Kisah Para Srikandi Kuliner Binaan Apical di Jakut, Bangun UMKM Beromzet Jutaan

18 Oktober 2024 19:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lina Herlina, pemilik Papang Oo Chicken, menggoreng ayam menggunakan minyak padat Frybest dari Apical. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lina Herlina, pemilik Papang Oo Chicken, menggoreng ayam menggunakan minyak padat Frybest dari Apical. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aroma ayam goreng menyeruak dari warung ayam geprek milik Lina. Di warung Papang Oo Chicken di Cilincing, Jakarta Utara, Lina Herlina menyajikan ayam goreng, ayam bakar, sampai spicy wing yang lezat, sekaligus bisa menjadi penopang perekonomian keluarga.
Usaha ayam goreng ini dimulai masa pandemi COVID-19 pada 2021 lalu, saat konsumen usaha kuenya mulai menurun. Lina bercerita, sebelum punya Papang Oo Chicken, dirinya menerima pesanan kue dan sempat menjalankan usaha pakaian jadi.
“Aku putar otak apa yang tetap berjalan, akhirnya ya sudah ayam geprek. Memang masyarakat tuh dengan (menu) ayam itu masih antusias, ya. Cepet saji juga, enggak lama (masaknya) gitu,” kata Lina kepada kumparan, 27 Agustus lalu.
“Untuk memulainya itu takut, takut gagal. Terus coba-coba (kasih tester) ke tetangga, terus mereka responsnya baik. Ya sudah, mulai jualan di rumah. Setelah (berjalan) setahun, lah, baru saya (jualan) keluar, di (ruko pinggir) jalan,” tambahnya.
Seporsi ayam geprek dan ayam bakar dijual seharga Rp 13 ribu, sementara spicy wing seharga Rp 10 ribu dan sudah sepaket dengan nasi. Awalnya, Lina memulai usaha ini dengan modal Rp 150 ribu.
Ayam goreng krispi di etalase Papang Oo Chicken. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Kini, Papang Oo Chicken semakin besar dan menjangkau lebih banyak pasar. Selain datang langsung ke gerai, pelanggannya juga bisa memesan via WhatsApp. Lina mengatakan, dalam sehari ada sekitar 100 potong olahan ayam yang habis terjual. Per hari, pendapatan kotornya mencapai Rp 500-900 ribu, bahkan bisa Rp 1,5 juta.
“Semakin dikenal, lah. Kadang ada yang bertanya, ‘Papang Oo Chicken apa, sih?’ Dipikir itu nama daerah gitu. Pas dia tahu, datang, artinya olahan ayam. Alhamdulillah, awalnya saya cuma ayam geprek, ayam bakar, terus spicy wing, rencana ke depannya akan ada rice bowl, insya Allah,” ujar Lina.
Kesuksesan Lina mengelola Papang Oo Chicken tak lepas dari dukungan keluarga. Sang suami sejak awal mendukung ide Lina dan membantu pengadaan barang sehari-hari. Anak-anak Lina juga turun tangan untuk membantu di dapur warungnya.
Frybest, minyak goreng padat yang digunakan UMKM binaan Apical. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Mereka menjadi support system terbaik kala Lina merasa lelah berjualan. Tak jarang mereka sering bergantian menjaga warung. Suka dan duka jadi dinikmati bersama.
“Kadang suka sampai–gimana hari ini kalau lagi ramai enggak? Hari ini ada pesanan gak? Kadang mereka kompak, anak-anak itu kompak. Ketika kita ada pesanan, jadi masing-masing mereka sudah mengerti, yang ini ngapain, yang ini ngapain. Alhamdulillah pokoknya,” kata Lina.
“Kalau yang namanya penjualan, tuh, lagi sepi, kayaknya berasa banget itu lelahnya. Tapi ya udah semangat harus buka, kan semua ada prosesnya. Pernah nasi termos saya, termosnya nyemplung ke got. Ya, udah, masak lagi,” tambahnya.
Papang Oo Chicken yang kini terus berkembang tak lepas dari peran Apical pengolah minyak nabati terkemuka dengan jejak global yang berkembang dan Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Sudinakertransgi) Jakarta Utara.
Lina Herlina pemilik Papang Oo Chicken mendapat pendampingan dari Apical. Foto: Dok. Apical
Hubungan baik ini sudah dibangun sejak Lina mendapat pelatihan sebelum membuka usaha kue. Lina ikut satu pelatihan yang digelar oleh Sudinakertransgi dan disponsori Apical. Menurutnya, pelatihan bersama Apical dan Sudinakertransgi membuat dirinya lebih percaya diri karena dapat ilmu soal mutu ayam terbaik hingga soal marketing produk.
“Dari sekian (UMKM) ini, aku yang dipilih. Sampai sekarang mereka tetap support. Setiap mereka ada acara lagi di Sudinaker, aku itu dipanggil. Bukan di situ aja, pernah juga pelatihannya di kantornya tentang kualitas ayam dengan pengenalan dengan Frybest (minyak goreng padat produksi Apical),” ujar Lina.
Tidak hanya itu, pada 26 September 2024 lalu, Apical juga memberikan bantuan kepada Papang Oo Chicken berupa mesin penggorengan deep fryer.
Dukungan ini merupakan komitmen Apical untuk terus mendampingi UMKM binaannya. Mesin deep fryer tidak hanya dapat membantu mempermudah proses penggorengan tapi juga lebih efisien dalam hal waktu dan lebih konsisten, sehingga dapat menghasilkan tekstur gorengan ayam yang lebih renyah.
Nah, selain Papang Oo Chicken, UMKM binaan Apical lain yang juga mendapat pelatihan adalah Rahma Street Food. Di gerai ini, Siti Rahmawati pemiliknya menjual frozen food dan kudapan siap saji lainnya.
Siti Rahmawati, pemilik Rahma Street Food, sedang menyiapkan kudapan siap saji. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
Usaha Rahma, begitu Ia akrab disapa dimulai pada 2018 saat toko susu dan pampers miliknya mulai sepi peminat. Dia dan suami lantas beralih ke usaha makanan, yakni kebab.
“Suami saya (bilang), ‘Ya sudah kamu latihan bikin kebab. Cari kafe-kafe yang bisa ngajarin kamu kebab. Kamu cobanya tuh ke mall-mall, biar tahu gimana rasanya.’ Nah, dari situ aku udah belajar dari proses yang berbayar, proses gratis. Aku coba jual, aku implementasi ke usahanya,” kata Rahma dalam kesempatan berbeda pada Jumat, 27 Agustus lalu.
Beberapa trial dan error pun dilakukan Siti untuk mendapat formula kebab terbaik. Mulanya, dia menggunakan sayur di kebab frozen, namun ternyata hasilnya kurang baik. Dia lalu memutuskan kebab frozen hanya diisi daging untuk menjaga mutu. Menu panganan frozen dan ready to eat yang disajikan Rahma pun kian beragam.
Kebab frozen buatan Rahma Street Food. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
"Ada yang dimsum frozen, ada yang dimsum ready to eat. Untuk hotang dan corndog pun aku bikin frozen sama ready to eat,” lanjutnya.
Rahma Street Food terus berkembang pesat. Promosi yang awalnya dari mulut ke mulut, kian dikenal luas lewat penjualan online.
Rahma menuturkan, usahanya melejit di masa pandemi dengan omzet mencapai Rp 1 juta per hari. Setelah pandemi mereda, Siti putar otak promosi lewat bazar-bazar.
Kebab siap saji yang sudah terbungkus rapi di warung Rahma Street Food. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
“Kalau sekarang, frozen-nya aja itu kan aku kerjasama tiga toko frozen. Satu toko itu kurang lebih sebulan sekitar 200 boks (estimasi), ya kurang lebih omzet Rp 15-20 juta (satu bulan),” kata dia.
Melejitnya usaha frozen food milik Rahma tak lepas dari dukungan Apical bersama Sudinakertransgi yang memberikan pelatihan. Banyak hal baru yang membuat Rahma bisa mengarahkan bisnisnya jadi lebih baik.
“Di situ aku diajarkan cara bagaimana menentukan bisnis yang kita jalani dan bagaimana, sih, bisnis ini ke depannya? Lima tahun ke depan nih bisnis mau jadi apa? Terus diajarkan bagaimana cara melihat pangsa pasar produk kita dan bagaimana menghadapi kompetitor-kompetitor di pasar,” jelasnya.
Corndog Rahma Street Food siap disajikan. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan
“Jadi, mereka mengajarkan itu, pemasaran kita, tuh, seperti di Instagram. Jadi membantu untuk penjualan online-nya dan pelan-pelan membantu untuk penjualan offline-nya juga. Dan aku juga pernah diajak sama Apical untuk acara temu UMKM di Kementerian Koperasi. Jadi, di situ aku melihat, oh, ternyata Apical itu melindungi, enggak hanya sekali, dua kali, tapi benar-benar mendampingi.
Di Jakarta, total ada sebanyak 30 UMKM yang dibina oleh Apical. CSR Manager Apical Sugiantoro mengatakan bahwa jumlah pedagang kaki lima terus tumbuh di kawasan urban seperti Jakarta.
Pelatihan yang diberikan pada UMKM ini, kata Sugiantoro, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Banyak pelaku usaha yang merupakan ibu-ibu, sehingga diharapkan kegiatan ini dapat membantu mereka menopang ekonomi rumah tangga.
“Dimulai dari yang paling basic adalah kewirausahaan. Jadi, mereka dilatih wirausaha, bagaimana menjadi wirausaha yang tangguh, yang memahami prospek bisnisnya, mereka bisa memetakan kelemahan bisnisnya di mana kemudian 5-10 tahun ke depan mereka mau seperti apa,” kata Sugiantoro kepada kumparan.
“Setelah itu baru kita mulai dari aspek teknisnya, skill-nya. Misalnya bagaimana mereka menggoreng dengan benar, bagaimana mereka menggunakan bahan-bahan yang benar dan seterusnya,” imbuh dia.
Siti Rahmawati bersama Apical di depan warung Rahma Street Food. Foto: Faiz Zulfikar/kumparan