Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Masyarakat Polahi di Gorontalo yang Punya Tradisi Nikah Sedarah
28 November 2018 12:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Imbas kolonisasi Belanda di Indonesia masih terasa kuat di pedalaman Provinsi Gorontalo. Di sebuah pegunungan bernama Boliyohuto hidup suatu masyarakat yang dikenal sebagai Polahi atau yang berarti mengasingkan diri. Sesuai namanya, masyarakat Polahi puluhan tahun mengasingkan diri ke hutan lantaran menolak dipekerjakan paksa oleh Belanda.
ADVERTISEMENT
Meskipun Belanda kini tak lagi bercokol di Indonesia, masyarakat Polahi tetap enggan turun dari hutan pegunungan. Mereka serasa hidup merdeka di hutan sehingga kemudian melahirkan berbagai budaya atau tradisi khas yang unik.
Dari penuturan salah satu anggota pecinta alam dari Korpala Gorontalo, Sutriyono Pulubuhu atau yang akrab disapa Leo, masyarakat Polahi terbagi menjadi empat kelompok. Leo yang sering mengunjungi masyarakat Polahi menyebutkan satu kelompok berada di arah barat Boliyohuto, sedangkan sisanya berada di arah utara.
Masyarakat Polahi hidup nomaden. Mereka tinggal dalam gubuk-gubuk kayu sederhana supaya mudah untuk ditinggalkan.
“Jadi ketika ada yang meninggal orang itu akan dikubur di situ. Kemudian mereka tinggalkan tempat itu. Mereka pindah cari lokasi baru lagi. Yang mereka bawa alat masak, pakaian, terus piring gelas, dan alat yang bisa dipakai,” tutur Leo kepada kumparan, Selasa (28/11).
ADVERTISEMENT
Rasa takut yang mendalam terhadap jenazah menjadi musabab mengapa masyarakat Polahi meninggalkan rumah mereka.
Mereka berpindah ke tempat lain, lalu membangun gubuk-gubuk baru. Dengan pola hidup demikian, masyarakat Polahi hanya berkutat dengan kelompoknya. Hal tersebut kemudian melahirkan tradisi pernikahan sedarah atau antarsaudara.
Tradisi tersebut sudah jamak diketahui oleh sebagian masyarakat Gorontalo. Wajar saja, karena pernikahan sedarah sudah berlangsung lama, yaitu semasa penjajahan Belanda.
“Dan untuk pernikahan antarsaudara itu memang masih ada dikarenakan mereka masih awam dengan hukum Islam dan masih memakai caranya mereka membolehkan untuk nikah antar saudara,” urai Leo.
Terkait hal tersebut, menikah sedarah atau lazim disebut inses masih menjadi ihwal yang tabu di Indonesia. Tentu, ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah hasil dari pernikahan sedarah itu tidak menyebabkan kecacatan fisik atau mental pada keturunan mereka?
ADVERTISEMENT
“Kalau kejiwaan sama sekali tidak ada, idiot tidak ada. Cuma cara berbahasa mereka kita kurang paham. Mereka berbicara dengan Bahasa Gorontalo yang asli,” kata Leo.
Tentang pernikahan sedarah ini nyatanya perlahan mulai ditinggalkan. Namun, beberapa di antara mereka masih tetap ada yang yang menerapkan praktik ini.
Sementara itu, Leo memandang ada yang berbeda dari segi fisik masyarakat Polahi dengan yang lainnya.
“Untuk dari segi anatomi, berbeda dengan kita yang biasa. Itu di belakang di bawah lehernya itu dia mirip sapi bongko. Ada itu sapi yang besar itu,” sebut Leo.
Meski hidup mengasingkan diri dan bertradisi berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat Polahi terbilang terbuka dengan masyarakat di luar lingkupnya.
ADVERTISEMENT
Budaya sehari makan sekali
Saat berkunjung ke masyarakat Polahi, beberapa budaya mereka sempat membuat Leo takjub. Salah satu yang paling dia ingat betul adalah kebiasaan masyarakat Polahi yang hanya makan sehari sekali.
“Dan uniknya mereka sehari itu cuma makan sekali yaitu di sore hari. Iya saya pun kaget itu. Jadi dia makan di saat jam 5 sore saat menjelang magrib, nanti besoknya lagi jam 5 sore dia makan,” Leo berkisah.
Masyarakat Polahi biasa makan umbi-umbian yang sebelumnya telah mereka tanam. Diketahui mereka bercocok tanam menanam umbi-umbian (ubi jalar), pepaya, dan pisang. Mereka tidak terbiasa dengan makanan pokok masyarakat pada umumnya, seperti beras.
Namun, bila ada yang berkunjung dan membawa makanan, masyarakat Polahi tidak segan untuk memakan makanan tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada yang berkunjung, barang ditaruh di luar hilang itu. Kayak kemarin saya bawa buat dua hari itu langsung ludes. Makanan habis. Mereka kaget dengan makanan yang kita bawa,” tutur Leo.
Meski hidup terasing, satu atau dua masyarakat Polahi sudah berani ada yang turun ke permukiman masyarakat. Mereka pergi ke pasar untuk berinteraksi dan membeli kebutuhan seperti kopi dan gula.
Kendati demikian, mayoritas masyarakat Polahi tetap memilih untuk tinggal di hutan pegunungan.
“Mereka tidak ada niatan turun, sampai sekarang masyarakat Polahi itu masih trauma. Jadi turun menurun mereka bilang jangan ke bawah. Masih ada mereka, ya mereka ini yang dimaksud Belanda,” tutup Leo.