Kisah Malaysia: Sempat Sukses Kendalikan Penyebaran Corona, Kini Terseok-seok

28 Mei 2021 18:34 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ulama Muslim Malaysia Rafie Zainal dan anggota timnya membantu anggota keluarga korban COVID-19, saat penguburan di sebuah pemakaman, di Gombak, Malaysia (23/5). Foto: Lim Huey Teng/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ulama Muslim Malaysia Rafie Zainal dan anggota timnya membantu anggota keluarga korban COVID-19, saat penguburan di sebuah pemakaman, di Gombak, Malaysia (23/5). Foto: Lim Huey Teng/REUTERS
ADVERTISEMENT
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang sempat sukses mengendalikan pandemi COVID-19. Prestasinya itu bahkan dimuat ke dalam laporan Studi Kasus WHO yang rilis pada Agustus 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
Siapa sangka mulai Oktober 2020 hingga kini, laju penyebaran virus corona di Negeri Jiran tersebut malah perlahan-lahan menanjak. Bahkan, rasio infeksi di negara ini melampaui negara-negara tetangganya dengan angka 16 ribu infeksi per 1 juta kasus.

Ketersiapan Malaysia Melawan Corona

Dalam laporan WHO yang dikutip kumparan, Malaysia dianugerahi predikat sebagai negara yang terbukti memiliki ketersiapan yang baik.
“Malaysia adalah negara berpendapatan menengah ke atas dengan kapasitas dan kemandirian yang kuat dalam hal ketersiapan dan respons, dibuktikan dengan pengalaman-pengalamannya dalam menangani berbagai wabah penyakit menular,” jelas laporan tersebut.
Selama bertahun-tahun menghadapi wabah penyakit, Malaysia terus menerus memperkuat sistem pelayanan kesehatan mereka. Hingga ketika mereka pertama kali menerima informasi soal infeksi SARS-CoV-2 pada Desember 2019, Pemerintah Malaysia langsung mengantisipasi penyebaran virus tersebut dan meningkatkan pengawasan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pelayanan kesehatan yang baik juga disebut sebagai nilai plus yang dimiliki Malaysia, yang juga kunci dari penanganan awal COVID-19 yang memadai.
Seorang pekerja medis mengumpulkan sampel usap dari seorang wanita untuk diuji penyakit COVID-19 di Kuala Lumpur, Malaysia, (11/5). Foto: Lim Huey Teng/REUTERS
Malaysia juga sudah melewati dua gelombang pandemi dalam kurun waktu dua bulan sejak kasus COVID-19 pertama diidentifikasi. Kematian pertama akibat COVID-19 tercatat pada 17 Maret 2020.
“Gelombang pertama dimulai dengan tiga kasus impor dari China lewat Singapura pada 24 Januari 2020, menghasilkan hanya 22 kasus pada pertengahan Februari. Selanjutnya diikuti dengan gelombang kedua, yang dimulai pada 27 Februari 2020. Gelombang kedua ini dipengaruhi oleh penularan yang terjadi di acara ibadah keagamaan di Sri Petaling, Kuala Lumpur, dihadiri oleh 14.500 warga Malaysia dan 2.000 warga asing,” papar laporan WHO tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Malaysia langsung merespons lonjakan kasus tersebut dengan mengerahkan seluruh fasilitas kesehatannya, seperti meningkatkan kapasitas diagnostik laboratorium, menambah kapasitas tempat tidur perawatan, dan ventilator.
“Dalam upaya sesegera mungkin untuk mencegah penularan, Malaysia menutup perbatasan negaranya dan hanya mengizinkan warga negara atau penduduk Malaysia untuk masuk ke negaranya, yang kemudian diikuti dengan karantina selama 14 hari,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Malaysia juga menggalakkan strategi “Search, Test, Isolate, Treat, and Quarantine” (STITQ) atau “Lacak, Tes, Isolasi, Rawat, dan Karantina” untuk mengungkap kasus-kasus suspek di masyarakat.

Respons Gelombang 2, Malaysia Lockdown Ketat Nasional

Suasana sepi saat lockdown di Kuala Lumpur, Malaysia. Foto: Lim Huey Teng/Reuters
Usai penularan masif di acara keagamaan tersebut, Pemerintah Malaysia langsung menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat yang bernama Perintah Pergerakan Kawalan Kerajaan Malaysia (Movement Control Order, MCP) pada 18 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
MCO ini membatasi perjalanan domestik maupun internasional, melarang perkumpulan masyarakat besar, penutupan fasilitas pemerintah dan swasta, juga sekolah dan institusi pendidikan.
“MCO sukses menurunkan angka kasus COVID-19, dari rata-rata 170 kasus baru per hari di pekan pertama April hingga 74 kasus pada pekan terakhir April,” jelasnya.
Kemudian pada 10 Juni 2020, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengumumkan akan kembali membuka hampir seluruh aktivitas perekonomian Malaysia dan mengizinkan perjalanan dalam negeri.
PM Muhyiddin menyatakan bahwa wabah virus corona di Malaysia sudah “sukses” dikendalikan, dan negara ini akan segera memulai fase pemulihan hingga 31 Agustus 2020.
“Saya sadar bahwa pemerintah tak bisa selamanya mengendalikan hidup Anda demi mengendalikan virus ini,” ujar Yassin, dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT

Kasus COVID-19 Perlahan Menanjak

Suasana Kuala Kumpur, Malaysia, setelah pelonggaran lockdown, Senin (4/5). Foto: Reuters/Lim Huey Teng
Pada 28 Agustus 2020, Malaysia mengumumkan akan memperpanjang beberapa pembatasan pergerakan masyarakat untuk tetap menahan penularan COVID-19. Perpanjangan tersebut akan dilakukan hingga 31 Desember 2020.
Dikutip dari Reuters, Malaysia mencatat penurunan kasus yang signifikan. Pada 28 Agustus, hanya sebanyak 10 kasus COVID-19 yang dilaporkan. Hampir seluruh sektor telah kembali dibuka, dengan pembatasan sosial ketat.
Keadaan mulai berubah ketika memasuki bulan September 2020. Pada 7 September, Malaysia melaporkan penambahan kasus harian tertinggi sejak bulan Juni 2020, yakni 62 kasus. Berlanjut ke akhir September, tepatnya pada tanggal 23, penambahan infeksi hingga 147 kasus dilaporkan.
Situasi diperburuk dengan berlangsungnya kampanye untuk Pemilu di negara bagian Sabah yang diselenggarakan pada 26 September.
ADVERTISEMENT
Pada 7 Oktober 2020, The Straits Times melaporkan sebanyak 691 kasus baru COVID-19 nasional di Malaysia, dengan 219 disumbangkan oleh Sabah. Bahkan, satu menteri kabinet dan lima anggota dewan terkonfirmasi positif COVID-19 usai kembali dari Sabah.
PM Muhyiddin mengakui bahwa pemilu Sabah mengakibatkan kasus corona meroket. Pemilu di Sabah akhirnya menyebabkan negara tersebut masuk ke gelombang ketiga pandemi.
“Dalam merumuskan pertimbangan ini, Kabinet memperhitungkan konsekuensi penularan COVID-19 di Sabah usai pemilu pada September,” ujar Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, pada 18 November 2020.
Sejak itu, pandemi di Malaysia kembali memburuk. Kasus harian yang tadinya hanya ratusan, mulai bertambah menjadi di atas angka seribu. Klaster-klaster kasus baru mulai bermunculan seiringan dengan penambahan kasus kematian akibat COVID-19.
ADVERTISEMENT
Malaysia kembali memberlakukan MCO dengan ketat sebagai upaya menahan laju penyebaran virus tersebut.
Tetapi, kasus terus meningkat hingga sempat mencapai puncaknya pada awal Februari 2021 dengan kasus harian mencapai di atas 5 ribu kasus. Total kematian tercatat 2 ribu kasus.
Seiringan dengan dimulainya vaksinasi COVID-19 pada 24 Februari 2021, kasus dan angka kematian harian yang sempat memuncak juga ikut menurun.
Penurunan kasus harian yang terjadi bisa dibilang signifikan; dari sebelumnya di atas 4-5 ribu, akhirnya menyentuh angka sekitar seribu kasus per hari.
Tetapi, penurunan itu hanya berlangsung selama kurang lebih dua bulan. Mulai April 2021, Malaysia kembali dihantam badai COVID-19 dengan kasus dan kematian yang meningkat hampir setiap harinya.
ADVERTISEMENT

Kasus Corona Malaysia Capai Puncak?

Warga meninggalkan Woodlands Causeway menyeberang ke Singapura dari Johor, sebelum Malaysia lockdown. Foto: REUTERS / Edgar Su
Merespons krisis yang dihadapi Malaysia ini, mantan PM Malaysia, Dr Mahathir Mohamad, menyinggung sikap pemerintah Malaysia yang menurutnya terlalu percaya diri.
“Ketika kita pertama kali diserang [oleh virus corona], negara ini harus menerima pengendalian pergerakan total. Tak ada mobil di jalanan, tak ada pejalan kaki,” ujar Mahathir, Kamis (20/5/2021), seperti dikutip dari The Straits Times.
“Setelah satu bulan, kita mengucapkan selamat atas kesuksesan kebijakan tersebut. Kita jadi terlalu percaya diri. Kita percaya, kita tahu bagaimana mengendalikan pandemi. Dan kita menyelenggarakan pemilu di Sabah,” lanjut Mahathir.
Menurut Mahathir, bazaar pada bulan Ramadan tahun ini lah menjadi dalang peningkatan kasus. Saat bazaar, orang akan berkumpul untuk membeli makanan atau sekadar melihat-lihat, dan tanpa sadar kerumunan akan terjadi.
ADVERTISEMENT
“Kita tak belajar sama sekali. Bulan Ramadhan merupakan bulannya bazaar. Semua orang suka bazaar. Tentu saja, banyak orang yang melihat bazaar sebagai kesempatan untuk memperoleh lebih banyak pemasukan,” beber Mahathir.
Malaysia akhirnya kembali memberlakukan lockdown nasional mulai 10 Mei hingga 7 Juni mendatang demi menahan penyebaran virus corona.
Kini, Malaysia menelan pil pahit. Tingkat keterisian tempat tidur perawatan dan ICU mereka melampaui 70 persen, para tenaga kesehatan dan rumah sakit mulai kewalahan.
Warga Malaysia murka terhadap pemerintah dan serentak menggunakan tagar #KerajaanGagal di media sosial untuk mengekspresikan kekecewaan mereka.
Keadaan diperparah dengan fakta lainnya. Dari 32 juta populasi Malaysia, baru sekitar 3 persen warganya yang sudah divaksinasi dari target 80 persen pada akhir tahun 2021. Beberapa pihak menyebut program vaksinasi pemerintah terlalu lamban, meskipun Kementerian Kesehatan Malaysia telah menekankan bahwa vaksinasi mereka telah berada di jalur yang tepat.
ADVERTISEMENT
Pasokan vaksin COVID-19 mereka, yang disalurkan oleh 3 perusahaan besar: Pfizer/BioNTech, Sinovac, dan AstraZeneca, disebut memadai dan akan mampu mengimunisasi hingga 70 persen populasinya, demi mencapai herd immunity.
Kematian akibat COVID-19 juga terus mencetak rekor. Per Kamis (27/5), Malaysia mencatat kematian hingga 59 jiwa, menyebabkan para relawan pemulasaraan jenazah kesulitan dalam menangani pemakaman jenazah yang meningkat hingga 30 kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Malaysia pada awalnya berhasil dengan gemilang, tetapi kini terseok-seok. Ketersiapan dan penanganan yang memadai, sayangnya harus diruntuhkan oleh keganasan si virus dan juga kelalaian--baik pemerintahnya maupun warganya sendiri.
****
Saksikan video menarik di bawah ini: