Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pilihan, terkadang adalah barang mewah bagi sebagian orang. Dan hidup bisa jadi serasa jerat perangkap tanpa jalan keluar, selain menjalaninya.
ADVERTISEMENT
Barangkali itulah yang dirasakan waria--yang merasa terperangkap dalam kelamin lelaki sementara jiwa di dalamnya adalah wanita.
Alhasil, ketika mereka ingin, mencoba, atau telah mengekspresikan diri berbeda dengan gender yang mereka milliki, keganjilan terasa. Bukan saja bagi masyarakat di luar, pun di dalam diri mereka sendiri.
“Menjadi waria bukan pilihan saya. Ini adalah sesuatu yang memang harus dijalani,” ujar Shinta Ratri, waria asal Yogyakarta kepada kumparan, Rabu (28/6).
Takdir yang bukan pilihannya itu ia coba jalani sebaik-baiknya, salah satunya dengan merawat Pondok Pesantren Al-Fatah, yang dipaksa ditutup pada 2016.
Empati terhadap kaum sesama mendorong Shinta untuk menjaga wadah spiritualitas--yang langka--bagi mereka yang kerap dipandang ganjil.
Waria. Kata akronim dari wanita-pria ini biasanya merujuk pada laki-laki yang berdandan dan berperilaku seperti wanita. Di luar soal seperti apa jiwa yang berada di dalamnya, kita menyebut waria untuk semua orang yang memiliki fisik laki-laki, namun berdandan lengkap dengan gincu dan rambut panjang serta pakaian perempuan.
ADVERTISEMENT
Kata waria populer sebagai pengganti kata wadam--akronim dari Hawa-Adam--yang mendulang protes dan ditolak banyak pihak, terutama kelompok agama.
Ben Murtagh, dalam buku Genders and Sexualities in Indonesia Cinema, menceritakan bahwa istilah waria mulai diperkenalkan pada 1978. Menteri Agama, Alamsyah, menawarkan term itu untuk mengganti kata wadam yang diperkenalkan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada 1960-an.
Istilah yang diusulkan oleh Ali Sadikin itu kemudian digunakan sebagai nama organisasi yang mewadahi para waria, bernama Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad).
Wadam yang kemudian beralih menjadi waria, tulis Tom Boellstorf dalam artikel Waria, Indonesian Transvestites, menjadi istilah pertama tanpa nada penghinaan untuk banci. Banci kerap dipelesetkan sebagai akronim dari bandule cilik (testisnya kecil) atau dikaitkan dengan sifat pengecut.
ADVERTISEMENT
Transvestis adalah sebutan bagi mereka yang senang berpenampilan, bertingkah, dan berdandan seperti lawan jenisnya.
Usia kata banci memang jauh lebih tua dan purba dibanding term wadam dan waria. Istilah ini populer sejak 1830, ketika Jakarta masih bernama Batavia.
Kala itu terdapat kelompok tari bernama Bantji Batavia. Tarian dibawakan oleh lelaki muda yang berpakaian seperti wanita, dengan pakaian ala perempuan Eropa--gaun dan kaus kaki putih dan gelang kaki.
Boellstorf dalam buku A Coincidence of Desires: Antrophology, Queer Studies, Indonesia mengatakan bahwa kelompok tari Bantji Batavia mirip dengan kesenian Ludruk dari Surabaya dan diperkirakan berasal dari Bali.
Hal itu senada dengan yang dituliskan Miguil Covarrubias dalam buku Island of Bali.
ADVERTISEMENT
“Di Bali terdapat orang-orang yang disebut dengan bentji, dalam bahasa Bali itu berarti hermafrodit, salah satu karakter dewa yang jelek dan konyol di antara manusia. Bentji biasanya laki-laki aseksual sejak lahir (atau impoten) yang bertingkah dan berdandan seperti perempuan,” tulis Covarrubias.
Dikutip dari Historia, banci setidaknya memiliki empat jenis. Banci abadi, yang mengenakan busana perempuan dalam keseharian. Banci separuh, hanya mengenakan baju wanita dalam waktu-waktu tertentu. Banci bantet, yang gagal menjadi bencong. Dan banci yang menutupi identitasnya.
Banci yang dulu biasa menghibur dengan tarian dan nyanyian dari panggung ke panggung, semakin ditolak keberadaannya. Akhirnya mereka pun mengendap-endap, menjadi pengamen jalanan hingga penjaja seks di simpang jalan. Karena kehadiran mereka secara terang-terangan ditolak, maka dalam gelap mereka kemudian hidup.
ADVERTISEMENT
Ketika mendukung terbentuknya Hiwad, Ali Sadikin berpikiran para banci itu harus juga berdaya guna, menggali potensi, memperoleh pendidikan, dan juga bekerja secara halal. Namun, penghidupan mereka sulit karena tekanan ekonomi hingga sosial.
Perbedaan antara kelamin yang dimiliki dengan perasaan dan identitas yang dirasakan dan diekspresikan, membuat mereka banyak mengalami penolakan. Mulai dari keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat menolak keberadaan mereka. Meskipun mereka nyata ada dalam realita kita.
Shinta Ratri menceritakan bagaimana kawan-kawannya sesama waria ditolak lalu kabur, bahkan sedari SMP.
“Apa yang bisa dilakukan tanpa pendidikan dan modal? Melacur. Mereka akhirnya banyak yang menjadi pekerja seks. Yang terjadi ketika mereka tumbuh besar, moralnya ya moral jalanan,” tutur Shinta.
ADVERTISEMENT
Banyak dari kita kebingungan. Apakah mereka laki-laki atau perempuan? Mereka tertarik pada laki-laki atau perempuan?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tak selalu sama.
Jika melihat dari penampilan, maka mereka --seperti dalam tulisan Boellstorf-- dikategorikan terlebih dulu sebagai transvestis. Semata suka berpakaian sebagai lawan jenis, dalam hal ini laki-laki yang suka berpakaian sebagai wanita.
Akan tetapi, banci atau waria ini tidak merasa sebagai laki-laki, meskipun penis adalah kelamin yang mereka miliki sejak lahir. Sebagian dari mereka merasa sebagai perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki, bukan hanya laki-laki yang senang berpakaian sebagai wanita.
“Kami mempertanyakan, kenapa kami fisiknya laki-laki tapi jiwanya perempuan. Lebih hebat lagi, kalau jatuh cinta, kami kok jatuh cintanya dengan laki-laki? Apa ini? Kenapa begini?” cerita Shinta.
ADVERTISEMENT
Kebingungan bukan hanya mendera kita yang melihat, tapi terlebih mereka yang mengalami. Mereka menolak disebut homoseksual, karena mereka merasa sebagai perempuan, maka wajar jika menyukai laki-laki.
Tapi mereka tidak meminta semua orang bisa memahami apa yang ada dalam hati mereka. Bagi mereka, sebagai manusia yang sama dan setara, mereka hanya ingin memperoleh hak-hak asasi mereka.
“Kami hanya berjuang merebut hak-hak dasar kami. Itu saja,” ujar Mami Yulie, aktivis pembela waria dalam salah satu wawancara terdahulu.