aung San Suu Kyi yang memutuskan akan datang sendiri ke Den Haag, menghadapi pengadilan.
ADVERTISEMENT
Gambia dan Myanmar adalah negara anggota ICJ dan sama-sama penanda tangan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida 1948. Karena sama-sama anggota konvensi tersebut, Gambia bisa menggugat Myanmar atas tuduhan pelanggaran peraturan anti-genosida.
Dalam gugatan setebal 46 halaman ke ICJ, Gambia menyebut Myanmar telah melakukan pembunuhan massal, perkosaan, dan penghancuran komunitas Rohingya di Rakhine. Ini adalah kali pertama ICJ akan menyidangkan tuduhan genosida terhadap negara anggotanya.
Pengungsi Rohingya berjalan kaki dari Myanmar ke Bangladesh untuk lari dari pembantaian. Foto: Reuters/Hannah McKay
Pertanyaan kemudian muncul: Mengapa Gambia, negara terkecil di Afrika, tidak lebih luas dari Jawa Barat, berpenduduk hanya 2 juta orang, beda benua, terletak 12.000 kilometer dari Myanmar, yang justru menggugat Myanmar? Ke mana negara-negara yang lebih besar, ke mana negara-negara Asia?
Dikutip dari Washington Post, salah satu alasannya adalah karena Gambia mendapatkan dukungan dari negara-negara Organisasi Kerja Islam (OKI). Gambia mendapatkan sokongan moral dan finansial dari 57 negara OKI untuk gugatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya soal dukungan internasional, tapi juga karena Gambia mengaku sebagai negara yang menjunjung hak asasi manusia. Wakil Presiden Gambia, Isatou Touray, menegaskan hal itu. Dia mengatakan negaranya boleh kecil, tapi tidak kerdil dalam hal memerangi pelanggaran HAM.
"Gambia adalah negara kecil dengan suara yang besar untuk urusan hak asasi manusia di benua Afrika dan seluruh dunia," kata Touray dalam surat gugatan ke ICJ.
Wakil Presiden Gambia, Isatou Touray. Foto: AFP/CARL DE SOUZA
Selain itu, ada nama Abubacarr Marie Tambadou di balik gugatan Gambia. Menteri Kehakiman sekaligus Jaksa Agung Gambia ini yang mendorong OKI untuk membantu mereka menggugat Myanmar.
Tambadou bukan orang sembarangan, dia adalah pengacara berpengalaman dalam pengadilan kasus genosida. Dia pernah jadi asisten khusus jaksa untuk pengadilan pidana internasional pada kasus genosida Rwanda yang menewaskan 800 ribu orang pada 1994.
ADVERTISEMENT
Kunjungannya ke kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh pada Mei 2018 mengingatkannya akan pedihnya genosida Rwanda. "Saya mendengarkan cerita mengerikan mereka - pembunuhan, perkosaan, penyiksaan, atau orang dibakar hidup-hidup di rumah mereka - membuat ingatan akan genosida Rwanda muncul lagi," kata Tambadou kepada Washington Post.
"Dunia gagal membantu pada 1994, dan dunia gagal melindungi orang-orang yang rentan 25 tahun kemudian," kata Tambadou.
Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou yang dikenal sebagai Ba Tambadou. Foto: AFP/CLAIRE BARGELES
Dengan gugatan ini, Tambadou ingin mengirim pesan jelas kepada Myanmar dan seluruh dunia bahwa mereka tidak bisa diam lagi menghadapi kekejian ini.
"Memalukan bagi generasi kita bahwa kita tidak bisa melakukan apa-apa ketika genosida terjadi di depan mata kita sendiri," kata dia lagi.
Atas langkah ini, Gambia menuai pujian dari berbagai negara. Dalam pujian tersebut, Gambia dianggap berbeda dengan negara lain yang kerap mengedepankan bisnis dan hubungan dagang ketimbang rasa kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
"Langkah ini akan memajukan upaya pertanggungjawaban atas tindak genosida, yang meliputi pembunuhan massal, diskriminasi sistemik, ujaran kebencian dan kekerasan berdasarkan gender dan seks terhadap Rohingya," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Kanada beberapa waktu lalu.
Pengungsi Rohingya antre untuk mendapat bantuan. Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Pengamat internasional sekaligus Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad, mengatakan negara-negara Asia tidak seleluasa Gambia dalam menindak Myanmar atas tuduhan genosida Rohingya. Termasuk di dalamnya ASEAN yang memiliki norma non-interference.
"Karena banyak constraint-nya. ASEAN punya norma non-interference. Negara-negara Asia juga banyak yang punya kepentingan dengan Myanmar dan atau Cina yang juga punya kepentingan di wilayah Rakhine," kata Shofwan kepada kumparan, Kamis (21/11).
Menurut Shofwan, langkah Gambia untuk mengakhiri pengabaian dan memaksa sistem internasional bekerja patut dipuji. Kondisi Gambia sebagai negara terkecil di Afrika juga diharapkan menjadi "efek tekan" pada negara-negara lain yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
"Kalau yang kecil saja berani, masa yang besar takut?" kata Shofwan.