Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pertama, teh. Kedua, kue. Ketiga, nasi. Keempat, sayuran. Kelima, buah. Segala jenis hidangan itu tersaji dalam bilangan ganjil di atas meja yang juga berfungsi sebagai altar. Tak ada daging di rumah keluarga vegetarian itu.
ADVERTISEMENT
Di depan meja, seluruh keluarga berkumpul siap bertemu para leluhur. Sembahyang Sin Cia untuk memperingati Tahun Baru Imlek pun dimulai.
Enghuan memimpin ibadah di Senin siang itu (4/2). Ia menyalakan hio atau dupa, sementara peluh menetes di dahinya.
Udara Tangerang hari itu memang cukup panas. Titik-titik keringat sisa kesibukan mempersiapkan altar dan sesaji masih tampak jelas di wajah Enghuan.
Ia menancapkan hio pertama di depan papan kayu kecil bertuliskan nama ibunya, Then Kam Moei alias Meri. Lalu mengasapi pwa pwee—dua balok berwarna merah berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari kayu—untuk kemudian dijatuhkan ke tanah.
Pwa pwee dipercaya bisa menjadi alat untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur. Maka, tiap hasil melempar pwa pwee memiliki arti.
“Satu dupa, lalu langsung kita tanya ‘Mama udah ada di sini belum?’ Lalu kita lepas (pwa pwee). Kalau satu tengkurap dan satu telentang, berarti dia (arwah mama) sudah ada di sini duduknya,” ucap Enghuan kepada kumparan di kediamannya.
ADVERTISEMENT
Jika kedua balok pwa pwee telentang, artinya sang arwah leluhur tertawa (chiopue). Namun jika keduanya telungkup, maka maknanya negatif, yakni sang arwah marah atau tidak setuju (imbue).
“Kalau marah, mungkin ada kekurangan dalam persiapan atau hal lain,” ujar Enghuan.
Dalam delapan tahun terakhir, hanya sekali waktu arwah leluhur Enghuan pernah marah dan tak mau pergi. Sang arwah, menurut Enghuan, kala itu menanti kedatangan anaknya yang tak kunjung tiba karena terjebak macet.
Malam sudah tiba, berjam-jam sudah sembahyang berlangsung, dan telah berkali-kali ia melepas pwa pwee. Hasilnya selalu dijawab dengan kedua balok telungkup. Sang arwah menolak pulang.
“Saya bilang, ‘Udah malam. Kan saya juga repot’. Masih enggak mau pulang, masih nunggu. Akhirnya saya bilang, saya doain lagi. ‘Karena lagi di perjalanan, macet, enggak bisa pulang’. Baru dia pergi,” tutur Enghuan.
Setelah mendoakan ibunya yang meninggal delapan tahun lalu, ia bergeser ke altar sebelahnya. Di sana papan nama adiknya tersemat, Ronny Anderson. Lima hio ia ambil, doa ia panjatkan untuk sang adik yang meninggal tiga tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Di atas altar Ronny, semua sesaji berjumlah tiga. Sebab, ia meninggalkan seorang istri dan sepasang anak. Sementara di atas altar ibunya, Meri, masing-masing sajian berjumlah lima. Lima gelas teh, lima jenis buah, lima jenis sayur, dan lima jenis kue.
Enghuan kemudian mengajak kedua anak Ronny untuk maju ke depan altar dan beribadah, mendoakan sang ayah yang telah tiada.
Ia bisikkan doa-doa yang mesti dilantunkan sebab doa yang dipanjatkan sedikit berbeda. Alasannya, setelah ibadah si anak akan kembali ke kampung halaman di Bangka Belitung.
“Tadi mohon doa, anaknya ini hari mau pulang kampung. Mohon doanya, jaga keselamatan anaknya di jalan,” kata Enghuan.
Satu per satu anggota keluarga lain giliran berdoa, membakar hio berjumlah ganjil hingga puluhan tertancap sudah di masing-masing altar. Seluruh keluarga berkumpul, yang hidup atau arwah mereka yang sudah mati. Semua menyambut datangnya tahun baru Imlek, tahun Babi Tanah yang penuh kesabaran.
ADVERTISEMENT
Setidaknya itulah yang mereka percayai.
Sebelum bubar, Enghuan kembali melemparkan pwa pwee untuk terakhir kali. Bertanya, apakah arwah ibu dan adiknya siap kembali ke surga. Satu balok telungkup, balok lainnya telentang. Jawaban iya sudah diberikan.
Sembahyang hari itu ia tutup dengan membakar surat jalan dan kertas duit-duitan. Surat jalan agar lancar perjalanan pulang para arwah, sementara kertas duit-duitan menjadi bekal di dunia sana.
Di meja altar, abu hio berserakan. Menggenang di dalam cangkir teh, jatuh di atas kue-kue. Sembahyang ziarah hari itu usai. Esok mereka bisa tenang dan senang menyambut tahun baru.
Satu kilometer dari rumah keluarga Enghuan yang beragama Budha, Nenek Acit yang merupakan mertua Enghuan menjalani imlek dengan cara yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Tjhi A Tjit yang kini berusia 70 tak lagi menjalani sembahyang Sin Cia sebab ia telah berpindah keyakinan. Agama yang kini dianutnya, Kristen, tak lagi mengizinkan ia untuk memegang hio.
Ritual penyembahan untuk leluhur bertabrakan dengan agama yang kini ia yakini. Maka ia hanya menjalani tradisi-tradisi sederhana yang tak lagi melibatkan doa dan dewa-dewa.
Kemeriahan Imlek. Itulah yang ia senangi. Seribu satu macam kue-kue, makanan yang berlimpah, dan suasana berbagi yang tak kenal ras atau agama.
Sejak usia 18, Acit terbiasa sibuk membuat ragam kue khas Imlek. Kue-kue tersebut harus dibuat 10 hari sebelum tahun baru tiba. Mulai dari kue keranjang, bolu macan, kue jadul, nastar, hingga lapis legit.
ADVERTISEMENT
Ia tak lagi perlu melihat contekan resep, tangan dan ingatannya telah menghapal segala jenis bahan-bahan yang diperlukan beserta takarannya.
Jika dulu ia bisa menyiapkan segala jenis penganan khas tahun baru, menyelesaikan satu jenis kue setiap harinya. Kini ia tak lagi ngoyo, apalagi misalnya membuat dodol yang sulit dibuat. Ia lebih pilih beli daripada harus menyiksa tangannya yang sudah renta.
“Sudah tidak kuat lagi,” ucap Nenek Acit.
Selain menyiapkan segala jenis makanan, membersihkan rumah menjadi satu hal yang biasanya dilakukan jelang Imlek. Sebab, menurut kepercayaan haram hukumnya menyapu dan mengepel lantai di tiga hari pertama tahun baru.
Menurut Oey Tjin Eng, budayawan Tionghoa, membersihkan rumah adalah salah satu ritual menyambut Imlek.
ADVERTISEMENT
“Kan menyambut tahun baru, tempat-tempat yang negatif dibersihkan dulu. Biasanya di hari Imlek, nyapu ke dalam dulu. Nanti di tanggal 4 baru dibuang sampahnya,” jelas Oey Tjin Eng.
Tak hanya membersihkan rumah, ritual membersihkan diri juga menjadi salah satu tradisi jelang tahun baru Imlek. Air yang digunakan untuk mandi menjelang tahun baru diberi perasan air jeruk nipis, daun suji, dan bunga-bunga.
Mandi kembang untuk buang sial, begitulah kira-kira. “Kalau Imlek, begitu caranya. Kalau ya nggak mau, ya udah,” ucap Nenek Acit.
Di balik semangat menyambut tahun yang baru, Acit menyimpan pilu. Tahun baru kali ini ia rayakan di rumah anaknya, di salah satu kota satelit ibu kota, Tangerang.
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk kota yang bergelut dengan kehidupan masing-masing dengan bumbu sentimen agama yang kian keruh membuat suasana Imlek terasa berbeda. Berulang kali Nenek Acit membandingkan kemeriahan tahun baru Imlek di Bangka, kampung halamannya, dengan suasana kota Tangerang.
Ia rindu merayakan tahun baru dengan membuka lebar pintu rumah, berbagi makanan dan angpau, saling berkunjung dengan tetangga baik yang berkeyakinan sama atau tidak.
“Kamu bisa ke rumah aku, aku ke rumah kamu. Kamu nyicip masakan aku, aku nyicip masakan kamu,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Kalau di sana, biasanya pagi-pagi kita udah siap angpau dan duduk di depan rumah. Nanti anak-anak usia berapa juga datang, mau Islam atau bukan. Membawa rezeki juga kan anak-anak dateng. Kita pengin kasih dia angpau, biarpun kecil, kita bagi-bagi angpau seorang satu,” kenang Nenek Acit.
Ia rindu keriaan tahun baru yang dirayakan bersama, tanpa ada sekat.