LIPSUS, Tenggelamnya Kasus Novel Baswedan, Aksi Diam 700 Hari Kasus Novel Baswedan

Keraguan di Pundak Begawan Satgas Kasus Novel

15 Juli 2019 10:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi diam 700 hari penyerangan Novel Baswedan di Gedung KPK, Jakarta. Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
zoom-in-whitePerbesar
Aksi diam 700 hari penyerangan Novel Baswedan di Gedung KPK, Jakarta. Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
“Harapan nenek lu, kalau mau beres ya bantuin dong!"
Nada suara Hermawan Sulistyo meninggi ketika diajak berbincang soal hasil penyelidikan Tim Gabungan Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Novel Baswedan. Kalimat itu memotong pembicaraan adanya harapan dari Novel maupun aktivis pegiat antikorupsi dan HAM agar kasus ini tuntas di tangan tim itu. Gusar terpendam dalam nada suara itu.
Kikiek, nama sapaan Hermawan Sulistyo, duduk sebagai dewan pakar Satgas Kasus Novel. Ia tengah berada di Bangkok, Thailand, ketika kumparan meneleponnya melalui aplikasi WhatsApp pada Jumat lalu (12/7). Baginya harapan itu sama saja dengan omong kosong.
“Kalau mereka berharap ini, minimal Novel ngomong siapa jenderal yang diduga itu. Biar kami periksa,” terangnya.
Novel maupun aktivis yang mendukungnya selalu menuntut penyelesaian kasus penyiraman air keras yang terjadi pada 11 April 2017. Tapi sepanjang tim itu bekerja, aku Kikiek, tak banyak informasi dari mereka menjadi titik terang baru penuntasan kasus itu. Mereka malah mempersoalkan integritas Satgas Kasus Novel Baswedan sejak tim ini dibentuk Kapolri pada 8 Januari 2019 lalu.
“Ketika kami berdiri malah ditanyakan integritas kami. Padahal kami ini sudah berpengalaman menjadi tim pencari fakta (TPF) dan pengalaman di berbagai lembaga,” cetus Kikiek.
Konfernsi Pers TGPF di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (9/7). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Tenggat kerja Satgas Kasus Novel berakhir pada Senin lalu (8/7). Mereka menyerahkan hasil seluruh pemeriksaan kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Mulut anggota tim masih tertutup rapat karena rencananya Tito sendiri yang akan membacakan hasil pemeriksaan tim ini.
Suara sumbang terhadap hasil kerja tim ini masih konsisten. Pesimis kasus penyerangan Novel Baswedan akan menemukan titik terang.
Satgas ini merupakan perkembangan paling mutakhir kasus penyerangan Novel. Perjalanan kasus ini sebelumnya cukup berliku, berkelindan dengan persoalan hubungan polisi dan KPK serta soal momentum politik.
Nama, pola, metode pelaku, dan segala hasil temuan polisi maupun Komnas HAM menjadi bekal bagi Satgas Kasus Novel. Anggota Dewan Pakar Satgas Kasus Novel, Hendardi, tak hanya bersedekap melihat data itu. Pengembangan dilakukan hingga jumlah saksi dan closed circuit television (CCTV) yang diperiksa bertambah.
Mereka juga menyisir para terperiksa yang pernah dipanggil kepolisian, mengulang, dan melengkapi bukti alibi mereka.
“Kami cek ke Malang tanggal berapa, ada enggak bukti ke Malang. Bila naik pesawat, apa ada boarding pass-nya? Kami cek. Kami datang ke Malang, kami cek lagi. Ada temannya dari Ambon yang ini misalnya, kami cek ke Ambon,” kata Hendardi.
Ia mengaku tak main-main dengan pembuktian dan temuan. Bahkan ia sudah meminta hak eksklusif dari kapolri untuk memeriksa saksi tanpa didampingi polisi. Beberapa pemeriksaan tanpa pendampingan polisi itu dilakukan.
Lagi-lagi Hendardi juga gerah. Tudingan timnya tak sungguh-sungguh bekerja cukup menyakitkan kuping. Ia heran pengalaman rekan-rekannya di Satgas Kasus Novel masih menuai pertanyaan soal integritas.
Hendardi, anggota Dewan Pakar TGPF Novel Baswedan Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
Hendardi sendiri misalnya pernah terlibat dalam Tim Pencari Fakta Pembunuhan Munir dan kasus Freddy Budiman, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti yang terlibat dalam TPF Freddy Budiman. Lalu Nurkholis adalah mantan komisioner Komnas HAM, dan Indriyanto Seno Adji adalah mantan pimpinan KPK.
Sedangkan Kikiek sendiri pernah terlibat dalam berbagai berbagai TGPF seperti kasus kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis 1997, dan kasus pembunuhan Munir.
Menyangsikan penuntasan kasus Novel sebenarnya lumrah. Kasus ini terlalu lama terkatung-katung.
Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal di sekitar rumahnya sepulang ibadah di masjid pada subuh 11 April 2017. Anggota Tim Kuasa Hukum Novel, Alghiffari Aqsa, menyebutkan penyerangan ini diduga berkaitan dengan kasus yang tengah ditangani KPK.
Ada tiga kasus yang mengemuka, yakni kasus korupsi e-KTP yang menyeret Ketua DPR kala itu Setya Novanto, kasus suap daging impor yang berujung perobekan buku merah bukti transaksi keuangan, dan kasus dugaan suap reklamasi Teluk Jakarta. Walaupun dalam kasus-kasus itu Novel tak terlibat langsung.
“Kalau memang ya, ini 3 kasus yang menjadi perhatian. Kita enggak bisa menganggap bahwa (penyerangan) ini berdiri sendiri. Kasus e-KTP, buku merah, dan reklamasi ini sangat berkaitan ketika itu,” jelas Alghiffari ketika ditemui pada Kamis (11/7).
Polisi sendiri melakukan penyidikan dengan melibatkan 172 petugas sejak kasus ini ditangani. Selama satu tahun mereka menyisir 80 saksi, menyebar sketsa pelaku, hingga bekerjasama dengan Australian Federal Police untuk memeriksa CCTV.
Sketsa pelaku penyerangan air keras Novel Baswedan Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Mereka melakukan pemeriksaan terhadap empat orang terkait hasil penelusuran, yakni Hasan Hunusalela, Mukhlis Ohorella, Muhammad Ahmad Lestaluhu, dan Niko Panji Tirtayasa. Selain itu sebuah sepeda motor yang dicurigai telah diidentifikasi sebagai milik seorang polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya bernama Yusmin.
Keempat orang tersebut dilepas karena alibi yang mereka miliki cukup untuk bebas. Mukhlis diketahui sedang berada di Bekasi saat penyerangan terjadi. Hasan mengaku sedang berada di Malang. Ahmad mengaku sedang bekerja di Jakarta Pusat. Sementara, Niko mengaku berada di Pangalengan, Bandung saat penyerangan terjadi.
Penyidikan ini masih menemui jalan gelap. Pengusutan berlarut membuat Komnas HAM membentuk tim pemantau pada 7 Februari 2018. Ramai dan seretnya penyidikan juga menuai laporan pelanggaran administrasi yang disampaikan oleh Ombudsman Republik Indonesia pada 6 Desember 2018.
“Waktu itu kan jelas dari pihak penyelidik Polri sendiri memang tidak melakukan penyelidikan sesuai SOP (Standard operating procedure/ prosedur operasi standar). Jadi memang karenanya kami merekomendasikan TG, Tim Gabungan. Kami tidak bilang TGPF, itu jadinya,” ucap mantan Ketua Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan sekaligus Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, ketika ditemui pada Jumat (12/7).
Sandra mengaku mencatat banyak perilaku polisi yang tidak memenuhi SOP ketika menangani kasus ini. Tapi ia tak mau membeberkan lebih lanjut karena bersifat rahasia.
Tim Pemantau Kasus Novel sendiri juga mendalami kasus penyerangan itu. Mereka memetakan pelaku dalam tiga kategori, pelaku lapangan, pengintai, dan perancang.
“Yang kami draf ada beberapa kategori. Ketika memeriksa seseorang, kalau dia pelaku penting, alibi dia hari itu ada di mana. Kalau dia bukan pelaku dan dia adalah pengintai, kan lain lagi dong,” ungkap Sandra.
Kasus Novel Baswedan: Kapan Selesai? Foto: Basith Subastian/kumparan
Berbagai catatan cacat penanganan kasus ini meresahkan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, yang juga tergabung dalam koalisi itu, menyebutkan kerja Satgas Kasus Novel hanya mengulang pemeriksaan. Tapi saksi dan alat bukti masih mendapat perlakuan sama.
Ia curiga satgas masih meniru polisi untuk memperdalam bukti. Misal saja membatasi jangka waktu pemeriksaan rekaman pesan singkat dan telepon yang dimiliki para terduga pelaku. Dengan membatasi jangka waktu rekaman pesan singkat dan pembicaraan telepon para terduga pelaku tersebut menurutnya akan membatasi terungkapnya pihak lain yang diduga terlibat dalam kejadian tersebut.
“Misalnya, kalau kita mau melihat call data record orang itu, maka jangan cuma 3 hari sebelumnya. Karena yang berkomunikasi 3 hari sebelum eksekusi ya pasti (hanya) pelaku lapangan,” katanya.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengungkap Satgas Kasus Novel dan liku perjalanannya pantas ditambat pesimisme. Satgas itu dibentuk Kapolri Tito Karnavian kurang dari dua pekan menjelang debat Pilpres 2019 pertama.
Kala itu debat pertama debat pertama Pilpres memang bertemakan penanganan kasus HAM. Oleh karena itu, pembentukan tim ini sejak awal dianggap tak lebih dari gimmick pemerintahan Joko Widodo soal keseriusannya menangani kasus kejahatan HAM.
“Sehingga (seolah-olah) posisi Jokowi saat itu akan clear bahwa kasus Novel akan diselesaikan,” kata dia.
Apapun kesangsian itu, penuntasan kasus penyerangan Novel laik dipertanyakan. Penanganan kasus ini berjalan terlalu lambat dan janggal. Lalu apa hasil laporan yang dihasilkan oleh Satgas Kasus Novel dalam kertas setebal 170 halaman dengan 1.500 lampiran halaman. Kita tunggu saja.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten