Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Bagi Andrinof Achir Chaniago, apa yang diumumkan Bambang Brodjonegoro pekan lalu, hanya perkara waktu. Menurut Andrinof, ibu kota memang harus pindah. Sudah waktunya. Perkaranya cuma satu: siapa yang cukup serius untuk menjalankannya.
“Zaman Pak SBY juga ada wacana, kan. Cuma wacana terus, tiga opsi-tiga opsi terus,” ujar Andrinof.
Tiga opsi yang dimaksud adalah: 1) menetapkan distrik pemerintahan di sekitar Monas namun tetap di Jakarta; 2) memindahkan ibu kota ke wilayah dekat Jakarta dengan jarak 50-70 kilometer; dan 3) memindahkan ibu kota ke luar Jawa.
Pemerintahan kali ini, menurut Andrinof, selangkah lebih maju.
“Kalau diseriusi ya bikin kajian. Sekarang saya lihat ada kemajuan, dari wacana ke kajian, lalu ditunjukkan dengan sikap politik. Dengan pernyataan presiden bilang memilih memindahkan ke luar Jawa, itu suatu kemajuan,” kata Kepala Bappenas periode 2014-2015 itu kepada kumparan, Rabu (1/5).
Menteri PPN/Kepala Bappenas yang saat ini menjabat, Bambang, Senin lalu (29/4) hadir dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinetnya. Rapat tersebut membahas rencana pemisahan pusat pemerintahan dan pusat bisnis yang saat ini sama-sama dipikul kota Jakarta.
Bappenas menyodorkan tiga opsi ke Jokowi, sama dengan tiga opsi yang sebelumnya disebutkan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bedanya, kali ini sebuah keputusan diambil. Selepas rapat, Bambang menyampaikan keputusan Jokowi, “Presiden memilih alternatif ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Jawa.”
Andrinof tahu betul soal rencana pemindahan ibu kota ini. Selain karena pernah menjabat sebagai Kepala Bappenas, juga karena perannya di tim Visi Indonesia 2033. Dalam think tank tersebut, Andrinof bersama Ahmad Erani Yustika, Jehansyah Siregar, dan Tata Mustasya telah mendorong rencana pemindahan ibu kota sejak 2008.
“Saya datang ke kantor staf khusus, saya bawa konsep, saya paparkan. Ya ditampung saja di situ, kemudian hilang begitu saja. Bappenas bilang, ‘Sedang dikaji,’” kata laki-laki yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia itu menceritakan upayanya pada zaman SBY dulu. “Pas saya masuk ke Bappenas, ada kajian nggak? Nggak ada.”
Ia juga tahu persis bagaimana Jokowi memiliki concern yang sama soal ibu kota ini. Meski tak secara langsung menjadikannya proyek resmi, Bappenas atas sepengetahuan Jokowi sejak awal 2015 aktif mengondisikan pelaksanaan proyek pemindahan ibu kota.
“Awalnya, di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) kita secara implisit sudah mendorong program-program pembangunan keluar Jawa, misalnya 11 atau 12 kawasan industri , sebagian besar di luar Jawa,” sambung Andrinof.
Menurutnya, pembangunan kawasan industri di luar Jawa dan pemindahan ibu kota berada di bawah satu payung besar yang jadi misi Jokowi, yaitu “...mewujudkan nilai yang prinsip, soal pemerataan, keadilan, keseimbangan pembangunan.”
Ia juga bercerita, bagaimana di masa ia menjabat dahulu wacana pemindahan ibu kota itu secara rutin menjadi bahan diskusi yang berlanjut ke kajian.
“Lalu Bappenas meneruskan. Kemudian Bappenas diperintahkan secara resmi oleh presiden untuk bikin kajian. Saya nggak hafal tahunnya, tapi sesudah saya enggak (menjabat) lagi,” kata Andrinof menjelaskan keseriusan Jokowi dalam proyek ambisius ini.
Perhatian khusus Jokowi terhadap rencana pemindahan ibu kota juga dipaparkan Bambang Brodjo kepada kumparan. Di sela-sela pertemuan 52th ADB Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Rabu (1/5), melalui sambungan telepon, Bambang bercerita bagaimana Jokowi menyeriusi wacana pemindahan ibu kota yang sebenarnya sudah muncul sejak zaman Sukarno.
“Yang kemudian kencang bergulir adalah inisiatif Bapak Presiden Jokowi, yang menginginkan ada alternatif untuk memindahkan ibu kota, khususnya ke luar Jawa,” kata Bambang.
Menurut Bambang, ada beberapa alasan mengapa pemindahan ibu kota ingin disegerakan pemerintahan Jokowi. Dua di antaranya adalah kondisi Jakarta yang kian tak ideal dan keinginan untuk lepas dari bayang-bayang kolonialisme.
“Kita ingin punya ibu kota yang menggambarkan NKRI, tidak hanya meneruskan tradisi pemerintah kolonial Belanda,” ujarnya. Karena itu pula, mungkin, seperti yang disebutkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono secara terpisah, konsep ibu kota baru nanti adalah Kota Pancasila.
“Selain itu, saat ini Jakarta menjadi pusat segalanya, dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Penduduk Jakarta ini—tidak memasukkan daerah metropolitan dan sekitarnya—itu berjumlah 10,3 juta orang,” kata Bambang.
Bambang lalu membandingkan kondisi tersebut dengan kota terbesar kedua Indonesia, Surabaya, yang penduduknya hanya sebesar tiga juta orang. “Artinya, konsentrasi penduduk di Jakarta dan konsentrasi kegiatan ekonomi di Jakarta sudah terlalu besar.”
“Ditambah lagi dengan kondisi fisik Jakarta sendiri, di mana terjadi kemacetan yang relatif sangat parah. Kemudian permasalahan terkait gangguan banjir, menurunnya permukaan tanah di pantai utara Jakarta, meningkatnya permukaan air laut. Jadi, boleh dibilang, Jakarta menghadapi beban yang sangat berat,” papar Bambang.
Bambang bisa jadi tak berlebihan. Menurut data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek pada 2017, kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 100 triliun per tahunnya. Sementara menurut data World Economic Forum 2018, 95 persen wilayah Jakarta Utara akan tenggelam pada 2050.
Dengan memindah ibu kota, meski tak langsung menihilkan masalah, pemerintah berharap mengurangi secara signifikan beban yang selama ini hanya tertumpu pada Jakarta.
Jehansyah Siregar, pengajar di Institut Teknologi Bandung yang fokus pada isu perumahan dan permukiman, menilai pemindahan ibu kota akan mengurangi beban Jakarta sebanyak 30-50 persen.
“Beban mulai dari daya dukung infrastruktur, ruang terbuka hijau, kemacetan, permukiman kumuh, banjir dan sebagainya,” kata Jehansyah kepada kumparan, Jumat (3/5).
Sampai saat ini, kajian Bappenas sampai pada penentuan kriteria lokasi dan pendalaman strategi pemindahan ibu kota. “Bahkan sudah sampai kepada skenario pembiayaan, meskipun kita belum menuju kepada lokasi yang dipilih,” ujar Bambang.
Walaupun demikian, menurut Andrinof yang juga menerima kajian Bappenas tersebut, calon kota tujuan telah mengerucut ke Pulau Kalimantan. Walau begitu, menurutnya, Palangka Raya tak akan menjadi kandidat.
“Kapan Bappenas pernah nyebut Palangka Raya? Nggak layak. Bung Karno tahun ‘57 mungkin dia membayangkan nggak ada tanda-tanda bakal ada kebakaran lahan gambut. Kalau Bung Karno hidup sekarang, pasti dia batalkan rencana itu,” ujar Andrinof, terlihat berseloroh tapi serius.
Menurut Bambang, terdapat alasan lain yang mendorong mengapa opsi ketiga—memindah ibu kota ke luar Jawa—diambil alih-alih opsi kedua yang sama-sama bisa mengurangi beban Jakarta.
“Saat ini ekonomi Indonesia didominasi oleh Jawa, 58 persen PDB, dan Sumatera, 22 persen. Praktis, ekonomi Indonesia hanya ada di Jawa dan Sumatera. Karenanya, kita perlu melirik pulau lain yang kalau menjadi tempat pemerintahan akan menimbulkan kegiatan ekonomi baru,” tuturnya.
Alasan tersebut sejalan dengan pembangunan infrastruktur dan kawasan ekonomi yang dalam lima tahun terakhir ditekankan ke luar Jawa. Maka, pemindahan ibu kota seakan menjadi keping puzzle terakhir bagi pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan political will-nya dalam membangun Indonesia yang bukan Jawa.
Bambang kemudian mencontohkan pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1961. “Brasilia saat ini menjadi kota terbesar ketiga di Brasil dengan penduduk 2,5 juta. Lebih hebatnya, kota Brasilia itu terletak pada daerah yang tergolong remote di Brasil, sangat jauh di wilayah sentral negara,” kata Bambang.
Secara global, meski terbilang amat ambisius dan ekstravaganza, pemindahan ibu kota negara merupakan femonena yang tak jarang-jarang amat terjadi. Dari tahun 1960 hingga awal 2000-an, setidaknya terdapat 13 negara yang memindahkan ibu kotanya dengan berbagai alasan.
Edward Schatz, peneliti dari Hellen Kellog Institute for International Studies (2003), membagi alasan pemindahan ibu kota ke dalam tiga kategori: 1) otoritarianisme macam pemindahan ibu kota Nigeria oleh Presiden Ibrahim Badamasi Babangida yang megalomania; 2) alasan teknis macam di Kazakhstan yang menghindari pengaruh Moskow pascapisah dari Soviet; dan 3) sebagai bagian dari proses nation-state building yang biasanya dilakukan oleh negara-negara merdeka pasca-Perang Dunia II.
Rencana Indonesia, dari apa yang dipaparkan Schatz, tampaknya merupakan gabungan kategori ketiga dan kedua. Tidak bisa dipungkiri alasan teknis yakni kondisi Jakarta yang terus memburuk, membutuhkan pengurangan beban agar kota mampu dipulihkan secara lebih efektif.
“Jakarta harus berbenah diri tanpa harus dibebani sebagai pusat pemerintahan,” ujar Bambang.
Meski begitu, rencana pemerintah memindahkan ibu kota juga tak bisa lepas dari alasan simbolik lain. Sebut saja: hasrat pemerintah menidakkan sisa-sisa pengaruh kolonialisme, mengurangi kemungkinan munculnya konflik sosial, dan memperkuat proses pembangunan bangsa.
Seperti disampaikan Bambang, ada desakan untuk lepas dari turunan kolonial. Namun, selain itu, pemerintahan Jokowi seakan ingin menekankan keseriusannya agar perhatian negara tak melulu Jawasentris.
Andrinof, yang juga mendukung Jokowi sejak menjadi Wali Kota Surakarta, agaknya mengakui tujuan simbolis ini. “Semua. (Tujuan) material, (tujuan) pemerataan, (tujuan) simboliknya ada. Tujuan pembangunan itu (selain) menumbuhkan, tapi juga mengurangi ketimpangan. Kalau menumbuhkan saja, itu bukan pembangunan. Bangun saja ini Jawa terus,” kata dia.
Alan Potter dalam jurnalnya, Locating the government: Capital cities and civil conflict (2017), menuliskan bahwa pusat pemerintahan yang diletakkan di luar wilayah megapolitan terbesar tak akan mudah didominasi oleh kepentingan wilayah megapolitan, yang pada gilirannya akan lebih memuaskan pihak yang lebih luas dan mengurangi potensi terjadinya konflik sipil.
Meski begitu, bukan berarti proyek pemindahan ibu kota dijamin sukses. Sederet kasus buruk pemindahan ibu kota terjadi di dunia. Myanmar, misalnya, yang alasan pemindahan ibu kota ke Naypyidaw oleh pemerintahan militeristiknya adalah agar memposisikan rakyat sejauh mungkin dari gedung parlemen Myanmar.
Sederet potensi kegagalan wajar membuat kita skeptis: dari kemungkinan anggaran yang membengkak, potensi korupsi, sampai kesalahan pemilihan kota yang baru disadari jauh di kemudian hari. Tak ada jaminan pula kesalahan yang selama ini terjadi di Jakarta tak akan terulang di ibu kota tujuan. Apabila megaproyek ini jadi dijalankan, perencanaan harus matang dan tak bercela.
Itu belum membicarakan soal Jakarta itu sendiri. Seperti yang sejarawan dan pemerhati Jakarta JJ Rizal sampaikan kepada kumparan, Jakarta bukannya tak layak, namun dibiarkan dan dibuat tidak layak.
“Kita menyia-nyiakan kesempatan dan waktu yang ada untuk memulihkan Jakarta. Tokyo itu mengalami penurunan permukaan tanah bahkan lebih parah dari kita. Tapi keputusan dia tidak pindah ibu kota. Keputusan dia adalah memulihkan Tokyo. Dengan cara apa? Membuat audit besar-besaran secara ekologis,” terang Rizal.
“Tokyo,” Rizal bilang, “menghentikan sama sekali penyedotan air tanah yang menyebabkan land subsidence atau penurunan permukaan tanah. Terus dia melakukan moratorium bangunan-bangunan infrastruktur raksasa yang menjadi beban. Jakarta kan tidak pernah melakukan itu.”
Walau begitu, mengikuti fitrahnya, pemindahan ibu kota tak hanya soal Jakarta. Manfaat rencana ambisius ini harus lebih besar dari sekadar mengurangi macet Jakarta dan menghindarkan mobil mewah pejabat dari kotor air banjir. Yang untung tak boleh hanya Jakarta dan ibu kota baru nanti, namun juga daerah-daerah di sekitarnya dan masyarakat Indonesia non-Jakarta.
Pemerataan pembangunan jadi janji yang menggiurkan. Namun, jika rencana ini adalah wujud keseriusan pemerintah membangun ekonomi di luar Jawa dan menyudahi segala yang Jakarta-sentris, harus ada strategi yang jelas agar target-target berindikator nyata betul terejawantahkan di tataran teknis.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mewanti-wanti pemerintah sebelum rencana akbar itu dijalankan. Menurutnya, pemindahan fungsi pemerintahan tak akan berdampak banyak pada pemerataan ekonomi.
“Seperti di Malaysia, memindahkan Kuala Lumpur ke Putrajaya. Putrajaya itu jam lima sore, waktu tutup kantor PNS pulang. Putrajaya itu seperti kota yang mati. Enggak ada aktivitas ekonomi. Karena ini beda, yang dipindahkan adalah fungsi pemerintahan, bukan fungsi bisnisnya. Bisnis akan tetap di Jakarta,” ujar Bhima kepada kumparan, Kamis (2/5).
Ia menilai, kebijakan dengan anggaran mahabesar itu lebih baik digunakan untuk membuka kawasan industri di, misalnya, Indonesia timur. “Yang dikhawatirkan, ibu kotanya bisa di mana saja, tapi selama 58 persen kue ekonomi disumbang dari Jawa, kebijakannya juga akan Jawasentris,” kata Bhima.
Yang jelas, pemindahan ibu kota bukanlah panasea—obat segala obat—bagi Jakarta maupun kesenjangan ekonomi di Indonesia. Ia bisa jadi cuma parasetamol yang redakan nyeri dan kurangi demam. Tak boleh ada salah diagnosa maupun salah resep obat buat atasi nyeri lambung dan ulu hati si pasien—Indonesia.