Ketika Api Padam

21 September 2017 14:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kamis, 14 September 2017. Pagi itu, markas komando Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung terlihat sepi kegiatan.
ADVERTISEMENT
Selain segelintir petugas keamanan di muka gerbang dan beberapa pegawai yang berseliweran di halaman depan, bangunan merah-biru yang disebut mako (markas komando) oleh para penghuninya ini tampak seperti gedung perkantoran biasa.
Sampai akhirnya raung sirene terdengar dari kejauhan dan para satpam lari lintang pukang untuk membuka gerbang menyambutnya datang, tak ada kegiatan yang spektakuler tentang kantor pemadam kebakaran terbesar di Jawa Barat ini.
Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (Foto: Tio Ridwan/kumparan)
Bella Bhakti Nagara dan anggota regunya baru saja pulang dari misi penyelamatan. Hanya sesaat setelah apel pagi, Kamis (14/9) lalu, call center 113 DKPB Kota Bandung berbunyi nyaring. Seorang anak berusia 12 tahun di Desa Citeureup, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, memanjat tower BTS dan mengancam meloncat.
Langsung, satu regu penyelamatan dikerahkan menuju lokasi.
ADVERTISEMENT
Di sana, operasi penyelamatan tak berlangsung sulit. Si bocah, ketika diminta petugas untuk turun, ternyata langsung menurut. Ia turun --seperti keinginan bunuh dirinya tak pernah benar-benar ada ketika melihat petugas ramai-ramai mendatanginya.
Percobaan bunuh diri Ujang Soleh, anak kecil itu, berakhir bahagia. Masalahnya, misi tim pemadam kebakaran tak melulu berakhir bahagia.
Pernah suatu kali, regu Bella diburu waktu untuk menyelamatkan seorang perempuan yang terjun ke sumur. Meski telah berusaha datang cepat, tapi nyawa perempuan paruh baya tersebut sudah tak tertolong.
“Depresi si penyelamatnya. Depresi penyelamat itu ada. Drop. Karena misalkan korban harusnya bisa selamat tapi jadi meninggal, itu jadi beban mental,” ucap Bella, Komandan Regu 2 Tim Penyelamat Peleton 2, DKPB Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika menemui dua rekannya tertimbun reruntuhan tembok tinggi dan baja berat saat bertugas memadamkan api di pabrik tekstil Sindangjaya, Arcamanik, Kota Bandung, Bella sebagai komandan regu tahu bahwa anggotanya butuh pelarian sejenak untuk tak kemudian berlarut-larut pada tragedi yang lalu.
Rutinitas justru menjadi jawabannya. “Dari apel pagi, pemeriksaan kendaraan, peralatannya dicek, bekas kemarin dipakai apa aja, nanti minta laporan dari danru (komandan regu) yang kemarin, apa aja yang dipakai. Kalau ada peralatan yang kurang tajem ya kita tajemin lagi,” ucap Bella.
Rutinitas jadi obat terbaik. Regu tersebut menghabiskan waktu seperti biasa. Usai tugas pokok harian usai dilaksanakan, waktu mereka gunakan untuk berkumpul dan beristirahat. Segala macam menjadi obrolan, tawa meledak di mana-mana, dan Bella tak canggung berada di pusat semua ini.
ADVERTISEMENT
Meski menjadi pemimpin regu, batas antara satu dan lainnya tak dihadirkan. Setelahnya, mereka akan istirahat dan latihan seperti biasa --memastikan skill tak karatan ketika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Ia tahu, meski baru kehilangan sahabat hangat hanya empat hari sebelumnya, bencana tak bisa diprediksi kapan tiba lagi. “Kalau ada waktu senggang kami seringnya latihan sih. Latihan, latihan, latihan, latihan.”
Simulasi penyelamatan korban di damkar (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Shift kerja pemadam kebakaran memang tak punya padanan dengan pekerjaan lain. Mereka bekerja 24 jam dalam sehari. Meskipun setelahnya mendapat libur selama 48 jam, tetap saja, terus-terusan 24 jam berjaga dengan tuntutan fisik tetap prima adalah hal yang tak mudah.
Bayangkan saja, apabila pagi-siang-sore-malam tak ada kejadian, tiba-tiba, di esok harinya pukul 07.00 WIB pecah kebakaran besar, yang seharusnya pulang dalam satu jam, bagaimana jadinya?
ADVERTISEMENT
“Kalau ada kejadian jam 7 pagi? Sama, kami laksanakan, sampai seberesnya,” ucap Bella. Ia tak mempermasalahkan jadwal berat itu. Baginya, dan rata-rata pemadam lain, menjadi pemadam membawa kebanggan tersendiri bagi batin mereka.
“Bahkan, kalau kejadiannya luar biasa ya nggak dilihat lagi libur, ya tetep dikerjain dulu. Karena nyangkut nyawa orang lain, yang bisa kita selamatkan ya kita selamatkan,” kata Bella.
Saat Api Padam (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Memiliki total waktu libur 20 hari selama satu bulan memang terlihat menyenangkan. Anda bisa bermanja-manja dengan anak-istri, Anda bisa lebih banyak bercengkerama dengan tetangga, dan pastinya, Anda tak akan pusing mengatur waktu untuk jalan-jalan sehari-dua dengan sanak keluarga.
Masalahnya, pasukan pemadam kebakaran dituntut tetap waras dan siaga selama 24 jam ia berjaga.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, Rabu kemarin(20/9), ada 6 kejadian yang memerlukan penyelamatan dari DKPB Kota Bandung. Dan keenam-enamnya terjadi sebelum pukul 18.00 WIB. Padahal, jatah piket berlangsung sampai esok hari pukul 08.00 WIB.
Masalah lain datang di bulan Juli, Agustus, dan September, yang merupakan musim kemarau di Indonesia. Udara kering menyebabkan berbagai benda mudah terbakar. Bahkan, puntung rokok yang tak selesai mati baranya dengan gampang akan membakar alang-alang, yang kemudian merembet ke tempat-tempat sekitarnya.
Nah, pertanyaannya: bagaimana pemadam menanggapi sulitnya berjaga dengan jadwal seperti itu?
Setelah melaksanakan tugas harian di pagi hari --macam apel, pemeriksaan armada, pemeriksaan peralatan-- lalu melaksanakan latihan, dan mengolah tubuh di gimnasium yang tersedia di mako DKPB Kota Bandung, para pemadam memilih untuk banyak beristirahat dengan tidur di barak.
ADVERTISEMENT
Di ruangan dengan uar bau abu yang kuat tersebut, para pemadam kebakaran terlelap. Jendela-jendela di sisi ruangan mereka tutup dengan koran agar cahaya tak mudah masuk, supaya ruang remang-remang membuat mereka lebih cepat tertidur.
Jatah tidur ini biasanya dibagi, agar sewaktu-waktu jika bencana terjadi, beberapa di antara mereka bisa langsung tancap gas sementara yang lain mempersiapkan armada.
Pemadam yang tengah beristirahat (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Meski begitu, jadwal kerja pemadam kebakaran tersebut bukanlah yang paling parah. Di bagian call center 113 mereka, yang setiap hari berjaga siang-malam untuk menerima laporan dari masyarakat, jadwal justru lebih gila lagi.
Setiap harinya ada tiga shift kerja, yang terdiri dari 8 jam. Seorang pegawai call taker akan bekerja 7 hari setiap minggunya, dengan jumlah jam kerja 8 jam. Sisa 16 jam di hari yang sama dianggap sebagai masa libur.
ADVERTISEMENT
“Untuk damkar center ini kita ada 17 orang personel,” ujar Joko Widodo, salah seorang operator call taker yang berstatus sebagai Pekerja Harian Lepas (PHL).
“Setiap regu kami ada yang 6, ada yang 5 personel. Dibagi menjadi 3 regu dan dibagi menjadi 3 shift. Seharinya, 8 jam per hari. Gantian.”
Tugasnya, walaupun terlihat sederhana seperti mengangkat telepon, ternyata membutuhkan keahlian khusus: kesabaran.
“Bisa mencapai rata-rata 200 telpon yang iseng, sering,” ujar “Pak Presiden”, sebutan untuk Joko Widodo, di antara teman-temannya.
Yang Pak Presiden maksud adalah telepon iseng, yang mengontak call center 113 pemadam kebakaran hanya untuk sekedar, well, iseng. Jumlahnya luar biasa banyak.
Joko Widodo (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Pernah suatu kali, petugas call center tak kalah iseng. Mereka mencatat berapa jumlah telepon-telepon ngawur tersebut. “Jumlahnya lebih dari 200, lupa, waktu itu awal-awal kerja di sini.”
ADVERTISEMENT
“Biasanya mereka ya iseng-iseng aja, nggak tahu seperti apa bentuknya. Kadang-kadang tiup-tiup, kadang cuman say hello doang, tapi kami kan wajib untuk mengangkat telpon yang masuk,” jelas Pak Presiden, yang kebetulan juga didapuk sebagai komandan regu operator call taker oleh teman-temannya.
Kelakuan masyarakat yang seperti ini tentu tak bisa dibenarkan. Ditakutkan, apabila seharusnya ada laporan masuk, ketika ada beberapa telepon sekaligus, justru laporan yang serius dialihkan karena sibuk--menerima laporan yang iseng.
“Paling kami hanya mengangkat telepon sesuai prosedur. Greeting. Kalau sudah tidak jelas, kami tutup lagi saja karena takut ada telepon lain yang masuk,” ujar Pak Presiden.
Lalu bagaimana ketika salah satu operator call taker ingin liburan atau tengah ada acara keluarga yang mengharuskan mereka tak bisa kerja lebih dari 16 jam?
ADVERTISEMENT
“Kalau misal mau libur, janjian sama temen (supaya dijagain). Itu juga kalau ada hal-hal mendesak,” ujar Pak Presiden.
Selalu ada makna penting di balik pekerjaan seterlihat sepele pun itu.
Terima kasih, Pak Presiden.