Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Gerimis masih turun kala Syarifudin Pamboang (33) memarkirkan motor di samping rumahnya di Malambigu , Tolitoli, Sulawesi Tengah. Tiba-tiba, lima muridnya di SDN Malambigu menghampiri.
ADVERTISEMENT
"Pak Syarif, pinjam kunci. Kami mau main bulu tangkis ," ucap seorang murid bernama Andika.
Syarif langsung merogoh kantong celananya. Namun, tak menemukan kunci ruang olahraga sekolah.
"Yah," ucap Andhika dengan wajah menunduk tak mampu menahan rasa kecewa. Bersama keempat temannya, dia perlahan pergi dari hadapan Syarif.
Beruntung, kunci itu berhasil ditemukan Syarif di tempat lain. Anak-anak itu lantas bergegas mengambil raket dan kok ke ruang olahraga sekolah.
Keriangan pun tampak pada wajah mereka. Padahal, raket yang dipakai bukan raket bulu tangkis sesungguhnya.
Sudah pasti tidak seperti yang dipakai The Minions saat juara All England 2017 dan 2018. Bukan pula seperti yang dipakai Jonatan Christie kala menjuarai Asian Games 2018. Namun, hanya kayu-kayu tipis yang dibentuk menyerupai raket.
Bagi anak-anak di Malambigu, bulu tangkis kini telah menjadi rutinitas. Berawal sejak Syarif sang guru olahraga datang dari Makassar, 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
“Saya memang hobi badminton. Pertama kali datang tugas saya bawa raket dua. Tapi kok terbatas,” kenang Syarif kepada kumparan, Minggu (28/4).
Saat itu, Syarif mengajak tetangga di sekitar rumahnya untuk bermain bersama. Satu per satu anak didiknya mulai ikut bermain. Tapi, masalah mulai muncul ketika jumlah siswa yang ikut semakin banyak.
“Dari situ siswa mulai berebut. Jadi di situ saya berpikir mending saya bikin raket yang terbuat dari kayu untuk membendung keinginan anak-anak,” kenangnya.
Guru lulusan Universitas Negeri Makassar itu kemudian mencari kayu untuk dibentuk menjadi raket. Dengan bantuan tetangganya, mulanya ada empat raket kayu yang berhasil dibentuk. Namun, antusiasme bermain bulu tangkis yang semakin tinggi dari para anak didiknya membuat Syarif harus kembali memutar otak.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya saya sampaikan ke siswa saya kalau ada papan di rumahmu bawa ke sini nanti Pak Guru buatkan,”ungkap Syarif.
Penggunaan raket kayu oleh anak-anak Malambigu bukan tanpa alasan. Salah satunya, sulitnya akses untuk mendapatkan raket asli di pusat Kabupaten Tolitoli yang berjarak sekitar 90 kilometer dari Malambigu.
Apalagi, tidak ada kendaraan umum dari desa menuju kota. Hanya ada satu mobil di desa yang biasa ditumpangi warga. Namun, tarif sekali jalan terbilang mahal untuk anak-anak, yakni mencapai Rp 70 ribu.
“Selain jauh, olahraga bulu tangkis ini kan mahal. Saya berpikiran mungkin juga orang tuanya mending buat kebutuhan lain lah,” ujar Syarif.
Walau begitu, antusiasme mereka bermain bulu tangkis tetap tinggi. Kerap kali, bunyi kok dipukul terus bergema di sekolah itu. Terutama, ketika tidak ada guru yang mengajar di kelas. Dan masa-masa itu sering terjadi karena di sana hanya ada tiga guru untuk enam kelas.
ADVERTISEMENT
“Biasanya anak kelas enam sering merebut raket-raket dari anak kelas satu,” ucap Syarif berkelakar.
Tak hanya berebut, bahkan ada kalanya para siswa itu bertengkar. Bila sudah demikian, Syarif harus turun tangan untuk melerai.
“Utamanya yang kembar tadi, Upin dan Ipin. Rafli dan Rifal (nama asli). Mereka memang sering bermain berdua. Dan juga sering bertengkar. Bukan bertengkar adu jotos begitu,” Syarif menyebutkan.
Terlepas dari upaya berebut raket, raut wajah bahagia tampak dari anak-anak yang bermain bulu tangkis di halaman sekolah. Siswa dari seluruh kelas berbaur dan bercampur bermain bulu tangkis bersama. Canda tawa terkadang muncul kala ada anak yang jatuh tersungkur ke tanah. Atau, saat salah satu bocah terkena kok di badannya.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang kerap muncul adalah keterbatasan kok. Makanya, jika ada kok yang tersangkut di atap kelas, para siswa akan berusaha mengambilnya dengan tongkat bambu.
“Kalau tidak ada kok, kami biasa mengakalinya pakai kertas saya ikat dengan batu karet,” ungkap Syarif.
Euforia Terganjal Biaya
Pagi, siang, sore, hingga malam hampir selalu ada siswa-siswi SDN Malambigu yang bermain bulu tangkis. Salah satunya adalah Asrar, siswa kelas enam.
Di rumah panggung milik keluarganya, Asrar bercerita, hampir setiap hari bermain bulu tangkis. Anak ketiga dari empat bersaudara itu sering bermain bulu tangkis kala istirahat dan selepas pulang sekolah.
Lawan tandingnya bukan hanya teman sebaya, tapi juga para tetangga yang lebih dewasa. Walau lebih sering bermain dengan raket kayu, ada kalanya Asrar bisa mencoba raket sungguhan.
ADVERTISEMENT
“Bukan punya saya (raket), tapi pinjam tetangga,” tutur penggemar Kevin Sanjaya itu.
Kegemaran Asrar pada bulu tangkis pun mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. Salah satu alasannya, bulu tangkis mampu menghindarkan sang anak dari pengaruh buruk yang mulai masuk ke Malambigu.
“Ya, daripada nanti kena alkohol sama obat-obatan (terlarang). Itu kan bahaya,” ungkap ayah Asrar, Asmin.
Akan tetapi, keterbatasan biaya membuat dukungan tak maksimal. Apalagi, bulu tangkis, menurut orang tua Asrar, masih menjadi olahraga eksklusif di Malambigu. Itu karena, harga raket, kok, dan sepatu yang belum terjangkau warga.
Namun, impian Asrar dan anak-anak Malambigu yang terbentur keterbatasan bisa saja terwujud dengan bantuan banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Bagi Anda yang ingin membantu anak-anak tersebut, komunitas 1000 Klub Badminton berkolaborasi dengan kumparan membuat program donasi di tautan berikut: https://www.kitabisa.com/badmintonuntuksemua