Kisah Guru SD yang Cuma Bisa Diam saat Dipukul dan Dijambak Siswa

1 November 2024 9:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sari (29), seorang guru madrasah ibtidaiyah (MI) swasta di Jakarta, bercerita bahwa jilbabnya pernah dijambak seorang siswa yang duduk di kelas 2. Siswa itu bahkan memukulnya dan menerakinya 'guru bego'.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu terjadi tahun 2023 lalu saat Sari menjadi wali kelas. MI merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD).
"Rasanya pengin banget marah, pengen nampar, pengen nonjok, tapi kan mikir lagi, kayaknya enggak bisa. Kayak enggak mendidik dia juga. Pasti guru entar disalahin kan karena mukul murid. Cuma udah kesel banget sampe nangis kan. Sampai di hati tuh cuma astagfirullah. Terus anak itu keluar sambil banting botol minum sampai pecah," kisah Sari kepada kumparan, Rabu (30/10).
Awalnya, kata Sari, anak didiknya di kelas 2 C dikejar-kejar siswa dari kelas lain. Anak didiknya lalu ketakutan hingga bersembunyi di bawah meja dan meminta perlindungan Sari. Usut punya usut, anak didiknya itu rupanya memergoki siswa kelas 2 B tersebut mencoret-coret tas mahasiswa magang yang sedang mengajar.
Ilustrasi anak nakal. Foto: Shutter Stock
Kala itu, tutur Sari, anak didiknya menasihati siswa di kelas lain tersebut agar tidak berbuat jahat. Namun, siswa tersebut tak terima dan justru menendang dan memukul anak didik Sari. Siswa di kelas B itu memiliki postur yang besar dan tercatat memang memiliki banyak kasus di sekolah.
ADVERTISEMENT
"Terus sampai akhirnya ortunya dipanggil segala macam sampai sekolah bingung mau gimana. Anaknya sudah ke psikolog segala macam. Emang masalahnya dari rumah juga, jadi sulit. Ortunya ngelindungin anaknya," kata Sari.
"Ya sampai akhirnya banyak ortu yang protes anaknya diganggu sama siswa ini, sekolah menskors siswa tersebut. Lantas setelah diskors , mungkin ortunya merasa rugi kali ya, sudah bayar tapi enggak sekolah, akhirnya ortunya mindahin ankanya," lanjutnya.
Ilustrasi gedung sekolah. Foto: Shutter Stock

Kepribadian Anak di Rumah dan Sekolah Bisa Berbeda

Menurut dosen psikologi pendidikan Universitas Indonesia (UI), Wuri Prasetyawati, kepribadian anak saat di sekolah maupun di rumah bisa saja berbeda. Menurutnya, hal itu bisa terjadi lantaran situasi yang menjadi pencetus respons antara di sekolah maupun di rumah juga berbeda.
"Ternyata setelah ditelusuri kalau di rumah memang dia sendirian, enggak ada orang, enggak ada temannya. Tapi kalau di sekolah dia ada temannya. Mungkin juga ada temannya yang suka mengganggu, nyebelin dan lain sebagainya yang membuat anak meledak-ledak," jelas Wuri saat dihubungi secara terpisah.
Wuri Prasetyawati. Foto: dok. Universitas Indonesia
Wuri menyebut ada banyak faktor yang menyebabkan seorang anak jadi meledak-ledak. Selain faktor hormon, kata Wuri, anak-anak juga seringkali meniru lingkungan sekitarnya. Jika si anak sering terpapar dengan kekerasan, kata dia, bisa jadi di anak kemudian meniru dan merasa memang itulah cara untuk menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, kata Wuri, penting bagi guru mengenal latar belakang anak itu seperti apa. Menurutnya, guru juga bisa mengobrol dengan orang tua untuk memahami alasan anak bisa berkelakuan kasar.
"Dari situ [orang tua] sadar 'oh anak saya tidak bisa mengontrol emosinya dengan orang lain', sehingga orang lain jadi enggak berteman dengan orang itu. Sehingga dia [anak] perlu dibantu urusan gimana caranya berhubungan dengan temannya tanpa menyakiti," lanjutnya.

Bisa Jadi Persoalan Sistemik

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai ada persoalan sistemik di balik fenomena siswa yang membangkang terhadap guru. Doni justru mencurigai kurikulum merdeka yang diibawa Mendikbudristek era Jokowi, Nadiem Makarim, sebagai salah satu faktornya.
Selain itu, menurut Doni, Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan justru membuat posisi sekolah menjadi lembek.
Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan Kemendikbud, Doni Koesoema. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Dalam aturan itu, kata Doni, tidak naik kelas maupun tidak lulus didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap hak anak. Kalau siswa tidak naik kelas, kata Doni, mereka bisa dituntut orang tua.
ADVERTISEMENT
"Kurikulum merdeka itu fokusnya guru menghamba pada anak, guru nurutin apa maunya anak. Kemudian, itu dimanfaatkana anak, 'Oh berarti suka-suka saya saja. Guru harus ngikutin apa maunya siswa'. Ini kekeliruan mendasar," jelas Doni saat dihubungi terpisah.
Supaya kurikulum merdeka itu bisa berjalan, sambung Doni, konsep-konsep teknisnya harus bisa diperbaiki. Menurutnya konsep tentang disiplin positif dalam kurikulum merdeka tak sampai kepada sekolah. Belum lagi banyak guru yang tidak medapat pelatihannya.
Selain itu, lanjutnya, sanksi atau hukuman apa pun itu harus tetap ada. Menurutnya, sanksi seharusnya sudah ditentukan sekolah sejak awal dan itu diketahui oleh orang tua. Guru bisa melakukan itu dan orang tua enggak bisa protes, karena sudah menandatangani perjanjian
ADVERTISEMENT
"Agar kurikulum merdeka bisa berjalan dengan efektif, kurikulum ini harus dievaluasi, jangan dipaksakan seperti sekarang," lanjutnya.
Reporter: Aliya R Putri