Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Mugiyanto Korban Penculikan 1998: Aku Dihajar, Disetrum, Diancam Dibunuh
25 Desember 2023 20:04 WIB
·
waktu baca 12 menitTubuhnya di masa kini, tapi sorot matanya melihat peristiwa 25 tahun lalu, pada 1998 , ketika ia diculik, dipukul, disetrum, hingga diancam dibunuh dan dibuang ke jalan tol.
Mugiyanto Sipin menyebut, anggapan bahwa kasus pelanggaran HAM berat adalah isu musiman yang muncul tiap Prabowo Subianto nyapres adalah omong kosong, sebab keluarga korban berjuang setiap saat—24 jam 7 hari—untuk mengetahui kebenaran.
Pria kelahiran 1973 itu lantas membuka ingatan ke masa kala ia dan rekan-rekannya sesama aktivis 98 mengalami penculikan dan penghilangan paksa menjelang tumbangnya Orde Baru pada medio 1997-1998.
Dari 23 aktivis yang diculik, 9 kembali termasuk Mugi, sedangkan 14 lainnya masih hilang.
Periode hitam itu begitu membekas di benak Mugiyanto. Hingga kini, ia masih takut mendengar bunyi “krek-krek” handie talkie—suara yang membersamainya ketika diculik orang tak dikenal.
Meski belum ada sejarah resmi soal siapa dalang di balik peristiwa ini, tudingan penculikan itu mengarah ke Tim Mawar, kesatuan kecil dalam Komando Pasukan Khusus yang kala itu dipimpin Prabowo.
Ketika peristiwa penculikan 1998 disinggung dalam debat capres perdana 12 Desember 2023, Prabowo mengatakan isu ini bentuk politisasi. Ia berujar, tahanan politik yang disebut-sebut ia culik nyatanya kini banyak yang mendukungnya.
Memang, di antara korban penculikan ‘98, ada nama-nama yang bergabung jadi kader Gerindra seperti Desmond Mahesa (almarhum), Haryanto Taslam (alm.), dan Pius Lustrilanang.
Selain itu, ada Andi Arief yang kini bergabung ke Demokrat dan partainya mendukung Prabowo. Bahkan, Budiman Sudjatmiko yang dulu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan dipenjara rezim Soeharto, kini juga di sisi Prabowo.
Bagaimanapun dekatnya sebagian aktivis ‘98 dengan Prabowo kini, dan betapapun banyaknya anggapan bahwa isu HAM dipolitisasi, Mugi merasa penting untuk merawat ingatan atas pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
Mugi ialah mantan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) yang kini bertugas sebagai Tenaga Ahli Deputi V di Kantor Staf Presiden. Secara pribadi, ia mengajak anak muda untuk mengetahui peristiwa ‘98 agar kejadian serupa tak terulang di masa mendatang.
Berikut wawancara lengkap dengan Mugi di Bogor, 23 Desember 2023:
Bagaimana latar belakang aktivisme Anda pada 1998?
Saya mahasiswa UGM angkatan ‘92. Tahun 1996, Budiman Sudjatmiko dipenjara. Kami satu partai di PRD. Saya di sayap organisasi atau underbouw-nya, namanya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Pada 27 Juli 1996, ada penyerbuan ke Kantor PDI. Peristiwanya dikenal dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). PRD dituding sebagai otak kerusuhan. Maka itulah pimpinan PRD dicari [aparat] semua. Karena kepemimpinan PRD enggak ada, kita tunjuklah pimpinan SMID sebagai pimpinan PRD, yakni Nezar Patria dan Andi Arief.
Organisasi berjalan underground. Dari Yogyakarta, saya ke Jakarta akhir 1997 karena ditugasi melakukan advokasi internasional ke Filipina, Malaysia, Australia, dan Eropa untuk minta dukungan demi membebaskan tahanan politik dan menumbangkan Soeharto.
Bagaimana situasi politik Indonesia jelang Anda diculik?
Pada 1997 diadakan pemilu [dan Partai Golkar menang lagi setelah 31 tahun berkuasa]. Krisis ekonomi sudah mulai terjadi pada waktu itu, maka demonstrasi terjadi di mana-mana dan hampir tiap hari.
Kami (PRD) mengorganisir rakyat, bagikan selebaran, ngomong persoalan, dan bikin tuntutan. Waktu itu kami tuntut: tolak dwifungsi ABRI, cabut UU Politik, naikkan upah, dan dukung referendum Timor Timur. Inilah yang bikin kami sangat dibenci—musuh nomor satu Orde Baru.
Bagaimana gambaran peristiwa penculikan yang Anda alami?
Tanggal 12 Maret, kami mendeklarasikan KNPD (Komite Nasional Perjuangan untuk Demokrasi) di YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Aku enggak ada di lokasi, tapi pada tanggal itu aktivis Raharja Waluya Jati, Faisol Riza, dan Herman Hendrawan diculik.
Besoknya, 13 Maret, [penculikan] itu terjadi ke aku, Aan Rusdiyanto, dan Nezar. Kami tinggal di rusun di Klender, Jakarta Timur.
Sehabis Jumatan, saya di Menteng ketemu dua orang aktivis East Timor International Support Center dari Australia. Kira-kira jam 17.00 WIB aku pulang, dikasih tiga kotak Hoka Hoka Bento. Aku telepon ke rumah, ngabari enggak perlu cari makan karena bawa HokBen. Nezar yang jawab, dia bilang, “Oke, ditunggu.”
Jam 19.00 WIB aku sampai di Klender, di kontrakan kami, lantai 2. Aku ketok-ketok enggak ada orang. Setelah kucari-cari, ternyata aku punya kunci, akhirnya kubuka. Aku ke dapur, ada [wedang] jeruk masih panas.
Tiga-empat menit kutunggu, enggak ada yang datang. Aku telepon pakai pager (alat komunikasi radio panggil), tapi enggak ada respons setelah sekitar empat menit menunggu.
Di situ sudah deg-degan. Insting keamananku jalan. Aku siap-siap. Paspor kutaruh di tas kecil, buku diari sudah rapi. Aku menyiapkan skenario kabur. Tapi kutengok jendela, sudah ada banyak orang mengepung di bawah, ada yang pakaian tentara dan pakaian preman.
Ya sudah, pasrah. Pintu digedor, mereka masuk. Ada kawan menelepon, aku disuruh angkat. Aku enggak ngomong, cuma nangis. Tahu ada yang enggak beres, dia tutup. Aku digelandang, dibawa pakai mobil.
Mugi lalu dibawa ke Koramil Duren Sawit. Ia dan seorang lain bernama Djaka diinterogasi. Djaka mengaku punya kenalan pimpinan ABRI dan minta dibebaskan. Djaka dan Mugi lalu dipindahkan ke Kodim Jakarta Timur, namun kemudian dibawa lagi menggunakan mobil dengan mata ditutup. Di situ, Mugi berpisah dengan Djaka yang sempat mengatakan, “Kita selamat”. Tapi kejadian berikutnya ternyata mengerikan.
Anda dibawa ke mana dan diapakan?
Perjalanan terasa jauh dan macet. Mereka sempat berdebat soal rute. Kemudian mobil berhenti, aku turun. Dua-tiga langkah ada suara air dan angin kencang. Bayanganku, aku di sawah, mau dibunuh di sini.
[Aku diinterogasi], “Kamu tinggal sama siapa di situ (Klender)?”
“Sendirian, Pak.”
“Kamu bohong! Kami tahu kamu tinggal sama siapa saja.”
Aku dihajar, dipukul, hancurlah wajahku.
Jatuh, diberdirikan lagi.
Aku ditanya nama. Manusia ada batasnya menerima siksaan. Ya sudah, aku sebutkan nama. Habis itu dihajar. Aku disuruh buka baju dan celana. Disuruh duduk di semacam velbed, tempat tidur tentara. Kaki tangan diikat, mata ditutup, pakai celana dalam. Kemudian suara sirine berbunyi.
Ada suara cambuk, dan suara orang menjerit di sebelahku—jaraknya mungkin lima meter. Saat itulah aku baru tahu ternyata Nezar ada di situ. Suara cambuk itu ternyata setruman, cetak-cetak. Selain Nezar, di sana ada orang lain disiksa yang ternyata Aan. Dua orang temanku yang seharusnya menunggu aku [di rusun Klender].
Dua malam tiga hari kami di tempat itu, dari 13-15 Maret 1998. Kami lalu dibawa ke Kodam Jaya dekat Universitas Kristen Indonesia. Lalu dibawa lagi pakai mobil. Di situ diancam, kalau enggak kerja sama, akan dibunuh dan dibuang ke jalan tol.
Aku ditanya, “Apa pesan terakhir untuk keluargamu?”
Waktu itu, kami merasa orang-orang [yang menanyai kami] ini berbeda dengan sebelumnya. Benar saja, setelahnya mobil yang membawa kami sampai di Polda Metro Jaya (bukan markas militer).
Di situ kami bertiga (Mugi, Nezar, Aan) dipenjara di sel isolasi selama tiga bulan hingga pergantian rezim Soeharto.
Bagaimana pengaruh penculikan itu terhadap kehidupan Anda?
Setelah dilepas dari penjara, aku nginap di rumah Munir yang merupakan mes YLBHI. Aku melihat depan rumahnya ada jalan. Aku melihat semua orang yang ada di jalan situ seperti melihat aku terus, ngawasi aku terus. Yang bikin trauma, sampai sekarang bunyi handie talkie, suara radio, kalau dengar itu langsung takut. Karena di mobil [saat diculik] kan ada suara itu.
Mugi juga bercerita pernah ingin turun dari pesawat yang hendak terbang ketika orang yang duduk di sebelahnya ia rasa mengawasinya terus. Kekhawatiran itu sempat bertambah ketika ia tahu orang itu baru saja pulang dari Yordania ke Indonesia. Pikir Mugi, itu adalah “orangnya” Prabowo yang pada medio 1998 sempat tinggal di Amman dua bulanan. Padahal orang itu mengaku bukan siapa-siapa.
Apa relevansi peristiwa penculikan yang Anda alami dengan situasi saat ini?
Ini relevan, karena hal yang kami alami masih mungkin terjadi, apalagi kalau [anak muda] tidak mengetahui sejarah ini.
Jadi penting anak muda tahu itu supaya bisa lebih bertanggung jawab mengisi ruang demokrasi yang ada sekarang ini. Kita bisa nongkrong di warkop tiap hari sekarang karena ada demokrasi yang didapatkan dengan harga mahal oleh generasi sebelum kita.
Jadi masalah jika anak muda tidak tahu. Kalau mereka tahu, maka akan peduli dan relevan, termasuk ke soal pilpres. Kalau mereka tahu, enggak akan memilih [calon pemimpin yang diduga terlibat pelanggaran HAM].
Korban penculikan yang selamat seperti Anda kemudian ada yang bergabung dengan Prabowo, dengan keyakinan Prabowo hanya menjalankan perintah atasan kala itu. Bagaimana Anda melihatnya?
Kalau masalah pilihan politik, bahkan aku akhirnya mengambil pilihan politik. Aku sedari awal sadar bahwa perjuangan untuk keadilan, kebenaran, atas peristiwa penculikan aktivis dan sebagainya, atau perjuangan HAM secara umum, itu adalah perjuangan politik.
Aku enggak kuat ketemu [keluarga korban penculikan-penghilangan] seperti Pak Utomo (ayah Petrus Bima Anugrah), Pak Paian Siahaan (ayah Ucok M Siahaan), Mbak Sipon (istri Wiji Thukul), Fajar dan Wani (anak Wiji Thukul). Aku masih berusaha menggunakan moral dalam politik. Kalau yang lain mungkin ada yang tidak, lebih politik [praktis].
Aku masuk ke Kantor Staf Presiden per Februari 2020 pun karena pertimbangan utama untuk kepentingan korban, bukan pertimbangan personalku. Karena harus ada yang diperjuangkan dari dalam. Kan kita sudah 25 tahun berjuang dari luar, apa hasilnya?
Sekarang aku berada di KSP, tapi soal sikap politik elektoral ya sampai saat ini, sampai 2024, kami berusaha untuk konsisten menolak capres pelanggar HAM. Sejak Megawati menggandeng Prabowo [sebagai cawapres pada 2009], kami sudah tolak. Aku sudah tolak.
Setelah Anda sekarang bekerja di pemerintahan, apa yang sudah diperjuangkan untuk mengadvokasi korban?
Kalau mengacu pada 4 rekomendasi Panitia Khusus Orang Hilang DPR (2009), maka yang sedang dikerjakan adalah rekomendasi nomor 3 dan 4, yakni pemulihan atau kompensasi terhadap korban dan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa.
Kompensasi sedang dikerjakan melalui mekanisme nonyudisial melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang dipantau melalui Kepres Nomor 4 Tahun 2023, saya juga kebetulan berada di dalam Keppres itu, tim pemantau. Itu untuk menangani aspek reparasi, pemulihan, atau kompensasi.
Pada 2009, Pansus Orang Hilang DPR menerbitkan 4 rekomendasi: 1) Presiden dan pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc; 2) Pencarian terhadap 13 aktivis yang hilang; 3) Reparasi dan kompensasi terhadap korban dan keluarganya; dan 4) Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Dalam Inpres 2/2023, Presiden memerintahkan setiap jajarannya di kementerian/lembaga sesuai tupoksinya untuk melakukan reparasi terhadap korban. Misalnya, dalam hal sosial, Mensos diperintahkan untuk memberi bansos atau rehabilitasi sosial dan Jaminan Hari Tua.
Aku sendiri dapat Program Keluarga Harapan. Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza dapat, Andi Arief dan Nezar Patria juga minta dikabari dan diupayakan dapat. Itu semua bukan karena materi, tapi karena ada pengakuan negara atas pemulihan korban pelanggaran HAM berat.
Bagaimana dengan Pengadilan HAM yang selama ini kerap disuarakan korban untuk mendapat keadilan?
Kebijakan yang sekarang ini adalah what is possible di antara all the impossibilities. Karena kalau kebijakan [nonyudisial] yang sekarang tidak dibentuk, dan kita terus mencari yang ideal, itu enggak akan terjadi.
Misal idealnya [menghukum pelaku lewat] pengadilan. Nah, aku secara personal khawatir kalau Pengadilan HAM Ad Hoc digelar, semua pelaku justru akan dibebaskan karena buktinya enggak kuat.
Meski kita bisa mengatakan, “Sudah jelas Tim Mawar pelakunya, ada 11 orang, mereka semua masih hidup, termasuk Prabowo [sebagai komandan Kopassus]”, tetapi hukum itu tidak seperti itu jalannya.
Kekhawatiranku adalah pengadilan digelar dengan hasil semua pelaku dibebaskan, lalu kasus dianggap selesai dan korban enggak dapat apa-apa. Contohnya kasus Tanjung Priok. Kasus itu kan sudah diadili [tahun 2004], dan korbannya banyak sekali. Nah, pengadilan digelar, semua pelaku dibebaskan.
Jadi idealnya seperti apa?
Pengalaman di negara lain, biasanya yang pertama ditempuh adalah pengungkapan kebenaran (truth seeking). Dari situ bisa dibawa ke pengadilan atau pelurusan sejarah dan lain-lain.
Apabila yang dicari kebenaran melalui pelurusan sejarah, bagaimana upaya konkret untuk menempuhnya?
Harus ofisial dari negara. Untuk pelanggaran HAM berat, dari pengalaman negara lain, bisa melalui Komisi Kebenaran. Laporan komisi itu yang dijadikan acuan oleh para sejarawan, lembaga pendidikan, atau setidaknya menjadi salah satu narasi yang ofisial yang dikeluarkan oleh negara.
Indonesia pernah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, MK melalui Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 menyatakan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebagai korban, apa yang Anda tuntut dari peristiwa penculikan dan penghilangan paksa 1998?
Semua aku tuntut—soal keadilan, kebenaran, pemulihan, jaminan ketidakberulangan. Cuma yang paling urgen, paling mendesak, itu untuk mengetahui nasib dan keberadaan 13 orang itu. Di mana? Bagaimana? Itu untuk ketetapan hati.
Makanya dalam kasus seperti itu, negara yang turun tangan memberi status ke keluarga korban. Misal, berdasarkan penyelidikan disimpulkan si A sudah tidak ada (meninggal) karena peristiwa ini. Itu korban bisa menerima. Jadi ada closure (titik akhir), tidak menanti yang tidak ada ujungnya.
Makanya penghilangan paksa itu ibu segala kejahatan, karena mungkin ada penculikan, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan, orang tidak diperlakukan sama di depan hukum. Dan di dunia internasional, itu adalah kejahatan yang berkelanjutan (ongoing crime). Dia berhenti ketika keberadaan korban diketahui dan ada titik akhir. Jadi sebetulnya kayak Wiji Thukul dkk. yang hilang itu kejahatannya masih berlangsung.
Jadi ini ongoing crime. Kalau ngomong mekanisme pengadilan HAM, ini bukan pelanggaran HAM masa lalu, ini pelanggaran HAM masa kini karena masih berlangsung. Siapa tahu korban masih hidup.
Prabowo mengatakan dalam debat capres bahwa pihak-pihak yang diculik kan justru bergabung dengan kubunya.
Itu bukan bukti bahwa tidak pernah ada penculikannya. Penculikannya pernah terjadi. Kan Pius, Desmond, yang bergabung sama dia [di Gerindra] pernah diculik. Budiman [Sudjatmiko] yang enggak pernah mengalami penculikan (dia dipenjara).
Memutuskan bergabung dengan dia (Prabowo), bukan berarti kejahatannya tidak pernah ada. Kejahatan terhadap kemanusiaan itu bukan persoalan pribadi, bukan perdata. Kalau perdata, kita berdamai selesai.
Makanya disebut kejahatan terhadap kemanusiaan. Kalau Andi Arief urusan dengan Prabowo bisa kamu selesaikan, tapi ini bukan cuma urusan pribadi berdua.
Prabowo juga mengatakan isu soal HAM ini dipolitisasi. Timsesnya menyebut ini isu yang muncul saat pemilu 5 tahunan. Apa tanggapan Anda sebagai korban?
Jawaban leluconnya ya karena tiap 5 tahun sekali Prabowo nyapres. Kalau Prabowo enggak nyapres, korban enggak akan mengangkat isu itu. Tapi kenyataaannya bukan itu.
Jadi kalau dibilang isu lima tahunan, jelas tidak. Mereka saja yang pedulinya 5 tahun sekali. Pak Utomo dan Pak Paian (ayah para korban), kami, itu tiap hari berjuang; tiap Kamis menggelar Kamisan (aksi menuntut penuntasan pelanggaran HAM di Istana Negara).